Archidendron bubalinum adalah sejenis tumbuhan yang dikenal pula dengan nama kabau, jering, jering antan atau jengkol hutan; anggota sukuFabaceae (Leguminosae). Pohon kecil ini menghasilkan buah dengan biji berbau tajam seperti jengkol, dan digunakan dalam masakan-masakan yang serupa dengan masakan jengkol atau petai. Dalam pada itu, sebagaimana pula halnya dengan jengkol, konsumsi kabau ini dapat mengakibatkan kejengkolan.
Etimologi
Epitet spesifiknya, bubalinum (Lat.: bubalos, kerbau), merujuk pada nama lokalnya, bua karbau (=buah kerbau) sebagaimana dicatat oleh Jack (1822).[4]
Pemerian
Pohon kecil, tingginya jarang mencapai 20 m, gemang batang hingga 25 cm. Ranting-ranting kecil bulat torak, merah, mengilap, cokelat terang atau kemerahan jika dikeringkan, bersisik berambut balig merah-karat.[5]:97
Daun majemuk menyirip genap berganda, dengan sepasang pinak daun (sirip tingkat pertama), dan 1-2(-3) pasang anak daun yang berhadapan pada masing-masing sirip itu. Tangkai daun 0,5-4(-6) cm, lokos (-berambut balig halus), dengan satu kelenjar nektar bundar di sisi atas dekat ujungnya. Helaian anak daun tidak simetris tepiannya; jorong, jorong-bundar telur, hingga lanset, 5,5-16(-22) × 2,5-10,5 cm; seperti kertas hingga seperti jangat; pertulangan samping lk. 7 pasang, sangat melengkung.[5]:97
Perbungaan berupa malai ganda terminal atau di ketiak daun di ujung, berambut balig atau pendek-rapat berwarna karat. Bunga-bunga duduk atau hampir duduk, berbilangan-5, putih, berbau harum. Kelopaknya bentuk lonceng atau mangkuk lebar, 1,5-2,5 mm. Mahkota berlekatan membentuk serupa corong, berbulu balig halus, 2,5–5 mm. Benang sari banyak, panjang lk. 9 mm; putik 1.[5]:97
Polong berwarna hijau atau merah, pada akhirnya kekuningan dengan bagian dalam kemerahan; bulat torak menggembung hingga menggepeng, lurus atau agak melengkung, 3,5-10 × 1,5-2,5 cm; kulitnya mengayu, berambut balig halus dan rapat atau hampir gundul,
urat-uratnya tak kentara, memecah menurut kampuh di kedua sisinya. Biji berwarna hitam, padat mengisi rongga buah; biji bagian tengah serupa cakram tablet, tebal 8–15 mm; biji ujung serupa gasing terpangkas.[5]:97
Agihan dan ekologi
Kabau menyebar alami di Sumatra dan Semenanjung Malaya, ke utara hingga Thailand bagian selatan; pada hutan-hutan primer dan sekunder. Tumbuhan ini biasa didapati pada tanah-tanah lempung berpasir hingga tanah laterit; pada ketinggian 0-100(-900) m.dpl. Buah muncul antara Januari-Oktober.[5]:97
Manfaat
Kabau umumnya tidak ditanam, tetapi dibiarkan hidup dan dipelihara di bekas-bekas ladang atau kebun wanatani untuk diambil buahnya yang berbau serupa jengkol. Buah ini dimakan mentah dengan sambal, atau dijadikan sebagai bahan campuran untuk pelbagai masakan, dengan fungsi yang serupa jengkol atau petai.
Buah kabau mengandung banyak asam jengkolat, dan memerlukan teknik pengolahan yang serupa dengan jengkol untuk menetralisirnya.[5]:97
Kayunya sedikit lebih keras daripada kayu jenis-jenis yang sekerabat, cukup awet, dan terutama digunakan sebagai papan.[6] Hanya dimanfaatkan secara subsisten atau diperdagangkan secara lokal, kayu kabau umumnya digolongkan sebagai kayu jengkol.[7]:84
Rebusan pepagannya yang pahit dipakai untuk menyembuhkan demam.[6]
^ abHeyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia2: 863. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. (versi berbahasa Belanda-1916- 2:204, sebagai Pithecellobium bubalinum Benth.)
^Hanum, IF. 1998. "Archidendron". in MSM. Sosef, LT. Hong, & S. Prawirodirdjo (eds). Plant Resources of South-East Asia5(3) [Timber trees: Lesser-known timber]: 84-7. Bogor: PROSEA Foundation.