Bangun-guna-serah (Bahasa Inggris: Build–operate–transfer atau biasa disingkat menjadi BOT) adalah sebuah bentuk metode penyelesaian proyek, biasanya untuk proyek infrastruktur berskala besar, di mana entitas swasta mendapat konsesi dari sektor publik (atau terkadang sektor swasta) untuk mendanai, merancang, membangun, memiliki, dan mengoperasikan infrastruktur yang dinyatakan di dalam kontrak konsesi. Metode ini memungkinkan pendukung suatu proyek untuk mengembalikan investasi serta biaya operasi dan perawatan dari infrastruktur tersebut.
BOT biasanya digunakan pada kemitraan pemerintah swasta. Karena BOT bersifat jangka panjang, biaya biasanya rutin dinaikkan selama periode konsesi. Tingkat kenaikan biaya biasanya didasarkan pada kombinasi variabel internal dan eksternal, sehingga memungkinkan pendukung proyek untuk mencapai IRR yang cukup bagi investasinya.
BOT banyak digunakan pada proyek infrastruktur dan pada kemitraan pemerintah swasta. Pada bingkai kerja BOT, sebuah pihak ketiga, contohnya pemerintah, mendelegasikan sebuah entitas swasta untuk merancang dan membangun suatu infrastruktur, lalu mengoperasikan dan merawat infrastruktur tersebut selama jangka waktu tertentu. Selama periode tersebut, entitas swasta bertanggung jawab untuk mengumpulkan pendanaan untuk infrastruktur tersebut dan berhak mengumpulkan semua pendapatan yang dihasilkan dari infrastruktur tersebut serta menjadi pemilik dari infrastruktur tersebut. Infrastruktur tersebut lalu akan diserahkan ke pemerintah pada akhir konsesi,[4] tanpa remunerasi apapun kepada entitas swasta.
Sejumlah atau bahkan semua pihak berikut dapat terlibat dalam proyek BOT:
Pemerintah: Normalnya, pemerintah adalah pencetus dari proyek infrastruktur dan memutuskan apakah BOT cocok untuk memenuhi kebutuhannya. Situasi politik dan ekonomi pun menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan tersebut. Pemerintah biasanya menyediakan dukungan untuk proyek BOT dalam sejumlah bentuk (penyediaan lahan / revisi peraturan).
Konsesioner: Sponsor proyek yang bertindak sebagai konsesioner akan membentuk entitas tersendiri untuk memegang konsesi. Konsesioner lalu akan menyuntikkan modal ke entitas tersebut.
Bank peminjam: Sebagian besar proyek BOT didanai oleh utang komersial. Bank diharapkan mendanai proyek tersebut dengan skema non-recourse, yang berarti bahwa bank hanya dapat menagih utang kepada entitas pemegang konsesi.
Peminjam lain: Dapat berupa bank pembangunan daerah atau nasional.
Pihak yang terlibat dalam proyek: Karena entitas pemegang konsesi hanya memiliki sedikit tenaga kerja, maka mereka akan melakukan subkontrak ke pihak ketiga untuk melakukan kewajibannya sesuai kontrak konsesi. Selain itu, entitas pemegang konsesi juga harus memastikan bahwa mereka memiliki kontrak pasokan yang cukup, baik untuk bahan baku maupun sumber daya lain yang diperlukan oleh proyek.
Proyek BOT biasanya digunakan untuk mengembangkan satu infrastruktur, bukannya jaringan infrastruktur, dan biasanya benar-benar baru (atau terkadang juga perbaikan). Dalam sebuah proyek BOT, konsesioner biasanya memperoleh pendapatan dari biaya yang ditagihkan kepada pemerintah / utilitas, bukannya dari biaya yang ditagihkan ke konsumen. Sejumlah proyek disebut konsesi, seperti proyek jalan tol, yang benar-benar baru dan memiliki sejumlah kemiripan dengan BOT.[4]
Secara umum, sebuah proyek dinyatakan layak secara finansial bagi swasta apabila pendapatan yang dihasilkan oleh proyek tersebut dapat menutupi biaya dan menyediakan return on investment yang cukup. Di sisi lain, bagi pemerintah, kelayakan suatu proyek tergantung pada efisiensi yang dihasilkan oleh suatu proyek jika dibandingkan dengan keekonomian pembiayaan proyek tersebut dengan anggaran pemerintah. Bahkan jika pemerintah dapat meminjam uang dengan syarat yang lebih baik daripada swasta, faktor lain dapat mengurangi keunggulan tersebut. Contohnya, keahlian dan efisiensi dari swasta serta transfer risiko. Sehingga, swasta menanggung lebih banyak resiko daripada pemerintah. Berikut ini sejumlah risiko yang paling umum bagi proyek BOT:
Risiko politik: terutama di negara berkembang, karena dapat terjadi perubahan kondisi politik yang cukup cepat.
Risiko teknis: kesulitan konstruksi, contohnya kondisi lahan dan kerusakan peralatan
Risiko keuangan: risiko kurs mata uang asing dan fluktuasi suku bunga, risiko pasar (perubahan harga bahan baku), risiko pendapatan (perkiraan arus kas yang terlalu optimis), dan risiko kelebihan biaya[5][6][7]
Teori ekonomi
Dalam teori kontrak, sejumlah penulis telah mempelajari keunggulan dan kelemahan dari pemaketan pembangunan dan pengoperasian infrastruktur. Secara khusus, Oliver Hart (2003) telah menggunakan pendekatan kontrak tidak lengkap untuk menginvestigasi seberapa besar insentif dari penggabungan sejumlah tahapan proyek ke dalam satu kontrak.[8] Hart (2003) menemukan bahwa insentif pemaketan kontrak lebih besar daripada kontrak terpisah. Namun, terkadang insentif pemaketan dapat terlalu berlebihan, karena pemaketan dapat mengarah pada penurunan kualitas yang parah, sehingga tergantung pada rincian dari proyek, apakah lebih optimal jika dipaketkan atau tidak dipaketkan. Karya Hart (2003) pun telah dikembangkan ke sejumlah arah.[9][10] Contohnya, Bennett dan Iossa (2006) dan Martimort dan Pouyet (2008) menginvestigasi interaksi antara hak kepemilikan dan pemaketan,[11][12] sementara Hoppe dan Schmitz (2013, 2021) mengeksplorasi dampak pemaketan terhadap penciptaan inovasi.[13][14]
^Wilde Sapte LLP, Denton (2006). Public Private Partnerships: Bot Techniques and Project Finance. London: Euromoney Books. hlm. 224. ISBN978-1-84374-275-3.
^Mishra, R.C. (2006). Modern Project Management. New Age International. hlm. 234. ISBN978-81-224-1616-9.
^Hart, Oliver (2003). "Incomplete Contracts and Public Ownership: Remarks, and an Application to Public‐Private Partnerships". The Economic Journal (dalam bahasa Inggris). 113 (486): C69–C76. doi:10.1111/1468-0297.00119. ISSN0013-0133.
^Iossa, Elisabetta; Martimort, David (2015). "The Simple Microeconomics of Public-Private Partnerships". Journal of Public Economic Theory (dalam bahasa Inggris). 17 (1): 4–48. doi:10.1111/jpet.12114. ISSN1467-9779.
^Henckel, Timo; McKibbin, Warwick J. (2017). "The economics of infrastructure in a globalized world: Issues, lessons and future challenges". Journal of Infrastructure, Policy and Development (dalam bahasa Inggris). 1 (2): 254–272. doi:10.24294/jipd.v1i2.55. ISSN2572-7931.
^Martimort, David; Pouyet, Jerome (2008). "To build or not to build: Normative and positive theories of public–private partnerships". International Journal of Industrial Organization. 26 (2): 393–411. doi:10.1016/j.ijindorg.2006.10.004. ISSN0167-7187.
^Hoppe, Eva I.; Schmitz, Patrick W. (2021). "How (Not) to Foster Innovations in Public Infrastructure Projects". The Scandinavian Journal of Economics (dalam bahasa Inggris). 123: 238–266. doi:10.1111/sjoe.12393. ISSN1467-9442.