Bambang Soepeno
Brigadir Jenderal TNI (Purn.) Bambang Soepeno (lahir di Malang, Jawa Timur, 23 Juli 1924 - meninggal pada 1974 ) merupakan salah satu tokoh penggerak semangat juang Ia juga dikenal sebagai konseptor “Sapta Marga”, Doktrin TNI yang masih berkumandang hingga sekarang. Di masa Perang Kemerdekaan (1946-1949), Bambang Soepeno namanya sempat terkenal, sebagai Panglima Divisi (front Jatim), dengan usia termuda, 22 tahun. Riwayat HidupLatar BelakangBambang Soepeno lahir pada tanggal 23 Juli 1924, sebagai anak kedua dari Wedana Kepanjen di Kabupaten Malang. Pada usia 13 tahun ayah Bambang Soepeno wafat, sehingga hanya diasuh oleh ibunya. Pada masa remajanya telah mengikuti berbagai aktivitas, seperti keolahragaan, seni bela diri, dan Kepanduan Kebangsaan Indonesia (KBI). Dalam setiap kegiatan tersebut, beliau selalu dipercaya dan dipilih menjadi ketua. Pada masa sekolah rendah hingga MULO zaman kolonial Belanda, jiwa kebangsaannya terlihat mencolok. Pada masa pendudukan Jepang, sebagai murid SMP (Chugakko) di Malang, Bambang Soepeno dipilih sebagai pimpinan murid sekolah.[1] Karier MiliterPada masa dibentuknya Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) Bambang Soepeno ikut mendaftar. Para pendaftar itu akan menduduki pangkat sebagai Shodancho dan pendidikannya di Bogor. Selanjutnya, sekembali dari pendidikan tersebut, para shodancho diberi kepercayaan untuk melatih murid Chugakko. Pada awal Januari 1945 dibuka pendidikan calon Ippang taiing Yugekitai di Malang, Bambang Soepeno merupakan salah satu pelatihnya. Pada saat pemberontakan Peta di Blitar, Bambang Soepeno dipilih memimpin beberapa Shodancho Seinendojo untuk menyelesaikan masalah pemberontakan tersebut. Bambang Soepeno ditugasi mengadakan kontak dengan Soepriyadi. Namun, ternyata setelah pemberontakan itu berakhir, Jepang berbalik arah dan mengingkari janji. Mereka dihadapkan pada Pengadilan Tentara Jepang. Karenanya para shodancho sering berurusan dengan Kempetai, bahkan sering kali pimpinan Jepang di Seinendojo, Kutaicho Kapten Tamai, harus bertanggung jawab dan menjadi sibuk oleh adanya urusan seperti ini. Pada tanggal 14 Agustus 1945 tentara PETA secara resmi dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Atas inisiatif Bambang Soepeno, beberapa mantan anggota Seinendojo diminta berkumpul di rumah Letjen TNI (Purn.) Purbo Suwondo di Jalan Arjuno 20 Malang. Mereka berkumpul bertujuan untuk menentukan sikap dan upaya awal konsolidasi. Kemudian diadakan hubungan dengan anggota Seinendojo dari daerah Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Bondowoso. Pembentukan BKR MalangPada tanggal 23 Agustus 1945 diadakan rapat pembentukan BKR di Malang yang dipimpin Imam Soedja’i dan dihadiri Bambang Soepeno. Bersama beberapa mantan anggota Seinendojo, Shodancho Bambang Soepeno membentuk BKR-P (Badan Keamanan Rakyat-Penyelidik). Beliau akhirnya diangkat menjadi Komandan Polisi Tentara Divisi VII/Untung Suropati dengan pangkat Mayor. Proses pembentukan P-TKR selanjutnya berkembang menjadi PTKR/PTRI dan CPM (Corps Polisi Militer). Periode tersebut merupakan periode terselesaikannya dan mantapnya masa konsolidasi. Periode tersebut melambungkan nama PTRI, sehingga dianggap merupakan alat penegak hukum dan pencipta ketertiban dalam lingkungan TRI dan kelaskaran. Selanjutnya, untuk meningkatkan mutu anggota PTRI dibentuklah semacam Depot Batalyon bertempat di Nongkojajar. Di tempat ini para anggota PTRI mendapat pendidikan lebih lanjut. Kemudian didirikan pula semacam SKI, pendidikan kader bintara PTRI, bertempat di asrama bekas sekolah ELS yang terletak di Jalan Arjuno Malang. Langkah dan strategi yang diambil di atas semua merupakan kebijakan dan hasil pemikiran Shodancho Bambang Soepeno sebagai Komandan Polisi Tentara. Demikian pula masalah yang menyangkut kejiwaan diberikan penekanan secara ketat. Oleh karena itu, para instruktur pun dipilih sedemikian rupa antara lain berdasarkan kriteria kepemilikan jiwa dan semangat kebangsaan serta kemiliteran secara kuat. Di samping itu, hal yang paling penting adalah masalah kedisiplinan. Salah satu caranya adalah dengan ujian. Ujian tersebut dilakukan pada saat kader PTRI digabung dengan peleton khusus yang terdiri dari Kadet (Sekolah Tentara Divisi), dan diterjunkan di medan laga antara Gempol-Porong. Mereka dipimpin oleh Kapten Subowo. Dari ujian ini dapat diketahui siapa di antara mereka yang dapat diandalkan. Di samping itu, Mayor Bambang Soepeno sangat menekankan jiwa kebangsaan seperti yang tersirat dalam amanat Panglima Besar Sudirman. Dalam melaksanakan tugas sebagai tugas sebagai penegak hukum, anggota PTRI dibekali dengan motto kesucian, keadilan, dan kenyataan. Perkembangan selanjutnya diadakan pemantapan organisasi BKR-P menjadi Polisi Tentara. Di Jawa dibentuk tiga resimen Polisi Tentara. Di daerah Jawa Timur, komandannya ditetapkan semula berpangkat Letnan Kolonel, kemudian menjadi Kolonel. Sebagai komandan Resimen Polisi Tentara III Jawa Timur, Kolonel Bambang Soepeno dikenal dekat dengan lingkungan Staf Divisi VII Untung Suropati, terutama dengan mantan Chu, Kolonel Sukandar Tjokronegoro. Beliau ini menjabat sebagai Asisten Intelejen Divisi VII Untung Suropati. Selanjutnya Kolonel Bambang Soepeno diangkat sebagai Panglima Komando Pertempuran Divisi. Beliau menjabat sebagai Cop merangkap Komandan Resimen Polisi Tentara III. Pada saat pertempuran di Surabaya, beliau juga berhasil menjalin kordinasi antara lain dengan Komando Pertempuran di Surabaya yang dipimpin Kolonel Sungkono. Bambang Soepeno juga memberikan konsep pembentukan PTP (Polisi Tentara Pertempuran) yang dipimpin oleh Kapten Moh. Drajad dan bermarkas di Sidoarjo. Tugas mereka adalah untuk mengatur ketertiban dan keamanan di lingkungan tentara dan kelaskaran, termasuk pengurusan desersi prajurit yang bertugas di garis depan. Konsep pemikiran ini sangat unik dan bermanfaat dalam rangka menunjang kepentingan pertahanan perang linier. Akibat agresi militer Belanda, kedudukan Cop berpindah-pindah dari Candi, Pandaan, Malang, Maduharjo Gunung Kawi, Turen, dan berakhir di Dampit. Karena perkembangan organisasi dan keadaan, COP dilikuidasi. Kolonel Bambang Soepeno menggantikan Jenderal Mayor Imam Soedja’i sebagai Panglima Divisi VII/Untung Suropati. Jabatan tersebut tidak berlangsung lama, karena di lingkungan tentara diadakan reorganisasi dan rasionalisasi. Karena pemikirannya yang menonjol, Kolonel Bambang Soegeng diangkat sebagai Kepala Staf Umum Angkatan Darat. Jabatan ini dipangku pada saat Kolonel AH Nasution sebagai KASAD. Riwayat Jabatan
Referensi
|