Agam Wispi, (31 Desember 1930 – 1 Januari 2003),[1] adalah seorang penulis Indonesia, termasuk sebagai salah seorang penulis sastra eksil Indonesia.[2] Ia mulai menjadi eksil, orang yang hidup di pengasingan, di Belanda sejak tahun 1988.[2] Ia adalah seorang penyair, banyak menulis sajak, juga cerpen dan drama.[2]
Biografi
Agam Wispi memulai kariernya sebagai wartawan dan redaktur kebudayaan pada harian Kerakyatan dan Pendorong Medan (1952-1957). Pindah ke Jakarta (1957), Agam menduduki kedudukan yang sama sebagai redaktur kebudayaan di Harian Rakyat sampai tahun 1962 (terseling antara 1958-1959, Agam belajar jurnalistik di Berlin). Antara tahun 1962-1965, ia tercatat sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sekaligus dikenal sebagai wartawan dan penyair.[2] Ia pernah menjadi aggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965).[3]
Pada bulan Mei 1965, Agam diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu dengan Ho Chi Minh. Namun sejak itulah Agam tak bisa kembali ke tanah air karena arus balik politik di Indonesia. Dari bulan September 1965 sampai Desember 1970, ia bermukim di Republik Rakyat Tiongkok. Dari tahun 1973 sampai 1978 tinggal di Leipzig, Jerman. Di kota itu, Agam sempat belajar sastra di Institut fur Literatur dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Kemudian sejak tahun 1988 Agam tinggal di Amsterdam, Belanda.[2]
Hasil karya
Pada tahun 50-60an Agam Wispi dikenal sebagai penyair. Salah satu sajaknya yang terkenal, Matinya Seorang Petani tak saja dilarang oleh pemerintahan Soeharto tetapi juga pemerintahan Soekarno. Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di majalah Tempo, menulis tentang puisi ini: Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu pada awal tahun 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat memprotes, dan seorang petani mati ditembak:
''dia jatuh
roboh
satu peluru
dalam kepala
ingatannya melayang
didakap siksa
tapi siksa cuma
dapat bangkainya''
Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan "Demokrasi Terpimpin".[1]
Buku-buku kumpulan sajaknya Sahabat dan Yang Tak Terbungkamkan diterbitkan oleh Lekra, Jakarta.
Selama hidup sebagai orang eksilan, ia baru menerbitkan satu buku kumpulan sajak Kronologi in Memoriam 1953-1954. Dan sajak-sajak yang sempat ditulisnya selama hidup di pengasingan masih tersimpan di laci belum sempat diterbitkan. Di Amsterdam, ia sempat mengelola ruang kebudayaan di majalah Arah.
Agam Wispi pulang kembali ke Indonesia pada tahun 1996, dan menerbitkan kumpulan puisi "Pulang".
Rujukan
Pranala luar
|
---|
Umum | |
---|
Perpustakaan nasional | |
---|