Efek kupu-kupu (bahasa Inggris: butterfly effect) adalah istilah dalam teori kekacauan yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal", di mana perubahan kecil pada satu tempat dalam suatu sistem taklinear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brasil secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Perubahan yang hanya sedikit pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal misalnya 2, maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain, kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana di kemudian hari.
Teori kekacauan adalah teori yang berkenaan dengan sistem yang tidak teratur seperti awan, pohon, garis pantai, ombak, dan lain-lain yang bersifat acak, tidak teratur, dan anarkis. Namun, bila dilakukan pembagian (fraksi) atas bagian-bagian yang kecil, maka sistem yang besar yang tidak teratur ini didapati sebagai pengulangan dari bagian-bagian yang teratur. Secara statistik, kekacauan adalah kelakuan stokastik dari sistem yang deterministik. Sistem yang deterministik (sederhana, satu solusi) bila ditumpuk-tumpuk akan menjadi sistem yang stokastik (rumit, solusi banyak).
Sejarah
Edward Norton Lorenz menemukan efek kupu-kupu atau apa yang menjadi landasan teori kekacauan pada tahun 1961 di tengah-tengah pekerjaan rutinnya sebagai peneliti meteorologi. Ia dilahirkan pada 23 Mei1917 di Amerika Serikat dan memiliki latar belakang pendidikan di bidang matematika dan meteorologi dari MIT. Dalam usahanya melakukan peramalan cuaca, dia menyelesaikan 12 persamaan diferensial taklinear dengan komputer. Pada awalnya dia mencetak hasil perhitungannya di atas sehelai kertas dengan format enam angka di belakang koma (...,506127). Kemudian, untuk menghemat waktu dan kertas, ia memasukkan hanya tiga angka di belakang koma (...,506) dan cetakan berikutnya diulangi pada kertas sama yang sudah berisi hasil cetakan tadi. Sejam kemudian, ia dikagetkan dengan hasil yang sangat berbeda dengan yang diharapkan. Pada awalnya kedua kurva tersebut memang berimpitan, tetapi sedikit demi sedikit bergeser sampai membentuk corak yang lain sama sekali.[1]
Pada tahun 1963 Lorenz menerbitkan studi teoretis efek ini dalam artikel terkenal yang berjudul Deterministic Nonperiodic Flow (Aliran Takperiodik Deterministik).[2] Berdasarkan artikel tersebut, kemudian ia mengatakan: "Seorang meteorolog mendapati bahwa jika teori ini benar, maka satu kepakan sayap burung camar laut dapat mengubah jalannya cuaca untuk selamanya." Atas anjuran rekan-rekan sejawatnya, dalam kuliah-kuliah dan publikasi selanjutnya, Lorenz menggunakan contoh yang lebih puitis, yaitu memakai kupu-kupu. Menurut Lorenz, suatu kali ia tidak mempunyai judul untuk ceramahnya pada pertemuan ke-139 American Association for the Advancement of Science tahun 1972, Philip Merilees mengusulkan judul "Does the flap of a butterfly’s wings in Brazil set off a tornado in Texas?" ("Apakah kepakan sayap kupu-kupu di Brasil menyulut angin ribut di Texas?"). Meskipun kepakan sayap kupu-kupu tetap konstan dalam konsep ini, lokasi kupu-kupu, dampaknya, dan lokasi dari dampak-dampak selanjutnya dapat bervariaasi luas.[3]
Kepakan sayap kupu-kupu secara teori menyebabkan perubahan-perubahan sangat kecil dalam atmosfer bumi yang akhirnya mengubah jalur angin ribut (tornado) atau menunda, mempercepat bahkan mencegah terjadinya tornado di tempat lain. Kepakan sayap ini merujuk kepada perubahan kecil dari kondisi awal suatu sistem, yang mengakibatkan rantaian peristiwa menuju kepada perubahan skala besar (bandingkan dengan efek domino). Jikalau kupu-kupu itu tidak mengepakkan sayapnya, trayektori sistem tersebut akan berbeda jauh.
Perhatikan bahwa kupu-kupu tidak menyebabkan angin ribut atau tornado. Kepakan sayapnya adalah bagian dari kondisi awal; satu himpunan kondisi menghasilkan tornado, sedangkan himpunan kondisi lain tidak. Mungkin saja himpunan kondisi yang tidak melibatkan kepakan sayap kupu-kupu menjadi penyebab angin ribut.
Istilah efek kupu-kupu tidak digunakan dalam cerita ini, tetapi asal usul penggunaan kupu-kupu dalam konsep ini adalah dari cerita yang ditulis pada tahun 1952 oleh Ray Bradbury, "A Sound of Thunder" ("Suara guntur").
Gambar-gambar ini menunjukkan 2 segmen dari evolusi 3 dimensi dua trayektori (satu biru, yang lain kuning) selama jangka waktu yang sama dalam atraktor Lorenz yang bermula dari 2 titik awal yang berbeda hanya 10−5 pada koordinat x. Awalnya, kedua trayektori tampak sama (koinsiden), sesuai indikasi perbedaan kecil di antara koordinat z dari trayektori biru dan kuning, tetapi untuk t > 23 perbedaannya menjadi sebesar nilai trayektori. Posisi akhir kerucut menunjukkan kedua trayektori tidak lagi sama pada t = 30.
Suatu sistem dinamik menunjukkan ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal jika titik-titik secara acak dekat satu dengan yang lain berpisah menurut waktu dengan tingkat eksponensial. Definisi ini bukan topologis, tetapi dasarnya metrik.
JIka M adalah keadaan ruang untuk peta , maka menunjukkan ketergantungan terhadap kondisi awal jika untuk setiap x dalam M dan setiap δ > 0, terdapat y dalam M, dengan sedemikian sehingga
Definisi ini tidak mengharuskan semua titik dari suatu lingkungan terpisah dari titik dasar x, tetapi membutuhkan satu eksponen Lyapunov positif.
Contoh
Efek kupu-kupu ini lebih sering dipakai untuk cuaca; mudah diperlihatkan dalam model ramalan cuaca standar.[4]
Potensi ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal (efek kupu-kupu) telah dipelajari dalam sejumlah kasus dalam fisika mekanika kuantum dan semiklasik seperti atom dalam medan kuat dan masalah anisotropi Kepler.[5][6] Beberapa penulis berpendapat bahwa ketergantungan ekstrem (eksponensial) terhadap kondisi awal tidak diharapkan dalam perlakuan kuantum murni;[7][8] tetapi, ketergantungan yang peka terhadap kondisi awal diperlihatkan dalam gerakan klasik yang termasuk dalam perlakukan semiklasik yang dikembangkan oleh Martin Gutzwiller[9] dan Delos serta sejawatnya.[10]