Adriana van der Have, (Rotterdam, 19 februari 1912 - Bandung, 1994), juga dikenal sebagai A. Nasoetion-van der Have, adalah Seorang wanita yang menuntut Negara belanda, dalam kasus pembunuhan. Suaminya adalah salah satu korban eksekusi di luar hukum yang dilakukan oleh militer belanda selama perang Kemerdekaan Indonesia. Tuntutannya pada akhirnya memenangkan gugatan perdatanya di pengadilan di den Haag atas Negara belanda pada tahun 1953.[1] kasus-Nasoetion yang selama bertahun-tahun telah di dilupakan tapi kembali menjadi perhatian publik setelah sebuah artikel di surat kabar belanda NRC Handelsblad pada tahun 2017.[2]
Kehidupan
Adriana van der Have, dibesarkan di Rotterdam accountantsgezin, anak ketiga dari lima bersaudara. Setelah sekolah menengah, dia mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang analis kimia. Ia mengenal Masdoelhak Nasoetion tahun 1932 melalui Muhammad Hatta, yang pada waktu itu murid sekolah ekonomi dari ayahnya, mereka tergabung dalam mahasiswa anti-kolonial Perimpoenan Indonesia.
Pada tahun 1938 ia menikah dengan Nasoetion, meskipun keluarganya menentang hubungan mereka. Mereka tinggal bersama di Utrecht, di mana ia mulai belajar hukum India dan di mana mereka bekerja selama beberapa waktu di Laboratorium kesehatan masyarakat, Utrecht. Dia diberhentikan ketika dia hamil. Anak pertama mereka lahir kemudian meninggal. Kemudian Mereka di anugerahi empat anak.
Pada bulan agustus 1945, Muhammad Hatta dan Soekarno, wakil presiden, dan presiden negara kesatuan Republik Indonesia mengangkat suami dari Nasoetion-van der untuk bekerja sebagai penasihat hukum untuk pemerintah mereka. Keluarganya pindah dari Belanda dan tinggal secara bergantian di Jakarta dan desa pegunungan Kaliurang.
Pembunuhan Masdoelhak Nasoetion
Tanggal 21 Desember 1948, Masdoelak Nasoetion di culik dari rumah mereka di Kaliurang oleh tentara belanda, di hadapan anak-anak mereka.[3] Kemudian kami menemukan bahwa ia pada hari yang sama dibunuh oleh sersan mayor Marinus geelhoed, dalam komando letnan R. F. de Mey. Geelhoed menjelaskan kemudian bahwa Nasoetion yang mereka bunuh adalah kolonel Abdul Harris Nasoetion.[4]
Van der Have yang saat itu berada di rumah sakit Yogyakarta, di mana Ia dalam proses persalinan putra bungsu mereka. tanggal 29 desember 1948 ketika pulang ke rumah dia menemukan rumah dijarah. Masak ternyata memiliki rasa kasihan pada anak-anak, dan dia mendengar bahwa suaminya di bawa belanda. Pada awal januari 1949, ia memberitahu petugas belanda bahwa suaminya itu kemungkinan dibunuh. Hal ini juga mengatakan bahwa mereka tidak dikenal di Belanda, mana yang disebut "aksi polisi" dari tahun 1948 menjadi sangat kontroversial.
Melawan Negara Belanda
Awal tahun 1950- Pengacara Van der Have, mengajukan tuntutan ke Pengadilan perang, ganti rugi hampir dua ratus ribu gulden atas kematian suaminya. Dalam reaksi yang diterimanya bahwa Belanda tidak bertanggung jawab dalam hal ini wanprestasi. Pada tahun 1950 Indonesia sudah merdeka, dan Belanda menunjukkan bahwa Indonesia melalui penyerahan kedaulatan, kepribadian hukum dari kedaulatan Dutch east-Indies telah diambil. Singkatnya: Negara belanda berpendapat bahwa Van der Have meminta ganti rugi kepada pemerintah Indonesia, bukan Belanda.
Van der Have kemudian memints bantuan pengacara Karel van Rijckevorsel. Dia menuntut kasus atas nama der Have tuntutan perdata terhadap Negara dan mempersiapkan berkas. Dia menjalani proses persidangan ini selama dua tahun yang panjang, dan pada tanggal 13 januari 1953, Van der Have menerima putusan pengadilan di den Haag, belanda, Negara bertanggung jawab atas pembunuhan suaminya, dan yang Memungkinkan lebih lanjut membayar ganti rugi. Negara menarik banding tapi akhirnya setuju dengan putusan membayar ganti rugi. Pada saat yang sama poin ke Belanda, apapun bentuk pertanggung jawaban. Van der Telah setuju dengan putusan tetapi terus mempertahankan bahwa Belanda harus bertanggung jawab.
Tentara belanda yang terlibat dalam pembunuhan Nasoetion tidak pernah dituntut.
Catatan