Aiko, Putri Toshi
Aiko (愛子; lahir 1 Desember 2001) adalah anak tunggal Naruhito, Kaisar Jepang ke-126. Dia adalah cucu Akihito, Kaisar Jepang ke-125. Awal kehidupanAiko lahir pada 1 Desember 2001 pukul 14:43 di Rumah Sakit Badan Rumah Tangga Kekaisaran di Istana Kekaisaran Tokyo, anak pertama dan kemudian menjadi satu-satunya anak perempuan dari Naruhito dan Owada Masako.[1][2][3] Tidak sebagaimana tradisi sebelumnya, nama Aiko tidak dipilihkan oleh kaisar, tapi langsung oleh orangtuanya, yang saat itu ayahnya masih berstatus sebagai putra mahkota. Nama Aiko sendiri berasal dari dua huruf kanji, "cinta" (愛, ai) dan "anak" (子, ko), yang berarti "seseorang yang selalu mencintai orang lain." Sumber nama Aiko adalah kitab Li Lou jilid 2 karya Mengzi, tepatnya pada pasal 56. Dalam bukunya, Mengzi mengatakan: "Orang yang mencintai orang lain akan terus dicintai oleh mereka, Orang yang menghormati orang lain akan terus dihormati oleh mereka" (愛人者人恆愛之,敬人者人恆敬之). Sebagai seorang putri yang merupakan kerabat dekat kaisar, Aiko menyandang gelar naishinnō (内親王). Dia juga dianugerahi gelar Putri Toshi (敬宮 , Toshi-no-miya), artinya "seseorang yang menghormati orang lain". Statusnya sebagai putri dan gelar istananya akan hilang bila Aiko menikah dengan mereka yang bukan berasal dari kalangan bangsawan.[4] Gelar lengkapnya adalah Putri Aiko, Putri Toshi (敬宮愛子内親王,Toshi-no-miya Aiko-naishinnō). Berdasarkan hukum, sapaan resminya adalah "Paduka" (殿下 , denka). Media Jepang memanggilnya Aiko-sama (愛子さま ). Lambang resminya bunga rhododendron quinquefolium (bahasa Jepang: goyōtsutsuji). Pendidikan dan minatPada April 2006, Aiko masuk Taman Kanak-kanak Gakushuin, lembaga pendidikan untuk putra-putri bangsawan.[5][6] Pada tahun 2008, Aiko lulus TK dan melanjutkan sekolah di Sekolah Dasar Gakushūin,[7][8] dan lulus pada 18 Maret 2014.[9] Pada bulan April 2014, Putri Aiko menghadiri upacara pembukaan sekolah dan resmi masuk SMP Khusus Wanita Gakushūin.[10][11] Putri Aiko sangat menggemari sumo. Pada 9 Oktober 2006, Aiko bersama kedua orang tua pergi menonton sumo di Ryōgoku Kokugikan. Selain itu, Putri Aiko berminat di kelas percakapan bahasa Inggris dan olahraga tarik tambang,[12] berlatih cello karena dia masuk anggota klub orkestra di Gakushuin,[13] juga bermain piano, menulis karakter Kanji, kaligrafi Jepang, lompat tali, dan menulis puisi.[14] Kehidupan pribadiPada bulan Maret 2010, Putri Aiko mengalami kekerasan karena diganggu oleh teman sekelasnya, dan memilih untuk tidak masuk sekolah karena trauma.[15][16] Aiko kembali ke sekolah secara terbatas pada 2 Mei 2010. Setelah kembali ke sekolah, seorang pejabat senior istana mengatakan bahwa dia akan menghadiri sejumlah kelas terbatas ditemani ibunya, atas saran dari dokter di rumah tangga Putra Mahkota.[17] Pada bulan November 2011, Aiko masuk rumah sakit karena terserang pneumonia.[18][19][20] Peran publikDia mengunjungi pameran khusus pada peringatan 150 tahun hubungan diplomatik Jepang-Italia pada 5 April 2016 di museum Tokyo.[21] Sejak berusia 16 tahun, ia telah menemani orang tuanya di acara publik. Pada musim panas 2018, ia melakukan perjalanan solo pertamanya ke luar negeri untuk menghadiri program musim panas di Eton College.[22] Kontroversi pewarisan takhtaOrangtua Aiko yang hanya memiliki seorang anak perempuan setelah menikah sekian lama membuat kontroversi terkait masalah pewarisan takhta. Meski Jepang pernah dikuasai delapan maharani (kaisar wanita) dalam sejarahnya, hukum pewarisan takhta Jepang diubah setelah Restorasi Meiji, mengadopsi sistem pewarisan takhta Prusia yang melarang perempuan untuk naik takhta. Setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, hanya keturunan dari garis laki-laki dari Yoshihito (Kaisar Taisho) yang dianggap sebagai anggota resmi keluarga istana dan memiliki hak atas takhta, tidak dengan anggota Wangsa Yamato lain. Kaisar Taisho sendiri memiliki empat putra, tetapi selain putra sulungnya, garis keturunan putra-putranya terhenti lantaran tidak memiliki anak atau hanya memiliki anak perempuan. Putra tertua Kaisar Taisho, Hirohito (Kaisar Showa) memiliki dua putra, Akihito dan Masahito. Masahito tidak memiliki anak dari pernikahannya, sehingga keberlangsungan garis kekaisaran hanya melalui Kaisar Akihito yang memiliki dua putra, Naruhito dan Fumihito. Kedua putra Akihito ini sendiri tidak kunjung memiliki putra dan ini menimbulkan kekhawatiran akan matinya garis kekaisaran. Dengan keadaan demikian, muncul wacana untuk memperbolehkan pewarisan takhta dari garis perempuan, tetapi pihak konservatif menolak gagasan itu karena dipandang terlalu dini. Sepupu Kaisar Akihito, Pangeran Tomohito, juga menentang wacana tersebut dan mengusulkan agar anggota laki-laki keluarga kaisar dapat mengambil istri-selir sebagaimana di masa lalu, meski kemudian Pangeran Tomohito menyatakan bahwa usulannya tersebut hanya sekadar candaan.[23] Wacana lain yang diusulkan adalah membolehkan kembali cabang klan kaisar yang lain agar dapat mewarisi takhta.[24] Masako sendiri dikabarkan menerima tekanan berat lantaran keadaannya yang sulit mengandung. Namun perdebatan ini mereda setelah istri Pangeran Fumihito melahirkan seorang putra, Hisahito, pada tahun 2006. Lihat pulaRujukan
Pranala luar |