Antankarana
Antankarana adalah kelompok etnis yang mendiami Kota Antsiranana, Madagaskar. Antankarana berarti 'dari Ankarana (batu)', merujuk pada kondisi bebatuan di daerah tempat tinggal mereka.[2] Populasi Antankara sekitar 50.000 orang.[1] IdentitasAntankarana dapat dilihat dari dua sisi. Pertama lokatif, sebagai sebutan kepada orang-orang yang tinggal di daerah yang sama menurut asal kata itu sendiri.[2][3] Kedua, merujuk pada sebuah suku atau etnis asli daerah Ankarana dengan bahasa dan tradisi sendiri.[4] Mereka tinggal di bagian paling utara Pulau Madagaskar dan mengaku sebagai keturunan orang Malagasi dan Arab. Mereka adalah bagian dari kelompok etnis Sakalava. Secara historis, wilayah mereka terbentang dari ujung utara pulau di Antsiranana hingga ke pantai barat, termasuk Pulau Nosy Mitsio. Wilayahnya di timur sampai Sungai Bemarivo dan meluas ke selatan ke Desa Tetezambato.[5] SejarahDinasti Sakalava di barat daya Madagaskar berdiri pada abad keenam belas hingga tujuh belas. Kerajaan ini meluaskan pengaruhnya hingga ke utara dan menghasilkan garis keturunan Zafin'i'fotsy (cucu putih/perak).[6] Kelompok ini berpisah dari Sakalava pada abad ke-16 setelah perebutan kekuasaan dengan kelompok Zafin'i'mena (cucu merah/ emas) di selatan yang berakhir dengan hak raja diambil oleh pihak Zafin'i'mena.[6] Setelah gagal mempertahankan haknya sebagai penerus takhta, Zafin'i'fotsy meninggalkan kerajaan dan tinggal di utara perbatasan Sakalava.[7] Pemimpin Antankarana pertama, Kozobe, mencaplok sebagian besar daerah utara pulau utara sebagai wilayahnya, kemudian membaginya menjadi lima daerah yang masing-masing diperintah oleh salah satu putranya.[8] Putranya, Andriantsirotso, memimpin Zafin'i'fotsy mengembara lebih jauh ke utara ke daerah yang sekarang menjadi Cagar Ankarana. Andriantsirotso kemudian mendirikan kerajaan Antankarana.[9] Pada tahun 1790-an, kerajaan tetangga, Merina meluncurkan kebijakan ekspansi. Pada tahun 1823, Ankara akhirnya dianeksasi setelah melancarkan perlawanan yang sengit.[10] Di saat raja Tsimiaro dan pengikutnya melarikan diri pada tahun 1840, raja berikrar akan menjadi mualaf jika dia terlepas dari pasukan musuh. Dia dan pengkutnya selamat dan akhirnya menjadi pengikut Islam. Sejak saat itu, keluarga kerajaan Antankarana menganut Islam dan mengangkat orang keturunan Moroko atau Arab sebagai menteri atau penasihat.[11] Prancis mempertahankan Proktetorat Antankarana meskipun telah mengakui kedaulatan Malagasy.[12][13] Di saat itu, Tsimiaro bekerja sama dengan pihak Prancis.[14] Pada masa pemerintahan penerusnya, Tsialana II, kerja sama dengan Prancis tetap berjalan.[15][16] Madagaskar merdeka dari Prancis pada tahun 1960.[17] Pemerintahan republik tidak banyak mengganggu pemerintahan di kerajaan di bawah pimpinan Raja Tsimiaro II. Namun, sejak Albert Zafy terpilih sebagai presiden pada tahun 1993, muncul upaya mengurangi kekuasaan Raja Tsimiaro III.[18] Terpilihnya penerus Zafy, Didier Ratsiraka, yang menetapkan kebijakan tanpa campur tangan terhadap pemerintahan lokal akhirnya meredakan ketegangan.[19] Tsimiaro III memimpin upacara kerajaan tradisional Antakarana dan juga mewakili kerajaan di Madagaskar dan di luar negeri hingga sekarang.[20][21] Budaya dan kepercayaanBudaya Antankarana mirip dengan budaya Sakalava. Agama tradisional mereka adalah tromba (pemujaan roh leluhur) dan kepercayan terhadap roh alam.[22] Mereka mematuhi berbagai fady (tabu leluhur), terutama beberapa yang berfungsi untuk melindungi satwa liar dan daerah hutan belantara.[23] Ekonomi tradisional Antankarana berpusat pada perikanan dan peternakan, meskipun akhir-akhir ini mereka mengadopsi pertanian. Beberapa orang Antankarana bekerja di administrasi sipil, pendidikan, perdagangan dan bidang lainnya. Mayoritas orang Antankarana menganut agama Islam. Islam yang dipraktikkan oleh Antankarana sinkretis. Mereka memadukan pemujaan leluhur tradisional dengan elemen budaya yang ditiru dari budaya Muslim Arab.[24] Referensi
Daftar Pustaka
|