Pengaturan prosedur beracara yang baik sangat berperan penting dalam penegakan hukum.Suatu hukum acara yang baik adalah yang menjamin bahwa roda pengadilan dapat berjalan lancar agar putusan pengadilan dapat diperoleh dengan adil, tidak berat sebelah dan dalam waktu yang singkat.Biaya yang diperlukan untuk memperoleh keputusan, beserta realisasinya tidak terlampau memberatkan para pencari keadilan dalam hal ini konsumen. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan penguatan terhadap lembaga di luar pengadilan yang mempunyai tugas menyelesaikan sengketa konsumen. Undang-Undang memberikan jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase. Sebagai bagian dari penyelesaian sengketa alternatif, maka tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dilakukan sangat sederhana dan sejauh mungkin dihindari suasana yang formal.Meskipun digunakan terminologi arbitrase dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, tetapi undang-undang tersebut sama sekali tidak mengatur mekanisme arbitrase-nya. Arbitrase dalam perlindungan konsumen tidak sama dengan mekanisme arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga timbul pertentangan antara arbitrase dalam putusan BPSK dengan putusan arbitrase dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang harus memerlukan penafsiran lebih lanjut. Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka konsumen cenderung tidak terlindungi hak-haknya. Tetapi karena tugas dan kewenangan BPSK adalah menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara mediasi, konsiliasi dan arbitrase, maka BPSK harus menerapkan model arbitrase yang lain selain dari yang ditentukan oleh undang-undang tersebut. Apabila ini dilakukan, maka perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha niscaya terwujud.Kata Kunci: Sengketa, Konsumen, Arbitrase