Pemercikan atau aspersi (bahasa Latin: aspergere/aspersio), dalam konteks keagamaan, adalah tindakan memercikkan air, khususnya air suci kepada seseorang. Pemercikan menjadi salah satu cara yang digunakan dalam pembaptisan, yang disebut dengan baptis percik. Baptis percik merupakan alternatif dari baptis selam/celup atau baptis tuang. Selain itu, pemercikan juga dilakukan sebagai bagian dari ritus tertentu untuk mengingatkan orang akan baptis dan pembaptisan mereka. Contohnya, dalam ritual pembaruan janji baptis yang dilakukan oleh Gereja Katolik Roma dan Gereja Lutheran pada saat Paskah.
Kata "aspersi" diserap dari bahasa Latin aspergere, "memercikkan", yang terdiri dari morfem ad, "ke, kepada", dan spargo, "menyebar" (lih. Yehezkiel 36:25–26, 1 Korintus 10:2, Mazmur 77:16–20).
Masa apostolik
Pembaptisan dengan penuangan, yang diizinkan dalam keadaan luar biasa pada Gereja perdana, diizinkan melalui risalah Didache:
- Dan mengenai pembaptisan, baptislah dengan cara ini: Pertama-tama katakanlah semua hal ini, baptislah di dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus dengan air hidup. Tetapi jika engkau tidak memiliki air hidup, baptislah dengan air lainnya; dan jika engkau tidak dapat melakukannya dengan air dingin, lakukanlah dengan air hangat. Tetapi bilamana engkau tidak memiliki keduanya, tuangkanlah air sebanyak tiga kali ke atas kepala dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.
Tidak ada bukti yang mampu menunjukkan secara jelas penggunaan baptis percik, alih-alih baptis tuang atau baptis selam, pada masa tersebut.
Kekristenan awal
Cara baptis yang normal pada abad-abad permulaan — setidaknya hingga pada abad ke-12 — adalah baptis selam. Namun, jika seseorang tidak dapat diberikan baptis selam, pembaptisan dilakukan dengan baptis percik atau baptis tuang. Terdapat catatan mengenai orang-orang yang menerima pembaptisan di penjara, yang menunggu hukuman mati dan menjadi martir, tetapi cara pencelupan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. Penggunaan yang paling umum atas baptis percik/tuang adalah pembaptisan bagi orang yang sakit dan tidak dapat dipindahkan dari tempat tidur; oleh karena itu cara tersebut mendapat julukan "baptis orang sakit". Karena kelangkaannya tersebut, muncul keraguan akan keabsahan bukti tersebut, seperti yang disebutkan oleh St. Siprianus yang mengonfirmasi keraguannya.
Pada saat itu, baptis percik, seperti halnya dengan baptis tuang, dianggap sebagai penghalang menuju Tahbisan Suci; hal tersebut tampaknya disebabkan karena orang yang telah dibaptis tersebut sebelumnya menunda pembaptisannya hingga dia berada dalam ambang kematian.
Perkembangan selanjutnya
Dalam Kekristenan Barat, baptis percik dan baptis tuang perlahan-lahan menjadi praktik yang umum pada abad-abad setelahnya.
Dalam baptis percik, aspergilum umumnya digunakan sebagai alat untuk memercikkan air ke atas kulit.
Gereja Katolik Roma menganggap baptis percik sebagai cara baptis yang sah hanya jika air tersebut benar-benar mengalir di atas kulit orang tersebut, yang menjadikannya setara dengan baptis tuang.[1] Jika ada keraguan tentang cara baptisnya, baptis bersyarat dapat diberikan.
Sementara akar kata "membaptis" dapat berarti "mencelupkan" atau "membenamkan", kata itu juga dapat digunakan dalam Perjanjian Baru untuk merujuk pada tindakan pembasuhan sebagian tubuh (Lukas 11:38). Meskipun demikian, beberapa denominasi Kristen mengajarkan bahwa pembaptisan yang dilakukan dengan pemercikan dan penuangan tidaklah sah.
Referensi
Pranala luar