Bagarakan Sahur merupakan aktivitas sekelompok pemuda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang bangun di tengah malam selama bulan puasa dengan tujuan membangunkan umat Muslim untuk makan sahur. Tidak ada catatan yang menyebutkan awal mula dilakukannya bagarakan ini. Konon tradisi ini sudah ada sejak munculnya Islam di tanah Banjar. Dahulu warga akrab dengan badadamaran atau menyalakan lampu dari getah kayu damar. Lampu-lampu pelita biasanya dipajang di halaman rumah dan pinggiran jalan sejak malam 21 Ramadan hingga menjelang lebaran.[1] Tradisi bagarakan sahur ini sudah sejak lama berlangsung secara turun temurun.[2]
Bagarakan Sahur menjadi hiburan rakyat yang populer setiap Ramadan. Saat itu, tak hanya besi tua yang menjadi alat yang dipukul, tetapi ditambah dengan suara seruling, gendang, dan gong.[3]
Di Samarinda (Kalimantan Timur), bagarakan sahur diadopsi dari tradisi yang sama dengan masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Kultur lokal Banjar memang lekat di Samarinda mengingat sejak abad ke-15 Samarinda yang bagian dari wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara termasuk vasal (daerah kekuasaan) dari Kerajaan Banjar. Para pemuda muslim di Samarinda melakukan bagarakan sahur dengan membawa bermacam-macam alat. Pada abad ke-20 sudah muncul perkakas-perkakas modern seperti piring seng, kaleng, sendok, botol kaca, selain bilah bambu tradisional. Di awal abad ke-21 ada galon air 19 liter yang dipergunakan. Barang-barang tersebut dibawa oleh setiap kelompok di masing-masing kampung. Peserta Bagarakan Sahur di Samarinda, tak hanya dari etnis Banjar, tetapi juga dari suku lainnya.[4]
Referensi