Bifurkasi merupakan kemampuan hakim dalam hukum untuk membagi suatu sidang menjadi dua bagian sehingga dapat memberikan putusan terhadap suatu rangkaian permasalahan hukum tanpa melihat seluruh aspeknya.[1] Seringkali, kasus perdata dipecah menjadi proses tanggung jawab dan ganti rugi yang terpisah. Pada sidang pertama tergugat menjalani sidang pembuktian bertanggung jawab terhadap suatu kasus, dan jika tidak terbukti maka tidak akan ada persidangan ganti rugi. Sebaliknya, jika tergugat terbukti bertanggung jawab, maka sidang kedua akan dijadwalkan untuk memutuskan ganti rugi.[2] Persidangan pidana juga sering kali terbagi dua menjadi fase bersalah dan fase hukuman, terutama dalam kasus-kasus besar.
Pengadilan memiliki keleluasaan untuk melakukan bifurkasi dengan mempertimbangkan hal-hal seperti pokok keberatan, apakah bifurkasi akan mengurangi waktu dan biaya secara signifikan, dan apakah yurisdiksi dan manfaat saling terkait sehingga membuat bifurkasi menjadi tidak praktis.[3]
Sedangkan di Indonesia, sistem bifurkasi ialah pembagian kekuasaan kehakiman menjadi dua bagian: cabang peradilan biasa yang mengacu pada Mahkamah Agung, dan cabang peradilan konstitusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan peninjauan yudisial terhadap undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar, yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]
Referensi