Eskatologi Buddha adalah salah satu ajaran dasar agama Buddha mengenai ketidakkekalan/ketidaktetapan (anicca). “Sabbe sankhara anicca`ti, yada pannaya passati, atha nibbindati dukkhe, esa maggo visuddhiya.”–Segala sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur adalah tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini; maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan. Inilah Jalan yang membawa pada kesucian. (Dhammapada 277).
Oleh karena bumi terbentuk dari perpaduan unsur maka eksistensi atau keberadaan bumi ini juga mengalami perubahan, tidak kekal dan suatu saat pasti akan mengalami pelapukan dan akhirnya hancur.
Namun, kehancuran bumi ini bukan berarti akhir dari segalanya, bukan akhir dari alam semesta dan bukan akhir dari kehidupan di alam semesta seperti dalam pengertian kiamat dalam kepercayaan lain. Kehancuran bumi ini hanyalah merupakan salah satu mata rantai dari siklus keberadaan bumi.
Sebelum bumi ini ada, pada waktu lampau yang sangat lama, telah ada “bumi-bumi” lain yang terbentuk, berlangsung dan kemudian hancur. Dan setelah bumi ini hancur, dalam waktu yang sangat lama akan terbentuk kembali sebuah planet yang akan dihuni kembali oleh kehidupan manusia. Dengan kata lain, sebelum dan sesudah keberadaan bumi ini, telah ada dan akan ada “bumi-bumi” lainnya dengan kondisi yang berbeda-beda.
Berdasarkan kepustakaan Buddhis yaitu Aggañña Sutta (Digha Nikaya 27) yang terdapat di dalam Kanon Pali, dibabarkan oleh Sang Buddha bagaimana bumi ini terbentuk yang di dahului oleh musnahnya bumi lain yang ada sebelum bumi ini.[1][2]
Tidak di tetapkan secara pasti tanggal ataupun hari dari berlangsungnya kehancuran bumi. Kepustakaan Buddhis, hanya menyampaikan bahwa kehancuran bumi akan terjadi di waktu mendatang yang sangat lama dengan menggunakan ukuran waktu yang disebut dengan Kappa/Kalpa yang berarti waktu yang sangat panjang sekali.[note 1] Dan kehancuran tersebut berlangsung secara bertahap dalam waktu yang lama.
Masa menuju kehancuran bumi akan didahului oleh tanda-tanda, salah satunya adalah kemerosotan moral manusia yang parah yang menyebabkan menurunnya usia-rata-rata manusia menjadi 10 tahun.
Dalam Sattasuriya Sutta (Anguttara Nikaya 7.62),[3] Sang Buddha membabarkan bagaimana bumi ini pada waktu yang sangat lama di masa depan akan hancur diawali dengan tanda datangnya musim kemarau yang tidak menurunkan hujan sama sekali. Berselang waktu yang sangat panjang dari peristiwa tersebut, akan muncul matahari ke-2, dan berselang waktu yang sangat panjang kemudian matahari ke-3 muncul, demikian seterusnya setiap peristiwa berselang waktu yang sangat panjang hingga munculnya matahari ke-7. Saat kemunculan matahari ke-7 inilah bumi akan musnah.
Jadi, menurut pandangan agama Buddha, berdasarkan tanda-tanda yang disebutkan, kehancuran bumi tidaklah datang dalam waktu dekat ini.
Catatan
- ^ Dalam Pabbata Sutta (Samyutta Nikaya 15.5), Sang Buddha memberikan penjelasan mengenai lamanya masa 1 Kappa dengan perumpamaan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk menggosok sebuah gunung batu yang memiliki lebar, panjang dan tinggi 1 yojana (antara 6-15 km) dengan kain halus sebanyak satu kali setiap 100 tahun hingga gunung batu tersebut terkikis habis.
Dalam Sasapa Sutta (Samyutta Nikaya 15.6), Sang Buddha memberikan penjelasan lamanya masa 1 Kappa dengan perumpamaan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk mengambil biji sesawi yang memadati hingga penuh sebuah kota yang memiliki lebar, panjang dan tinggi 1 yojana sebanyak 1 butir setiap 100 tahun hingga biji sesawi tersebut habis.
Referensi
- ^ "[[Sutta Pitaka]], Digha Nikaya, [[Kanon Pali]]". hlm. 26. Diarsipkan dari Cakkavatti Sutta: The Wheel-turning Emperor versi asli tanggal 2012-05-05. Diakses tanggal 2013-01-03.
- ^ Vipassana.info, Pali Proper Names Dictionary: Metteyya
- ^ Hooper, Rev. Richard (April 20, 2011). End of Days: Predictions of the End From Ancient Sources. Sedona, AZ. hlm. 156. [pranala nonaktif permanen]
Sumber