Pada tahun 2002, perusahaan ini secara sukarela mengembalikan lisensi akuntan publiknya di Amerika Serikat setelah terbukti bersalah dalam mengauditEnron, sebuah perusahaan energi asal Texas yang telah mengajukankebangkrutan pada tahun 2001.[1] Pada tahun 2005, Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan vonis terhadap Arthur Andersen, karena adanya kesalahan nyata pada instruksi hakim kepada juri yang memvonis perusahaan ini.[2] Walaupun begitu, vonis tersebut telah merusak reputasi Andersen, sehingga tidak dapat lagi berbisnis seperti semula, bahkan dalam skala kecil sekalipun.
Bekas bisnis konsultansi dan alih daya dari perusahaan ini kemudian dipisah dari bisnis akuntansinya, dan dipisah dari Andersen Worldwide pada tahun 2000, saat mereka mengubah namanya menjadi Accenture, yang masih eksis hingga hari ini.
Pada tahun 1913, Arthur Andersen dan Clarence DeLany mendirikan sebuah biro akuntansi dengan nama Andersen, DeLany & Co.[4] Perusahaan tersebut kemudian diubah namanya menjadi Arthur Andersen & Co. pada tahun 1918. Klien pertama Arthur Andersen adalah Joseph Schlitz Brewing Company asal Milwaukee.[5] Pada tahun 1915, karena banyaknya kontrak di sana, perusahaan inipun resmi membuka kantor kedua di Milwaukee.
Andersen percaya bahwa pendidikan merupakan dasar bagi pengembangan profesi akuntansi. Ia pun membuat program pelatihan terpusat pertama di bidang akuntansi dan mengadakan pelatihan di jam kerja. Ia juga berkomitmen membantu organisasi amal, kemanusiaan, dan pendidikan. Pada tahun 1927, ia dipilih menjadi salah satu wali amanat dari Universitas Northwestern dan menjadi presidennya dari tahun 1930 hingga 1932. Ia juga menjadi chairman dewan penguji akuntan publik Illinois.
Reputasi
Andersen, yang memimpin perusahaan ini hingga kematiannya pada tahun 1947, merupakan pendukung standar tinggi pada industri akuntansi. Ia pun menyatakan bahwa akuntan bertanggung jawab kepada investor dari kliennya, bukan kepada manajemen dari kliennya. Hal tersebut pun memunculkan sebutan "Arthur Androids", karena para pegawainya bertekad menyediakan jasa yang sama untuk semua klien di semua lokasi. Selama beberapa tahun, motto Andersen adalah "Think straight, talk straight"—sebuah aksioma yang diwariskan dari ibunya.[6] Pada saat masih baru berdiri, diberitakan bahwa Andersen dibujuk oleh seorang pimpinan perusahaan utilitas perkeretaapian untuk menandatangani laporan keuangan mereka yang mengandung kesalahan akuntansi, atau perusahaan tersebut tidak akan menggunakan jasa Andersen lagi. Andersen menolak untuk tanda tangan, dan menyatakan bahwa "tidak ada cukup uang di Chicago" untuk membuatnya mau menandatangani laporan tersebut. Perusahaan tersebut kemudian memutuskan hubungannya dengan Andersen, dan akhirnya bangkrut beberapa tahun kemudian.
Arthur Andersen juga memimpin dalam sejumlah standar akuntansi. Sebagai salah satu yang dapat mengidentifikasi kemungkinan terjadinya ledakan subprima, Arthur Andersen memutuskan hubungannya dengan sejumlah klien pada dekade 1970-an. Kemudian, dengan munculnya opsi saham sebagai salah satu bentuk kompensasi, Arthur Andersen merupakan biro akuntansi besar pertama yang mengajukan ke FASB bahwa opsi saham karyawan seharusnya dimasukkan ke dalam laporan beban, sehingga dapat mempengaruhi laba bersih, sebagaimana kompensasi tunai.
Pada dekade 1980-an, standar di industri akuntansi jatuh, karena biro akuntansi kesulitan untuk menyeimbangkan komitmen mereka mengenai independensi audit dengan keinginan mereka untuk mengembangkan bisnis konsultansinya. Setelah reputasinya makin baik di bidang konsultansi teknologi informasi pada dekade 1980-an, Arthur Andersen pun mengalami kesulitan yang sama. Perusahaan ini mengembangkan praktek konsultansinya hingga akhirnya mayoritas pendapatannya berasal dari konsultansi, sementara mitra auditnya terus didorong untuk mencari komisi konsultansi dari kliennya selama ini. Pada akhir dekade 1990-an, Arthur Andersen berhasil meningkatkan pendapatan mitranya hingga tiga kali lipat.
Dua dari tiga Kepala General Accounting Office Amerika Serikat (kini Government Accountability Office) pernah menjadi pimpinan di Arthur Andersen.[10]
Andersen Consulting dan Accenture
Bisnis konsultansi dari perusahaan ini menjadi makin penting pada dekade 1970-an dan 1980-an, karena tumbuh lebih cepat dari bisnis akuntansi, audit, dan pajak. Pertumbuhan yang timpang tersebut membuat mitra di bisnis konsultansi merasa bahwa mereka tidak mendapat jatah yang adil dari total laba perusahaan, sehingga menciptakan gesekan antara kedua bisnis tersebut.
Pada tahun 1989, Arthur Andersen dan Andersen Consulting resmi menjadi unit terpisah di bawah Andersen Worldwide Société Coopérative. Arthur Andersen pun meningkatkan pemanfaatan bisnis akuntansinya sebagai batu loncatan bagi kliennya, agar berminat menggunakan jasa Andersen Consulting yang lebih menguntungkan.
Andersen Consulting meraup laba yang cukup besar pada dekade 1990-an. Namun mereka tidak senang dengan pembayaran transfer yang harus mereka lakukan ke Arthur Andersen. Pada bulan Agustus 2000, berdasarkan kesimpulan arbitrase perselisihan Kamar Dagang Internasional, arbitrator menyatakan bahwa Andersen Consulting resmi independen dari Arthur Andersen, namun juga diharuskan membayar US$1,2 milyar (yang telah disimpan di escrow sebelum keputusan dibuat) ke Arthur Andersen, dan menyatakan bahwa Andersen Consulting tidak dapat lagi menggunakan nama Andersen. Sehingga Andersen Consulting mengubah namanya menjadi Accenture pada Hari Tahun Baru 2001 sementara Arthur Andersen yang memegang hak untuk memakai nama Andersen, juga mengubah namanya menjadi "Andersen".
Empat jam setelah arbitrator menetapkan keputusannya, CEO Arthur Andersen, Jim Wadia resmi mengundurkan diri. Analis industri dan profesor sekolah bisnis melihat keputusan ini sebagai kemenangan mutlak untuk Andersen Consulting.[11] Jim Wadia lalu menceritakan penyebab pengunduran dirinya beberapa tahun kemudian di Sekolah Bisnis Harvard. Ia menyatakan bahwa dewan direksi Arthur Andersen pada saat itu telah menetapkan sebuah resolusi yang mengharuskannya mengundurkan diri apabila perusahaan tidak dapat memperoleh setidaknya US$4 milyar (baik melalui negosiasi atau melalui keputusan arbitrator) dari pemisahan bisnis konsultansi, sehingga ia akhirnya mengundurkan diri.[12]
Ada beberapa pendapat mengenai kenapa pemisahan tersebut terjadi. Pimpinan kedua bisnis tersebut menyatakan bahwa pemisahan terjadi karena arogansi dan keserakahan. Pimpinan Andersen Consulting menuduh Arthur Andersen melanggar kontrak dengan mendirikan bisnis konsultansi kedua, yakni AABC (Arthur Andersen Business Consulting) yang bersaing langsung dengan Andersen Consulting. AABC pun tumbuh pesat, terutama di bidang teknologi dan perawatan kesehatan. Sejumlah anggota AABC dibeli oleh perusahaan konsultasi yang lain pada tahun 2002, terutama oleh Deloitte (terutama di Eropa), Hitachi Consulting, PwC Consulting, yang kemudian dibeli oleh IBM, dan KPMG Consulting, yang kemudian mengubah namanya menjadi BearingPoint.
Pasca skandal pada tahun 2001, di mana perusahaan energiEnron terbukti melaporkan pendapatan sebesar $100 milyar melalui penipuan akuntansi yang sistematis, performa dan kelayakan Andersen sebagai auditor pun dipertanyakan. The Powers Committee (ditunjuk oleh direksi Enron untuk mengecek akuntansi perusahaannya pada bulan Oktober 2001) mencapai kesimpulan berikut: "Bukti yang dapat kami temukan menunjukkan bahwa Andersen tidak memenuhi tanggung jawab profesionalnya terkait dengan audit terhadap laporan keuangan Enron, ataupun kewajibannya untuk memberitahu direksi Enron (atau Komite Kepatuhan dan Audit) tentang kontrak internal Enron atas transaksi dengan pihak lain".[13]
Pada tanggal 15 Juni 2002, Andersen divonis menghalangi hukum, karena merobek dokumen yang terkait dengan auditnya terhadap Enron yang menyebabkan Skandal Enron. Walaupun Mahkamah Agung Amerika Serikat kemudian membatalkan vonis tersebut, dampak dari skandal tersebut dan ditambah dengan adanya keterlibatan tindak kriminal, akhirnya menghancurkan perusahaan ini. Nancy Temple (karyawan departemen hukum Andersen) dan David Duncan (mitra utama Andersen untuk Enron) disebut sebagai orang yang bertanggung jawab atas skandal ini, karena merekalah yang memerintahkan anak buahnya untuk merobek dokumen yang terkait.
Karena Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat tidak akan menerima audit dari perusahaan yang tervonis, perusahaan ini akhirnya mengembalikan lisensi kantor akuntan publiknya pada tanggal 31 Agustus 2002. Bisnis perusahaan ini di Amerika Serikat pun makin lemah akibat vonis tersebut, dan sejumlah akuntannya akhirnya bergabung ke perusahaan lain. Perusahaan ini lalu menjual mayoritas bisnisnya di Amerika ke KPMG, Deloitte & Touche, Ernst & Young, dan Grant Thornton LLP. Reputasi buruk Andersen di Amerika Serikat pun ikut menghancurkan bisnisnya di luar Amerika Serikat. Sebagian besar bisnis perusahaan ini di luar Amerika Serikat akhirnya dibeli oleh biro akuntansi internasional lain.
Pada tanggal 31 Mei 2005, dalam kasus Arthur Andersen LLP v. Amerika Serikat, Mahkamah Agung Amerika Serikat membatalkan vonis terhadap Andersen, karena adanya kesalahan dalam instruksi juri dari hakim.[2] Mahkamah Agung menyatakan bahwa instruksi tersebut terlalu ambigu untuk memungkinkan juri menemukan bahwa penghalangan hukum telah terjadi. Mahkamah menemukan bahwa instruksi tersebut sengaja disusun agar Andersen dapat divonis tanpa ada bukti bahwa perusahaan tersebut telah melanggar hukum atau tanpa ada hubungan ke peraturan yang melarang penghancuran dokumen. Keputusan tersebut, yang ditulis oleh Ketua Mahkamah William Rehnquist, juga mengungkapkan skeptismenya mengenai konsep pemerintah tentang "bujukan korup", yakni membujuk orang untuk melakukan hal yang melawan hukum, tanpa mengetahui bahwa hal tersebut sebenarnya melawan hukum.
Pembubaran
Putusan pada tahun 2005 secara teoretis membuat Andersen dapat melanjutkan bisnisnya. Namun, CNN kemudian memberitakan bahwa Andersen "hampir bubar," dengan hanya 200 orang pegawai, dari yang sebelumnya mencapai 28.000 orang pada tahun 2002.[14] Pasca putusan tersebut, William Mateja, mantan penasehat Jaksa Agung yang telah mengawasi Andersen, menyatakan pada NPR bahwa ia tidak percaya bahwa pemerintah akan melakukan penuntutan ulang karena "tidak ada lagi yang tersisa di Arthur Andersen, dan menghabiskan uang untuk penuntutan ulang akan sangat tidak masuk akal." Senada dengan itu, wakil presiden Kamar Dagang Amerika Serikat, Stephen Bokat mengumumkan bahwa Andersen "telah mati," dan menyatakan bahwa "perusahaan tersebut tidak dapat bangkit lagi."[15] Pada bukunya mengenai skandal Enron, Conspiracy of Fools, jurnalis Kurt Eichenwald menyatakan bahwa walaupun Andersen berhasil selamat dari skandal Enron, perusahaan ini kemungkinan tetap akan runtuh akibat penipuan akuntansi di WorldCom. Penipuan WorldCom muncul hanya beberapa hari setelah Andersen divonis bersalah atas kasus di Enron.[16]
Pasca vonis tersebut, Andersen tidak dapat bangkit lagi, bahkan dalam skala kecil sekalipun. Kepemilikan perusahaan ini akhirnya diserahkan ke empat perseroan terbatas yang diberi nama Omega Management I hingga IV.
^Moore, Mary Virginia; Crampton, John (2000). "Arthur Andersen: Challenging the Status Quo"(PDF). The Journal of Business Leadership. American National Business Hall of Fame. 11 (3): 71–89. Diakses tanggal 2008-05-05.