Boikot Bus Bristol
The Bristol Bus Boycott (bahasa Indonesia: Boikot Bus Bristol) adalah boikot yang terjadi pada 1963. Boikot ini bermula dari Bristol Omnibus Company yang menolak untuk mempekerjakan kru bus kulit hitam atau Asia di Bristol, Inggris. Pada saat itu di banyak kota Inggris muncul diskriminasi rasial yang meluas di perumahan dan juga pekerjaan yang disebut dengan Coloureds. Roy Hackett mendirikan organisasi yang dipimpin oleh Paul Stephenson yang juga sekaligus sebagai juru bicara termasuk Prince Brown, Guy Bailey, Owen Henry, Audley Evans, dan Dewan Pembangunan India Barat. Warga Bristol melakukan boikot selama empat bulan lamanya hingga Bristol Omnibus Company membatalkan kebijakan diskriminasi ras tersebut. Boikot tersebut menarik perhatian nasional terhadap diskriminasi rasial di Inggris dan kampanye tersebut didukung oleh politisi nasional. Intervensi tersebut juga dilakukan oleh Komisaris Tinggi untuk Trinidad dan Tobago dan juga kelompok-kelompok gereja di Inggris. Beberapa orang menganggap bahwa boikot ini berpengaruh terhadap pengesahan Race Relation Act 1965 yang membuat diskriminasi rasial telah melanggar hukum di tempat umum dan Race Relation Act 1968 yang memperluas ketentuan untuk pekerjaan dan di perumahan. Latar belakangPada awal 1960-an, Bristol memiliki kurang lebih 3.000 penduduk dari India dan di antaranya pernah bertugas di militer Inggris selama Perang Dunia Kedua serta beberapa lainnya ada yang baru saja menetap di Bristol. Sebagian besar orang India Barat tinggal di sekitar Jalan Kota di St Pauls. Mereka di sana mengalami diskriminasi di perumahan dan juga pekerjaan mereka serta mengalami kekerasan fisik dari geng pemuda kulit putih, Teddy Boy.[1] Komunitas tersebut dapat membangun gereja dan Asosiasi India Barat bertindak sebagai badan perwakilan.[2] Mereka mengeluhkan adanya diskriminasi ras atau warna yang dilakukan oleh Bristol Omnibus Company.[3] Perusahaan ini dimiliki oleh Pemerintah inggris yang dioperasikan melalui Transport Holding Company.[4] Walaupun sedang terjadi kekurangan kru bus, perusahaan ini tetap menolak calon karyawan kulit hitam meskipun orang kulit hitam tersebut mendaftar di posisi yang dibayar rendah seperti di kantin dan di bengkel. Western Daily Press dan The Bristol Evening Post membuat rangkaian artikel mengenai diskriminasi warna kulit yang di berisi tentang manajemen perusahaan yang menyalahkan Transport and General Workers' Union (TGWU) yang mewakili pekerja bus.[5] Pejabat serikat setempat menyangkal bahwa ada diskriminasi warna kulit, tetapi pada tahun 1955 Passenger Group TGWU telah mengeluarkan resolusi bahwa pekerja "berwarna" tidak boleh dipekerjakan sebagai awak bus. Kurator Misi Industri Bristol, Andrew Hake mengenang bahwa TGWU menyatakan jika pria kulit hitam bekerja sebagai konduktor, maka setiap bus akan dihentikan pengoperasiannya. Beberapa kondektur kulit putih menyatakan keprihatinan atas keselamatan mereka jika bus mereka diawaki oleh pria kulit hitam. Kekhawatiran lainnya selain rasisme adalah sumber tenaga kerja baru yang kompetitif dapat mengurangi pendapatan mereka. Gaji yang didapatkan rendah sehingga para pekerja mengandalkan lembur untuk mendapatkan upah yang lebih baik. Seorang penjaga toko berkata, "orang-orang takut masuknya orang-orang dari tempat lain akan mengurangi potensi pendapatan mereka".[6] PerselisihanBoikotPrince Brown, Owen Henry, Audley Evans, dan Roy Hackett yang berasal dari India Barat membentuk kelompok aksi yang disebut West Indian Development Council (bahasa Indonesia: Dewan Pembangunan India Barat). Mereka berempat tidak senang akan kurangnya Asosiasi India Barat dalam memerangi diskriminasi. Owen Henry telah bertemu dengan Stephenson yang ayahnya berasal dari Afrika Barat dan pernah kuliah. Mereka memutuskan untuk mengangkat Stephenson menjadi juru bicara kelompok aksi mereka karena Stephenson yang pandai berbicara.[7] Stephenson menyiapkan uji kasus untuk membuktikan bahwa diskriminasi warna kulit itu ada dengan mengatur wawancara perusahaan dengan Gun Bailey, seorang pegawai gudang dan petugas Putra Pengabdi. Namun, perusahaan membatalkan wawancara tersebut setelah mengetahui Bailey adalah orang India Barat.[8] Mereka memutuskan melakukan boikot bus Bristol setelah terinspirasi dari Rosa Parks yang menolak untuk menyerahkan kursinya di bus saat di Alabama dan boikot bus Montgomery di A.S pada 1955.[9] Pada konferensi pers 29 April 1963, mereka mengumumkan tindakan boikot mereka. Pada 30 April 1963, mereka mengklaim tidak ada orang India Barat yang memakai bus dan banyak orang kulit putih yang mendukung gerakan mereka.[10] The Bristol Evening Post menunjukkan di sebuah editorial bahwa TGWU menentang sistem apartheid di Afrika Selatan dan menanyakan apa yang dilakukan para TGWU untuk melawan rasisme di barisan mereka sendiri.[11] Ketika wartawan menanyai perusahaan bus tentang boikot yang terjadi, Ian Patey yang merupakan manajer umum perusahaan tersebut menyatakan:
DukunganPada 1 Mei 1963, Mahasiswa Universitas Bristol melakukan pawai protes ke stasiun bus dan markas TGWU. Menurut pers setempat, mereka mendapatkan ejekan dari awak bus saat melewati pusat kota. Anggota parlemen, Tony benn menghubungi Harold Wilson (pemimpin oposisi buruh saat itu) yang berbicara mengenai penentangan diskriminasi warna kulit pada rapat umum Gerakan Anti-Apartheid di London.[14] Keesokan harinya, Partai Buruh Alderman diwakili oleh Henry Hennessey yang berbicara mengenai kolusi yang terjadi antara manajemen perusahaan bus dan TGWU atas diskriminasi warna kulit yang terjadi. Pada 3 Mei 1963, kelompok buruh yang berkuasa di dewan kota mengancamnya dengan pengusiran meskipun pengabdian yang dia lakukan telah lebih dari empat puluh tahun.[15] Fenner Brockway, Tony Benn, dan Learie Constantine (mantan pemain kriket) juga mengutuk perusahaan bus tersebut.[16] Constantine kemudian menjabat sebagai Komisaris Tinggi untuk Trinidad dan Tobago. Constantine menulis surat kepada perusahaan bus dan Stephenson berbicara ke wartawan bahwa dia menentang keras diskriminasi warna kulit saat dia menghadiri pertandingan kriket antara Tim Gloucestershire dan Tim West Indies pada 4 hingga 7 Mei 1963.[17] Tim West Indies menolak mendukung boikot tersebut secara terbuka karena karena olahraga dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dicampur. Anggota Campaign Against Racial Discrimination (CARD) membagikan selebaran selama pertandingan berlangsung ke para penonton untuk mendukung aksi boikot tersebut.[16] Cabang lokal TGWU menolak untuk bertemu dengan delegasi dari Dewan Pembangunan India Barat dan perang kata-kata yang semakin sengit terjadi di media lokal. Ron Nethercott, Sekretaris Regional Barat Daya serikat, membujuk seorang anggota TGWU kulit hitam lokal, Bill Smith, untuk menandatangani sebuah pernyataan yang menyerukan negosiasi yang tenang untuk menyelesaikan perselisihan. Mereka mengutuk Stephenson karena menyebabkan potensi bahaya bagi penduduk kulit hitam dan Asia di kota itu.[16] Nethercott melancarkan serangan terhadap Stephenson di surat kabar Daily Herald dengan menyebutkan bahwa Stephenson tidak jujur dan tidak bertanggung jawab. Hal ini menyebabkan kasus pencemaran nama baik di pengadilan tinggi sehingga Stephenson menerima biaya ganti rugi pada Desember 1963.[18]
Dewan Gereja Bristol melakukan upaya mediasi dengan mengatakan:
Pejabat di Komisi Tinggi Jamaika, Robert Davison mengkritik pernyataan tersebut dengan "tidak masuk akal untuk menggambarkan sekelompok India Barat sebagai tidak representatif ketika tidak ada badan perwakilan India Barat".[20] Pada 6 Mei, rapat umum Hari Buruh diadakan di Eastville, anggota Dewan Perdagangan Bristol secara terbuka mengkritik TGWU. Pada hari yang sama, Paul Stephenson telah mengorganisir pawai demonstrasi ke gereja St Mary Redcliffe, tetapi jumlah pesertanya sedikit. Beberapa orang India Barat setempat mengatakan bahwa mereka seharusnya tidak ikut campur dan menurut Roy Hackett, mereka mungkin takut menjadi korban.[21] Perselisihan menyebabkan Bristol Evening menerima salah satu kantong surat terbanyak dengan kontributor yang menulis untuk mendukung kedua sisi masalah. PenyelesaianPendiri buruh kota, Uskup Bristol, dan serikat pekerja, Oliver Stratford Tomkin mengabaikan Stephenson dan mencoba bekerja dengan Bill Smith dari TGWU untuk menyelesaikan perselisihan. Learie Constantine melanjutkan dukungannya untuk kampanye tersebut dan bertemu dengan Walikota Bristol dan Frank Cousins, pemimpin Transport and General Workers Union. Dia pergi ke Transport Holding Company dan membujuk mereka untuk mengirim pejabat untuk berbicara dengan serikat pekerja. Ketua perusahaan memberi tahu Constantine bahwa diskriminasi rasial bukanlah kebijakan perusahaan. Negosiasi antara perusahaan bus dan serikat pekerja berlanjut selama beberapa bulan sampai pertemuan massal dan 500 pekerja bus menyepakati untuk mengakhiri diskriminasi warna kulit 27 Agustus. Keesokan harinya, Ian Patey mengumumkan bahwa tidak akan ada lagi diskriminasi dalam mempekerjakan awak bus.[22][23] Pada hari yang sama Martin Luther King membuat pidatonya yang terkenal "I Have a Dream" di March, Washington. Pada 17 September, Raghbir Singh, seorang Sikh, menjadi kondektur bus non-kulit putih pertama di Bristol. Beberapa hari kemudian dua orang Pakistan dan dua orang Jamaika bergabung dengannya.[24] AkibatPada tahun 1965, Parlemen Inggris Raya mengesahkan Race Relations Act yang berisi tentang "diskriminasi rasial melanggar hukum di tempat umum".[25] Undang-undang ini diikuti oleh Race Relations Act 1968 yang memperluas ketentuan untuk pekerjaan dan di perumahan.[26] Pemberlakuan undang-undang ini telah dianggap oleh beberapa orang sebagai dipengaruhi oleh boikot bus Bristol.[27][28] Koresponden Urusan Hukum untuk surat kabar The Independent, Robert Verkaik mengatakan "Tidak banyak yang meragukan bahwa tanpa upaya Stephenson, akan sulit bagi pemerintah Partai Buruh Harold Wilson untuk menerapkan undang-undang anti-diskriminasi pertama di Inggris." Pada tahun 2003, sebagai bagian dari Bulan Sejarah Hitam, BBC Radio 4 menyiarkan program tentang boikot.[29] Penerus Transport and General Workers Union, Unite mengeluarkan permintaan maaf pada Februari 2013. Laurence Faircloth, sekretaris serikat pekerja di South West menyatakan tentang sikap serikat pekerja pada saat itu, "Itu sama sekali tidak dapat diterima. Saya dapat menerima dengan baik rasa ketidakadilan dan rasa sakit yang telah dirasakan karena apa yang terjadi di Bristol bertahun-tahun yang lalu".[30] PengakuanPada tahun 2009, Stephenson ditunjuk sebagai petugas Order of the British Empire (OBE) karena bagiannya dalam mengatur boikot bus. Bailey dan Hackett juga dianugerahi OBE.[31] Referensi
|