Daniel Murdiyarso (lahir 10 September 1955) adalah ilmuwan Indonesia di bidang ilmu alam. Guru Besar Ilmu Atmosfer di Jurusan Geofisika FMIPA Institut Pertanian Bogor ini, banyak mencurahkan perhatiannya dalam pendidikan dan penelitian di bidang emisi gas rumah kaca (GRK) dan perubahan iklim dalam kaitannya dengan alih-guna lahan, khususnya akibat deforestasi yang diikuti oleh pengembangan lahan pertanian. Kini, dia menjadi Peneliti Senior di Center for International Forestry Research (CIFOR).
Gelar Sarjana Kehutanan dan Master Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dari IPB, diraihnya masing-masing pada 1977 dan 1979, sedang gelar PhD untuk bidang meteorologi dari University of Reading, Inggris pada 1985. Pengalaman memimpin lembaga internasional yang bergerak di bidang pengembangan kapasitas tentang perubahan lingkungan global, Global Change Impact Center for Southeast Asia (IC-SEA) memberinya kesempatan untuk membuka dan menggiatkan dialog antar-pakar dan pengambil kebijakan mengenai isu tersebut. Ia pun pernah mendapat kesempatan mengabdi sebagai Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup (2000-2002). Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia ini juga, pernah menjadi Penasihat Wetlands International dalam kajian lahan gambut dan perubahan iklim; penasihat Bank Dunia untuk pengembangan BioCarbon Fund dan Forest Carbon Partnership Facility. Selain menuliskan berbagai monograf, laporan teknis, opini, dan karya untuk peer-reviewed journals, ia juga telah menghasilkan buku, seperti: Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi Perubahan Iklim (2003), CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih (2003), Protokol Tokyo: Implikasinya Bagi Negara Berkembang (2003). Daniel juga menjadi salah satu penerima Achmad Bakrie Award di bidang Sains pada tahun 2010.
Anugerah prestisius untuk IPCC tidak lepas dari peran Daniel Murdiyarso, peneliti senior di Center for International Forestry Research (CIFOR) Bogor. Ia punya peran penting, meneliti Assessment Report IV (AR4) 2007 – yang mengarah kepada Nobel. Seperti dimuat situs CIFOR, Daniel melihat Nobel sebagai momentum membangkitkan kepedulian masyarakat terkait isu pemanasan global. Juga menjadi inspirasi bagi orang untuk tak hanya diam, tetapi berbuat sesuatu. Pemanasan global memang terjadi sejak zaman purba, secara gradual. Bumi membutuhkan suhu lebih panas agar bisa dihuni mahluk hidup. Permasalahannya, pasca revolusi industri, emisi gas yang dilepaskan ke atmosfer lebih besar dan pemanasan bumi meningkat