Pengangkatan Andi Maradang Mackulau sebagai Datu Luwu ke XL dinyatakan dalam sebuah maklumat yang resmi dikeluarkan oleh Dewan Adat Kedatuan Luwu, berbunyi:
Arengkalinga manekko tomaegae lilina Luwu, limpona Ware. Leleni ripammasena Allah taala Datue ri Luwu. Tennatiwi adatungenna, tennasellureng roalebbong alebirenna. Naiya selengngai silessurenna riasengnge Andi Maradang Mackulau Opu Daeng Bau
Riwayat Hidup
Latar Belakang dan Keluarga
Andi Maradang Mackulau yang akrab dipanggil 'La Maradang' merupakan putra dari Andi Mackulau Opu Daeng Parebba (anak kandung Andi Djemma dari perkawinan dengan istri pertama, Andi Kasirang).
La Maradang lahir dan menjalani sekolah tingkat dasar di SD Katolik Santo Yakobus, Ujung Pandang (Makassar), hingga kelas 6. Menginjak kelas 6, tepat di tahun 1969, ayahnya mengirimnya ke Jakarta. Alasan orangtuanya adalah untuk menghindarkan La Maradang bersaudara dari ‘keinginan-keinginan kekuasaan dan harta’ sekaitan gelar kebangsawanan yang mereka miliki. Ayahnya berpesan agar "sekali-kali tidak meminta kekuasaan dan jabatan di Kedatuan Luwu. Tetapi kalau diserahi amanah itu, silahkan laksanakan dengan baik dan profesional”, ungkap La Maradang ketika diwawancarai oleh blogger asal Luwu, Zulham Hafid.[2] Dalam wawancara itu, La Maradang juga mengungkap bahwa ayahnya mewarisi sifat kakeknya yang memilih hidup sederhana, dengan berprinsip bahwa kemuliaan tidak diukur dengan limpahan harta dan tahta. Oleh karena prinsip inilah maka, La Maradang mengaku tidak disiapkan oleh orangtuanya untuk menjadi seorang ‘bangsawan’, lebih-lebih lagi untuk memangku jabatan Datu Luwu. “Orangtua saya sangat moderat. Ia tidak membentuk kami menjadi bangsawan, birokrat, apalagi berharap menjadi Datu di Luwu. Bahkan dalam urusan pernikahan pun, kami dibebaskan untuk menikah dengan siapa saja. Beliau hanya menyaratkan untuk tidak berbeda agama. Jadilah saya mempersunting wanita Yogyakarta pada tahun 1983”, kata La Maradang.[2]
Apa yang diungkap La Maradang dalam wawancara, senada dengan yang disampaikan Mattulada bahwa, Menjadi Datu di Kerajaan Luwu pada masa lalu adalah bukan hal yang mudah. Salah satu syarat seseorang bisa diangkat menjadi Datu adalah apabila ia bersedia miskin. Kabarnya di Luwu, seseorang yang akan dijadikan Datu terlebih dahulu diperiksa harta kekayaannya. Ketika selesai tugas kedatuannya, maka hartanya pun kembali dihitung. Biasanya Datu yang habis masa tugasnya tidak akan memiliki harta lebih daripada yang dimilikinya sebelum menjadi Datu (Mattulada, 1998:29).[3]
Dipindahkan ke Jakarta dan dititipkan di rumah kerabatnya, La Maradang kemudian menamatkan Pendidikan Menengah Pertama di SMP Van Lith Jakarta, dan Pendidikan Menengah Atas di SMA Arena Siswa Jakarta.
Setamat SMA, La Maradang melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Ia masuk di Institut Pariwisata Indonesia Yogyakarta dan selesai tahun 1979. Ia juga kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan meraih gelar Sarjana Hukum-nya tahun 1983. Di tahun 1983 ini pula ia menikahi wanita Yogyakarta, Lina Widyastuti, yang darinya terlahir 3 orang puteri dan 2 orang putra. Selama di Yogyakarta, La Maradang aktif berorganisasi. Ia sempat menjabat sebagai Ketua Umum di Organisasi Mahasiswa Luwu - Sul-sel, serta sebagai Ketua Bidang Kemasyarakatan dan Pemuda Wira Karya Indonesia pada Organisasi Soksi Cabang Yogyakarta.[4]