AntivaksinAntivaksin adalah tindakan yang menentang pemberian vaksin baik secara pribadi maupun berkelompok. Gerakan antivaksin sudah muncul semenjak vaksin diciptakan meskipun konsensus ilmiah menunjukkan bahwa vaksin itu aman dan efektif.[1][2] Alasan penolakan ini bisa karena menganut teori konspirasi ataupun kepercayaan dalam agama. Sikap antivaksin bisa pula muncul karena menyalahpahami efek samping yang muncul dari vaksin atau salah informasi mengenai kandungan atau proses pembuatan vaksin. Akibat tindakan antivaksin, penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dengan vaksin dapat merebak dan mengakibatkan kematian.[3][4][5][6][7][8] Contoh kasusTeori konspirasiSikap anti vaksin polio adalah contoh akibat dari kepercayaan terhadap teori konspirasi. Vaksin ini dianggap sebagai upaya negara maju untuk memandulkan penduduk negara berkembang. Selain itu sering disertai info seolah kanker dan polio malah berkembang sejak pertama kali vaksin polio diperkenalkan. Tentu saja klaim ini tidak memiliki sumber data yang jelas dan narasumbernya tidak bisa ditelusuri. Sukabumi pada tahun 2005 menjadi tempat penyebaran kembali polio liar, yang diperkirakan salah satunya berasal dari Nigeria, yang pemerintahnya sempat mencurigai vaksin polio sebagai kampanye memandulkan warga negaranya dan menyebarkan HIV. Testimoni PalsuKutipan-kutipan palsu sering direka agar seolah ahli kesehatan ternama ikut meragukan dampak positif vaksinasi. Atau seseorang yang bersikap anti vaksin dikesankan seolah seorang dokter[9] Profesor HembingProfesor Hembing sering ditulis berkomentar "Saya termasuk yang tidak percaya dengan imunisasi". Pernyataan ini jika dicari di mesin pencari hanya akan memunculkan artikel-artikel anti vaksin yang sama, tetapi tidak bisa ditelusuri kapan, di mana dan dalam konteks apa Profesor Hembing pernah menyebutkan kalimat tersebut. Sumber informasinya hanya dari mulut ke mulut. Leonard HorowitzLeonard Horowitz sering ditulis dokter atau doktor, padahal awalnya ia adalah dokter gigi. Ia lebih banyak menulis penyembuhan dengan metoda spiritual dan rohani. Dr. James ShannonMeskipun memang terdapat nama Dr James Shannon mantan direktur NIH, namun terdapat kesalahan penulisan kutipannya yang ditandai muncul pada tahun 2003, padahal orang yang bersangkutan telah meninggal pada tahun 1994. dr W. B. ClarkeTidak diketahui jelas identitas tokoh yang disebut berasal dari tahun 1900 ini. Bernard G. Greenberg, PhDPernyataannya disalahartikan seolah menyerang vaksin. Padahal ia hanya menyatakan vaksin Salk perlu diperbaiki efektivitasnya, karena ia percaya membasmi polio tidak cukup hanya dengan cara memvaksin sebanyak-banyaknya orang saja, tetapi juga meningkatkan kualitasnya. Ia menyatakan hal itu dalam konteks membandingkan vaksin Salk dan Sabin. Kepercayaan agamaAnti vaksin influenza, meningitis, dan polio biasanya terjadi akibat isu bahwa vaksin tersebut berasal dari enzim binatang yang diharamkan, seperti babi atau kera. Padahal enzim, sebagai katalisator, bekerja bukan dengan menjadi bahan dasar suatu proses kimiawi, tetapi hanya menjadi perantara, yang kemudian terpisah kembali setelah hasil akhir didapatkan. Untuk menanggulangi sikap anti vaksin ini, selain dengan membuat vaksin yang sama sekali tidak melibatkan bahan haram, juga dengan memberikan pengertian mengenai cara kerja enzim. Selain itu, penggunaan bahan haram sebenarnya bisa dimungkinkan jika tidak tersedia alternatif lain dan sifatnya mendesak, bahkan membahayakan nyawa. Salah informasi efek sampingVaksin HPV sempat dikabarkan menyebabkan menopause dini. Info ini menyebar pada saat program vaksinasi HPV di sekolah dasar di Jakarta yang menyebabkan kepanikan orang tua pada tahun 2016. Info ini kemudian dibantah. Kadang sakit yang diderita penerima vaksin kebetulan muncul sesaat setelah pemberian vaksin, yang sebenarnya tidak berkaitan. Misalnya isu vaksin campak rubella MR yang menyebabkan kelumpuhan, muncul akibat seorang anak bernama Niken yang pada Agustus 2017 tiba-tiba sakit dan lumpuh setelah sebelumnya kebetulan diberikan vaksin MR, padahal sebelum divaksin ia memang menderita penyakit saraf.[10] Pemberitaan yang tergesa-gesa tanpa mengkonfirmasi kepada ahli kesehatan membuat isu ini beredar dan menimbulkan kepanikan. Pemalsuan vaksinTindakan kriminal pemalsuan vaksin juga bisa menyebabkan hilangnya kepercayaan kepada vaksin. Ini misalnya terjadi di Tangerang pada tahun 2016. Tindakan pemalsuan vaksin oleh pasangan suami istri menyebabkan hilangnya kepercayaan orang tua dalam memberikan vaksin ke anaknya karena khawatir dampak vaksin palsu[11] Anggapan tidak ampuhCampak adalah contoh penyakit yang tetap bisa menyerang walaupun telah dilakukan vaksinasi. Hal ini menimbulkan anggapan bahwa tidak ada bedanya divaksin ataupun tidak. Padahal vaksinasi membuat penyakit campak tidak terlalu berat hingga mengancam nyawa, misalnya akibat komplikasi pneumonia, diare, atau radang otak[12] Pandangan politikDi India pernah terjadi kecurigaan terhadap program imunisasi setelah seorang pejabat menyatakan bahwa populasi warga beragama Hindu berkurang karena umat Hindu tidak berupaya mendakwahkan agamanya agar dianut orang lain. Akibatnya muncul kecurigaan besar-besaran bahwa pemerintah secara sengaja berupaya menurunkan polulasi umat agama minoritas agar populasi Hindu tidak kalah, yang ujungnya menjadi sikap anti vaksin dalam bentuk pesan berantai dan ceramah oleh pemuka agama. DampakKekebalan dari vaksin tidak hanya bekerja secara individu, namun juga komunal. Dengan arti jika seluruh anak di suatu lingkungan bisa memiliki kekebalan yang sama, maka penyakit akan sulit muncul. Sebaliknya jika ada beberapa anak yang orangtuanya bersikap antivaksin, maka bisa terjadi kemungkinan penyakit merebak dan mewabah, dimulai dari beberapa anak yang kekebalannya lemah. Polio dan difteri adalah contoh penyakit yang seharusnya sudah hilang namun muncul kembali di Indonesia akibat kelalaian dan sikap anti vaksin.[13] Di Aceh, hanya 8% anak yang divaksin MR (measles and rubella - campak dan campak jerman).[14] Referensi
|