Arief Budiman
Arief Budiman (3 Januari 1941 – 23 April 2020)[1] dilahirkan dengan nama Soe Hok Djin (史福仁),[2] adalah seorang aktivis demonstran Angkatan '66 bersama dengan adiknya, Soe Hok Gie ketika ia masih menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Arief juga pernah mengajar sebagai Guru Besar di Universitas Melbourne, Australia. Semasa hidup, ia juga banyak terlibat dalam bidang budaya di Indonesia.[3] Pendidikan dan karierIa pernah memperdalam ilmu di bidang pendidikan di College d'Europe, Brugge, Belgia pada tahun 1964. Ia menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia pada tahun 1968. Ia kuliah lagi di Paris pada tahun 1972, dan meraih Ph.D. dalam bidang sosiologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat pada tahun 1980. Kembali dari Harvard, Arief mengajar di UKSW (Universitas Kristen Satya Wacana) di Salatiga sejak 1985 sampai 1995.[4] Ketika UKSW dilanda kemelut yang berkepanjangan karena pemilihan rektor yang dianggap tidak adil, Arief melakukan mogok mengajar, dipecat, dan akhirnya hengkang ke Australia, serta menerima tawaran menjadi profesor di Universitas Melbourne. Ia pernah menjadi redaktur majalah Horison (1966-1972). Sejak 1972 sampai 1922 ia menjadi anggota Dewan Penasehat majalah ini. Ia pernah menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (1968-1971). Sejak tahun 1968-1971 ia menjadi anggota Badan Sensor Film.[4] Ia dianggap sebagai tokoh Metode Ganzheit sejak Diskusi Sastra 31 Oktober 1968 di Jakarta dan terlibat polemik dengan M.S Hutagalung sebagai perwakilan Aliran Rawamangun. Ia juga dianggap sebagai tokoh dalam perdebatan Sastra kontekstual sejak Sarasehan Kesenian di Surakarta, Oktober 1984.[4] Ia pernah menghadiri Konferensi PEN Club International di Seoul pada tahun 1970.[4] Mendirikan majalah HorisonKeterlibatan PolitikSejak masa mahasiswa, Arief sudah aktif dalam kancah politik Indonesia, karena ia ikut menandatangani Manifesto Kebudayaan pada tahun 1963 yang menentang aktivitas LEKRA yang dianggap memasung kreativitas kaum seniman. Kendati ikut melahirkan Orde Baru, Arief bersikap sangat kritis terhadap politik pemerintahan di bawah Soeharto yang memberangus oposisi dan kemudian diperparah dengan praktik-praktik korupsinya. Pada pemilu 1973, Arief dan kawan-kawannya mencetuskan apa yang disebut Golput atau Golongan Putih, sebagai tandingan Golkar yang dianggap membelokkan cita-cita awal Orde Baru untuk menciptakan pemerintahan yang demokratis. Ia pernah ditahan karena terlibat dalam demonstrasi menentang pendirian Taman Miniatur Indonesia Indah (1972).[4] Kehidupan pribadiAyahnya seorang wartawan yang bernama Soe Lie Piet. Arief menikah dengan Leila Chairani Budiman, teman kuliahnya di Fakultas Psikologi UI, yang dikenal sebagai pengasuh rubrik psikologi pada harian Kompas. Perjalanan Arief dan Leila untuk menikah tidaklah mudah karena sempat ditentang oleh orang tua Leila. Namun pada akhirnya mereka dizinkan menikah dengan syarat Arief masuk Islam dan mereka berdua harus lulus kuliah.[5] Karya
PenghargaanEsainya, "Manusia dan Seni", mendapatkan Hadiah Ketiga majalah Sastra pada tahun 1963.[4] Pada bulan Agustus 2006 ia menerima penghargaan Bakrie Award, acara tahunan yang disponsori oleh keluarga Bakrie dan Freedom Institute untuk bidang penelitian sosial. Kutipan
Referensi
Pustaka
Pranala luar
|