Bhikkhu Atimedho atau Bhante Atimedho adalah salah seorang Bhikkhu yang berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia (STI). Beliau berdomisili di Vihara Jaya Manggala, Gedung Vipassana, Lebak Bandung, Jelutung, Jambi.[1]
Biografi
Bhikkhu Atimedho Mahathera terlahir dengan nama Martoyo di Prambanan, Jawa Tengah, pada tanggal 2 Juli 1967. Ia merupakan anak pertama dari delapan bersaudara, putra sulung pasangan bapak Sugino dan ibu Tukinah. Memasuki usia 18 bulan, ia dibawa merantau ke Desa Margorejo di Lampung. Di desa tersebut, ia menghabiskan masa kanak-kanaknya.[2]
Martoyo menamatkan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Watu Agung yang harus ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam dari tempat tinggalnya. Sepulang sekolah, ia membantu orang tuanya mencari kayu bakar untuk memasak, mencari rumput untuk pakan ternak, dan membantu pekerjaan lainnya. Setelah lulus dari SDN 1 Watu Agung, Martoyo melanjutkan pendidikannya ke SMP Pandhawa, Watu Agung, yang berjarak 4 km dari rumahnya. Jika hujan turun, jalan yang dilalui menjadi licin dan becek, bahkan ia harus memikul sepedanya ke sekolah karena ban sepeda penuh lumpur.[2]
Kesukaan Martoyo adalah memelihara hewan ternak yang ia lakukan sepulang sekolah. Pada malam harinya, ia belajar bersama serta mengerjakan tugas-tugas sekolah di Vihara Jinamargadipa yang ada di desanya.[2]
Martoyo kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SMA Pangudi Luhur, Bandar Lampung. Ia tinggal di asrama Buddhis yang menyatu dengan Vihara Virya Paramita, yang juga merupakan tempat belajar Dhamma dan meditasi. Setelah menyelesaikan pendidikan SMA, ia berkeinginan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Berbekal informasi dari Bapak Sudibyana (Pembimas agama Buddha Provinsi Lampung pada saat itu) mengenai Sekolah Tinggi Sangha Dhammacakka Jakarta, ia berangkat ke Jakarta dan juga menjadi kesempatan baginya untuk menjadi seorang Samanera.[2]
Kehidupan religius
Vihara Jinamargadipa di Desa Margorejo, Lampung, merupakan tempat Martoyo mengikuti kebaktian dan banyak mempelajari Buddha Dhamma. Di vihara itulah ia memunculkan niat dan tekad bahwa kelak, meskipun hanya dalam waktu satu hari, ia akan mengenakan jubah Bhikkhu.[2]
Penahbisan Samanera
Martoyo menerima penahbisan sebagai Samanera (PABBAJJÃ) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya pada tanggal 26 Oktober 1988, pukul 09.30 WIB. Penahbisnya (Upajjhãya) adalah Y.M. Sukhemo dan guru pembimbingnya (Ãcãriya) adalah Y.M. Sujato. Martoyo sendiri mengambil nama penahbisan Atimedho.[1]
Ia meminta kedua orang tuanya agar mengizinkannya menjadi seorang Samanera, sebagai persyaratan mutlak yang harus dipenuhi sesuai tradisi agama Buddha. Awalnya, orang tuanya mempertanyakan apakah ia yakin dengan pilihan tersebut dan bertanya, "Apabila kamu masuk menjadi samanera kamu tidak menikah dan tidak punya keturunan, apakah kamu sudah siap?". Martoyo menjawab, "Pangeran Siddharta saja memiliki segalanya baik anak istri, tahta, dan kemasyuran dengan latar belakang putra seorang raja, semuanya ia tinggalkan, kenyatannya hingga saat ini banyak yang meneruskan ajarannya".[2]
Saat itu calon samanera yang mendaftar melebihi kapasitas daya tampung sehingga diadakan seleksi yang ketat. Martoyo mengikuti ujian tertulis dan wawancara di tiga tempat, yaitu di Vihara Dhammacakka Jakarta, Vihara Mendut Jawa tengah, dan Vihara Dhammadipa Arama jawa Timur. Para calon lulus ujian juga harus mengikuti ujian Psikotest di jakarta. Setelah lulus ujian psikotest, mereka masih harus mengikuti ujian mental seperti tidur di daerah hutan kecil di pinggiran sungai Elo dan di perkuburan Jawa Tengah di bawah bimbingan Bhikkhu Uttamo. Hasilnya, 12 orang samanera dinyatakan lulus untuk mengikuti pendidikan, dan salah satunya adalah Martoyo yang dinyatakan lulus dari Provinsi Lampung.[2]
Penahbisan Bhikkhu
Setelah dua tahun menjadi samanera, Samanera Atimedho mengajukan permohonan untuk diberi kesempatan ditahbiskan menjadi seorang Bhikkhu. Bersama beberapa teman samanera lainnya, mereka mengajukan permohonan kepada Sangha Theravada Indonesia.[2]
Samanera Atimedho ditahbiskan sebagai Bhikkhu (UPASAMPADÃ) di Vihãra Jakarta Dhammacakka Jaya pada tanggal 19 Juli 1991, pukul 09.50.32 WIB. Penahbisnya (Upajjhãya) adalah Y.M. Sukhemo, guru penahbis (Kammavãcãriya) adalah Y.M. Dhammavijayo, dan guru pembimbingnya ((Anusavanãcãriya)) adalah Y.M. Sujato. Nama kebhikkhuan yang diambil adalah Atimedho.[1]
Nama penahbisan Atimedho berasal dari bahasa Pali memiliki arti "Kebijaksanaan yang Luhur". Pemberian nama oleh Upajjhaya kepada samanera Martoyo didasari pada karakter dan kesehariannya ketika menempuh pendidikan, yaitu tenang, damai, dan berpegang teguh pada aturan-aturan yang berlaku. Sebuah pengharapan bahwa dengan kebijaksanaan yang dia miliki dapat menginspirasi orang lain di sekitarnya untuk bersikap demikian.[2]
Pelayanan
Bhikkhu Atimedho melalui 3 masa Vassa di Vihara Dhammacakka Jaya. Selama itu, ia banyak melakukan pembinaan di beberapa kabupaten dan kota di pulau Jawa.[2]
Pada tahun keempat, Bhikkhu Atimedho mendapat tugas dari Sangha Theravada Indonesia untuk kembali ke Lampung dan melaksanakan pembinaan umat di sana. Awalnya terjadi pergolakan dalam dirinya, karena pada masa itu beredar cerita bahwa bagi seorang Bhikkhu yang ingin beradaptasi dengan masyarakat Sumatra, apabila tidak memiliki ketahanan mental, maka tidak akan bertahan lama.[2] Namun, ia berhasil beradaptasi dengan lingkungan baru di sana.
Selama melakukan pembinaan di Lampung, ia menyempatkan diri melakukan berbagai kunjungan ke provinsi-provinsi lainnya di pulau Sumatra. Bhikkhu Atimedho juga merintis berbagai Vihara di Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Jambi, dan Kepulauan Riau. Saat ini, ia tercatat sebagai Kepala Vihara Jaya Manggala Jambi, Kepala Vihara Dhammavijja Palembang, dan Kepala cetiya Dhammaramsi Lampung.[2]
Referensi