Clostridium botulinum adalah bakteri yang memproduksi racun botulin, penyebab terjadinya botulisme.[1] Bakteri ini masuk ke dalam genus Clostridium. Bakteri ini pertama kali ditemukan pada tahun 1896 oleh Emile van Ermengem dan umumnya dapat ditemukan di tanah. C. botulinum termasuk bakterigram positif, anaerob obligat (tidak bisa hidup bila terdapat oksigen), motil (dapat bergerak), dan menghasilkan spora.[2]
Jenis
Berdasarkan atas spesifitas serologis toksinnya dikenal tujuh jenis toksin yaitu : A, B, C, D, E, F, dan G. Untuk jenis yang paling banyak dilaporkan sebagai penyebab kasus penyakit pada manusia adalah jenis Clostridium botullinum A, B, E dan F. Tipe yang dapat menyebabkan botulisme pada manusia adalah Tipe A, B, E, dan F, sedangkan untuk Tipe C dan D kebanyakan menyebabkan botulisme pada hewan, hewan yang paling sering terinfeksi adalah unggas liar dan unggas ternak, sapi, kuda, dan beberapa jenis ikan.
C. Botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesofilik dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 37oC untuk strain jenis A dan B serta 30oC untuk strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,5oC namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 10oC. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya yaitu: jenis A dan B pada suhu 50oC. Strain jenis E memiliki suhu maksimum lima derajat lebih rendah dari strain jenis A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 30oC (Cliver, 1990 ; Jay, 1978).[4]
Berdasarkan karakteristik atau aktivitas metabolik bakterinya, C. botulinum dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu sebagai berikut :
1. Kelompok I termasuk tipe A dan galur proteolitik tipe B dan
2. Kelompok II termasuk tipe E dan galur nonproteolitik tipe B dan F.
3. Kelompok III termasuk galur nonproteolitik tipe C dan D.
4. Kelompok IV adalah tipe G
Secara umum, kelompok proteolitik I dari C. botulinum akan bekerja dengan bantuan enzim endogenous dari bakteri, tetapi neurotoksin yang dihasilkan oleh galur proteolitik kelompok II memerlukan protease eksternal seperti tripsin untuk aktifasinya (DAHLENBORG et.al., 2003).[5] Spesies atau jenis yang terinfeksi sebagian besar yaitu manusia dan hewan sedangkan untuk kelompok 4 belum diketahui secara pasti spesies utama yang terinfeksinya.
Sumber
Clostridium botullinum banyak ditemukan pada makanan yang kurang diproses, sosis, produk daging, sayuran kaleng, produk makanan laut, makanan kaleng. C. botulinum dapat membentuk spora, di mana spora ini dapat ditemukan di tanah, tanaman, isi usus hewan mamalia, unggas, dan ikan,[5] sehingga dapat dikatakan penyebarannya ini sangat luas.
Patofisiologi
Mekanisme masuknya C. botulinum ke dalam tubuh dapat melalui kontaminasi luka, mulut/makanan dan pernapasan. C. botulinum yang sudah masuk dalam tubuh dapat memproduksi neurotoksin dalam saluran pencernaan atau jaringan tubuh yang luka karena lingkungannya mendukung untuk pertumbuhannya. Lalu, neurotoksin akan diabsorbsi oleh tubuh di peredaran darah dan akan menuju ke synaps melalui NMJ (Neuromuscular juntion).[5]
Neurotoksin yang sudah ada di sinaps akan masuk ke sitoplasma, di mana terjadi pemecahan protein oleh endopeptidase dari light chain toksin. Pemecahan protein ini akan membentuk sebuah synaptic fusion complex atau disebut soluble N-ethylmaleimide- sensitive factor attachment protein receptors (SNARE).
Selanjutnya, terjadi proses bersatunya membran terminal neuron dengan synaptic vessicle oleh synaptic fussion complex. Akibat pecahnya synaptic fussion complex menyebabkan terjadinya kegagalan fusi antara vesikel dengan membran terminal, sehingga pelepasan acetylcholine (ACH) menuju celah sinapsis akan terhambat. Pelepasan ACH ini akan sangat berhubungan dengan kerja otot dan saraf (neuromuscular junction) sehingga jika pelepasan ACH terhambat akan berdampak pada tidak dapat bergeraknya otot atau terjadi kelumpuhan. Penghambatan ACH ini hanya berlangsung selama beberapa bulan dan otot akan melakukan fungsi normalnya kembali dengan bantuan protein SNARE atau melalui pembentukan synaps yang baru.
Diagnosis
Botulismus atau penyakit yang diakibatkan oleh C.botulinum ini merupakan kejadian yang cepat mematikan, sehingga diagnosis yang cepat perlu dilakukan untuk keberhasilan pengobatan atau penyelesaian masalah penyakit. Untuk mendeteksi C. botulinum dapat diambil pada sampel seperti feses, isi lambung, isi usus, swab luka dan jaringan akan membantu penegakkan diagnosis. Terkadang adanya beberapa galur C. botulinum penghasil beberapa macam toksin cukup menyulitkan.
Cara paling langsung dan efektif untuk memastikan diagnosis klinis botulisme di dalam laboratorium adalah dengan memeriksa adanya racun dalam serum atau kotoran pasien atau dalam makanan yang dikonsumsi oleh pasien. Saat ini, metode deteksi toksin yang paling sensitif dan digunakan secara luas adalah uji netralisasi tikus (mouse neutralization test). Uji ini memerlukan waktu 48 jam dengan pembiakan sampel memerlukan waktu 5-7 hari. Botulisme pada bayi didiagnosis dengan memeriksa adanya racun botulinal [5] dan C. botulinum di dalam kotoran bayi.
Pencegahan
Faktor utama yang mengontrol pertumbuhan C. botullinum dalam makanan adalah suhu, pH dan keasaman, Aw, potensi redoks, kecukupan nutrisi, adanya antimikroba dan mikrobiota kompetitif.[6] Pencegahan dari toksin C. botullinum ini dapat dilakukan dengan beberapa cara mulai dari proses pengolahannya sampai adanya vaksinasi, sebagai berikut :
1. Kadar Aw
Untuk menghambat pertumbuhan organisme dapat dilakukan dengan penurunan aw seperti penggunaan garam di atas 10% untuk menghambat strain grup I dan garam di atas 5% untuk strain grup II. Selain itu, dapat pula digunakan konsentrasi gula yang tinggi yaitu sukrosa 30%.[4]
2. pH
Untuk kelompok 1 C. botulinum pH yang dianggap aman adalah pH <4,6 sehingga C.botulinum tidak akan berkecambah, tumbuh lebih besar, dan membentuk toksin botulismus. Makanan dengan keamanan botulisme yang sangat baik adalah makanan atau produk makanan dengan pH <4,6 atau makanan asam tinggi. Sedangkan untuk kelompok 2, pH kritis adalah 5,0 untuk pencegahan perkecambahan spora dan pembentukan toksin botulisme.
3. Suhu penyimpanan
Pertumbuhan yang baik untuk C. botulinum terjadi pada suhu 20o sampai 45oC sehingga untuk menghambat pertumbuhannya dapat dilakukan dengan memperhatikan suhu penyimpanan yaitu 10oC untuk grup I dan 4o sampai 6oC.[4]
4. Pengolahan atau penyimpanan
Semua makanan yang dikalengkan dan diawetkan secara komersial umumnya aman untuk dikonsumsi karena makanan telah disterilkan/ menggunakan pH yang tinggi/terlalu asam atau juga dengan diawetkan dengan cara lain. Untuk produk segar tidak berbahaya. Racun dapat dihancurkan pada suhu 75°-80 °C, sehingga makanan yang telah dimasak dan dipanaskan aman dikonsumsi. Selain itu, dapat juga dilakukan pengasapan untuk mengurangi toksinnya. Menurut Heinitz dan Johnson (1998)[4] menemukan bahwa pengasapan cukup efektif untuk menurunkan jumlah kuman, di mana tidak ada C. botullinum yang ditemukan pada produk ikan yang diasapkan selama lima tahun penelitiannya. Ini dikarenakan adanya penghambatan yang diakibatkan oleh hasil dari kombinasi garam dan nitrat, asap serta suhu penyimpanan yang rendah (3,3oC).
Disarankan juga untuk memanaskan makanan dengan temperatur yang tinggi (makanan kaleng) dengan tujuan untuk mematikan spora; mendinginkan makanan yang tidak dimasak (suhu lebih rendah dari 3,3 oC); dan segera mengkonsumsi makanan yang telah dimasak karena apabila dibiarkan terlalu lama (suhu makanan 20 o sampai 45 oC) adalah suhu optimal untuk pertumbuhan C. botulinum.
5. Vaksin
Vaksin untuk pencegahan botulismus pada manusia dapat berupa pentavalent botulinum toxoid (PBT) yang telah digunakan sejak tahun 1959 dan masih dipergunakan sampai saat ini dengan berbagai modifikasi (SIEGEL, 1988; TORRI et al., 2002; DEMBEK et al., 2009).[5] PBT adalah toksoid (toksin yang telah diinaktifasi), yang dibuat dari toksin serotipe A, B, C, D dan E yang diinaktifasi dengan formalin, dan mengalami pemurnian. Vaksin botulismus biasanya diberikan secara subcutaneous secara berseri (0, 2 dan 12 minggu), dan berikutnya dapat diberikan booster pada 12 bulan dan setiap tahun berikutnya.
Mikrobiota kompetitif adalah mikroba yang dapat menghambat kerja dari C. botullinum ini, misalnya bakteri asam laktat atau ragi. Bakteri asam laktat atau ragi ini yang memfermentasi gula dan substrat lain dalam makanan dengan cara memproduksi tingat penghambatan asam organik, alkohol. Contoh lain yaitu pengawet seperti nitrit.
Menurut salah satu sumber, ada beberapa faktor lain yang dapat mengendalikan tumbuh C. botulinum ini seperti kriteria proses pemanasan pada 121oC selama minimal 3 menit, proses dengan bantuan rendah asam ataupun melakukan sterilisasi termal dengan bantuan tekanan.
Efek pada pangan
Dampak makanan yang terkontaminasi bakteri Clostridium botulinum, yakni:
Secara umum, makanan yang terkontaminasi bakteri Clostridium botulinum dapat menimbulkan masalah kesehatan yang disebut botulisme.
Pada kasus keracunan pangan, botulisme terjadi akibat intoksikasi neurotoksin yang diproduksi bakteri Clostridium botulinum. Manifestasi gejala yang timbul pada botulisme akibat keracunan pangan antara lain: keram perut, pandangan buram, kesulitan bernafas, dan kelemahan otot (biasanya didahului dengan kelemahan otot yang dipersarafi saraf kranial yang berfungsi mengatur gerakan mata, wajah, mengunyah, dan menelan).
Pada kasus keracunan pangan yang berat akibat terkontaminasi bakteri Clostridium botulinum adalah dapat terjadi gagal nafas.
Gejala keracunan timbul dalam waktu 12-36 jam setelah mengonsumsi pangan tercemar, namun dapat juga timbul dalam 1-10 hari.
Efek klinis
Ada lima kategori klinis penyakit yang diakibatkan oleh C. botulinum (botulismus) yaitu : 1) botulisme makanan; 2) botulisme luka; 3) botulisme bayi; 4) botulisme menular dewasa; 5) secara tidak sengaja, setelah infeksi toksin botulinum.[7]
Botulisme bawaan makanan (Foodborne Botulism)
Botulisme ini pertama kali ditemukan pada tahun 1897, yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang bakterinya berkembang biak dan membentuk toksin. Waktu permulaan munculnya suatu penyakit umumnya terjadi 18-36 jam setelah terpapar.[8] Gejala awal dapat berupa mual, muntah, kram perut, atau diare. sete waktu permulaan munculnya suatu penyakit[3]
Botulisme bayi (Infant botulism)
Botulisme ini menyerang bayi di bawah usia 12 bulan.[8] Nantinya setelah menelan spora yang terbentuk di usus akan memberikan bakteri vegetatif yang membentuk toksin. Botulisme ini pertama kali dikenal di Amerika Serikat, terjadi pada bayi berusia kurang dari satu tahun, paling sering pada bayi berusia kurang dari 35 minggu. Gejalanya dapat berupa sembelit, lemah, dan gejala neurologis lainnya. Dalam beberapa kasus C. botulinum terdeteksi pada tinja bayi tersebut.
Botulisme luka (Wound botulism)
Botulisme ini pertama kali dikenali tahun 1943, yang merupakan botulisme akibat trauma dan kontaminasi luka dengan spora yang berkecambah dan membentuk toksin. Salah satu contohnya adalah suntikan obat yang terkontaminasi misalnya heroin.