Adhyra Irianto
Adhy Pratama Irianto, lebih sering menggunakan nama Adhyra Irianto (lahir 14 Juli 1988) adalah seorang penulis lakon dan sutradara teater asal Bengkulu. Sejak 2006 menulis naskah dan menggarap pertunjukan bergaya absurdisme.[1] AktivitasSebelum memutuskan untuk menjadi seniman teater, Adhyra bekerja sebagai jurnalis di Surat Kabar Umum Radar Pat Petulai (Jawa Post News Network) dan Media daring Kupas Bengkulu. Adhyra memutuskan berhenti dari pekerjaannya sebagai jurnalis di tahun 2018 dan berkesenian secara total sejak saat itu. Adhyra merupakan salah satu pendiri Sanggar Teater Senyawa di tahun 2012. Adhyra terlibat sebagai penulis naskah, sutradara, aktor, hingga produser di hampir seluruh pementasan Teater Senyawa.[2] Pada awal pendirian Teater Senyawa, Adhyra Irianto menceritakan lewat Pojok Seni, bahwa anggota awal selain sahabat-sahabatnya, juga anak-anak jalanan dan pengamen di sekitaran Rejang Lebong.[3] Peraih hibah Magang Nusantara di bidang penulisan naskah dan penyutradaraan dari Yayasan Kelola di Teater Satu Lampung ini juga bekerja sebagai penulis dan editor di situs PojokSeni.com, dan menerbitkan beberapa buku. Salah satunya, buku naskah drama Pelukis & Wanita yang terbit tahun 2020. Beberapa naskah drama yang ditulis lainnya juga dipentaskan oleh Teater Senyawa, antara lain Biro Kesehatan,[4], Meja Makan,[5] Monolog Lagu Pak Tua], Ruang Tunggu dan Pertanyaan tentang Catatan Akhir dan beberapa naskah lainnya. Adhyra juga menulis novel, dan cerita pendek. Di bawah tahun 2010, Adhyra menulis sejumlah puisi yang tersebar di sejumlah media massa dan antologi bersama. Pada tanggal 25 Oktober 2018, Adhyra mendapatkan penghargaan dari Dirjend PAUD dan Pendidikan Masyarakat Kemdikbud dalam acara apresiasi pendidikan keluarga 2018, untuk tulisannya terkait pengajaran orang tua untuk anak yang berbakat seni teater.[6] Adhyra juga telah dianugrahi puluhan penghargaan baik tingkat Provinsi Bengkulu hingga nasional bidang penulisan Cerpen, puisi, penerbitan kumpulan Cerpen, penerbitan novel, penghargaan penulisan blog dan lainnya. Selain itu naskah dramanya "Pelukis & Wanita" dipentaskan di Hari Teater Sedunia di Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan beberapa tempat lain di Indonesia. Naskah monolog "Lagu Pak Tua" dijadikan naskah wajib Peksimida tahun 2015 di Universitas Airlangga.[6] Sementara itu, naskah monolog "Sidang Jembatan" dipentaskan di 10 pentas monolog karya sastrawan Indonesia di Unnes Semarang, 2016.[7][8] Daftar KaryaBerikut adalah karya-karya Adhyra Irianto:
TanggapanSelain menulis dan menyutradarai, Adhyra juga tercatat menjadi aktor untuk pertunjukan Teater Senyawa. Muhammad Antoni dari Curupedia menuliskan "Semua penonton terdiam, kala musik dangdut mulai mengeras. Musik itu merupakan bagian dalam rencana pementasan. Diawali dengan pemeran Rahman, yang tengah bercermin sambil menyanyikan lagu dangdut. Dan di sudut lainnya pemeran Sarmin sedang asyik dengan buku yang dia baca. Kedua seniman itu (Adhyra dan Ikhsan Irianto), nampak lihai memainkan perannya masing-masing, penonton dibuat terkagum-kagum hingga pementasan usai," pada pertunjukan teater bertajuk Orang-orang Setia karya Iswadi Pratama. Adhyra disebut menyadari gagasannya selaras dengan absurdisme yang dibawa oleh Beckett, setelah mengenali dan menyelami pemikiran Beckett lewat sejumlah naskah yang kemudian dipentaskannya (baik sebagai aktor, maupun sutradara) seperti Hari Bahagia, Sebuah Salah Paham, End Game, dan Rekaman Terakhir Krapp.[11] Dalam naskah Pelukis & Wanita, Adhyra menawarkan gagasannya tentang manusia yang merupakan makhluk lemah, tidak bermakna, tidak mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri. Hal itu yang membuat ketidak adilan selalu terjadi secara berulang, seperti labirin yang mengurung manusia dalam siklus yang statis. Tokoh wanita dalam drama tersebut tidak hanya kehilangan eksistensi, tapi juga kehilangan esensi dirinya.[1] Dalam naskah-naskahnya, Adhyra kerap menggambarkan adanya ketimpangan keseimbangan dari kedua kubu berbeda, karena keinginan salah satu kubu untuk mendominasi secara frontal kubu lainnya.[11] Gapura News mengutip pandangan Adhyra tentang kehidupan lewat naskah Pelukis & Wanita, "Tidak ada tonggak sejarah, karena kemarin hanya waktu yang sudah (atau mungkin belum) kita kalahkan dan mendeformasi kita dari hari ke hari. Hari ini adalah waktu yang menjelma menjadi lawan berkelahi dan besok adalah calon lawan yang siap menantang kita berkelahi kembali. Tidak ada hari tanpa perkelahian melawan waktu, dan begitulah yang akan terus terjadi."[12] Dr. Sumarto Pohan menulis di Rumah Produktif Indonesia, naskah Pelukis & Wanita yang ditulis Adhyra Irianto memberikannya banyak kesan. "Tidak sekedar menjadi pelukis dalam kehidupan yang harus berteman dengan hakikat dari seorang wanita yang tidak mampu mengambil keputusan hidup, menerima takdir diri, atau hidup yang terombang ambing karena arus kehidupan yang sebenarnya adalah penggambaran dari sisi manusia itu sendiri yang memang tidak bisa hidup tanpa peran besar dari keluarga, sahabat dan masyarakat, dimana manusia adalah insan beragama yang tidak terlepas dari ketidaksempurnaan, yang selalu menangis, dan berharap pertolongan dari Maha Pencipta Maha Kuasa."[13] Iman Kurniawan dan Ami Alifia dalam Kopi Curup menyebut "Jika orang-orang yang putus asa menyaksikan pertunjukan ini, maka karya Adhyra Irianto dan Teater Senyawa ini benar-benar bisa menyelamatkan nyawa seseorang.Ruang Tunggu mengajarkan tentang bahwa kehidupan ini hanya menunda kekalahan, bahwa kita sebenarnya telah dihukum oleh ketidakpastian sejak kita lahir tidak semua pertanyaan memiliki jawaban, “yang entahlah biarlah selamanya menjadi entahlah” kemudian kebebasan itu tidak pernah benar-benar ada, di samping itu mengajarkan kita bagaimana menikmati hidup dan merasakan kebahagiaan." [14] Sementara itu, budayawan dan seniman Provinsi Bengkulu, Emong Soewandi menyebut bahwa terkait dengan alur dan tempo pengisahan, gaya "nge-rap" selalu menjadi style bawah sadar Adhyra sebagai seorang sutradara. Sebagai seorang sutradara yang juga berlaku sebagai seorang aktor sentral, kecepatan dalam dialog tanpa jeda panjang, pergantian adegan dan pendakian klimaks serta keasyikan bermain, Adhy sepertinya tak memberikan celah bagi penonton untuk kontemplatif.[15] Adhyra juga membebaskan penonton untuk menafsirkan karya-karyanya. Salah satunya naskah Biro Kesehatan yang dipentaskan di Festival Teater Sumatera 2022, ditafsirkan oleh Antara Palembang sebagai "kritik sosial tentang bagaimana sulit dan berbelitnya fasilitas kesehatan di Indonesia".[16] Karya Adhyra bersama Teater Senyawa bertajuk "Meja Makan" disebut oleh Berita Musi sebagai upaya pengandaian metafisis atas fenomena Jalur Rempah, untuk membongkar nilai yang kontradiksi dan paradoks dari “mitos akulturasi”. “Meja Makan” menawarkan perspektif “hegemoni” dalam tafsir atas produk akulturasi.[17] Mongabay mengutip pernyataan Adhyra terkait Jalur Rempah. “Rempah itu menarik mereka yang tamak. Rempah membuat para pendatang itu bukan hanya memonopoli, juga menghina masyarakat lokal. Bagi kami rempah itu terlihat sebagai sejarah penghinaan.”[18] Jambi Daily mengutip pendapat Adhyra yang menyatakan bahwa kritik seni berdasar “rasa” adalah kritik tak bertanggung jawab. Adhyra tidak setuju dengan kritik seni yang berdasar pada "semilir perasaan", dengan kata lain menolak penilaian subjektif pada karya seni.[19] Hal tersebut bertolak belakang dengan pendapatnya tentang kehidupan yang harus dimaknai secara subjektif, namun untuk kritik seni mesti dinilai dan dikritisi secara objektif. StudiStudi terhadap karya Adhyra Irianto dilakukan oleh:
Referensi
|