"Pada bulan Februari 1991 oleh pejabat yang berwenang saya diusulkan naik pangkat ke golongan II/d per 1 April 1991 dengan dasar angka kredit yang telah dicapai sampai dengan Desember 1990, serta telah memenuhi syarat (fotocopy surat terlampir); .... apakah kenaikan pangkat saya berdasarkan angka kredit tersebut dapat ditetapkan SK-nya? Kalau dapat, mengapa sampai kini SK-nya belum juga turun?" Demikian kutipan pertanyaan dan keluhan guru yang dimuat oleh sebuah harian ibu kota baru-baru ini. Kutipan tersebut di atas hanya merupakan sedikit dari banyak keluhan yang senada; keluhan guru yang berka itan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan profesi yang ditekuninya. Bila kita cukup concern terha-dap masalah-masalah yang bergaung di lapangan maka saat ini di kalangan guru yang terhimpun di dalam keanggotaan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tengah muncul fenomena pendidikan yang sangat menyita perhatian dan e-nergi; yaitu menyangkut sistem angka kredit yang berkait langsung dengan pengurusan kenaikan jabatannya. Sistem angka kredit yang digaungkan sejak bebera-pa waktu yang lalu sekarang ini benar-benar populer bagi kalangan guru. Apakah hal itu dikarenakan para guru sa-ngat familiar terhadap sistem "baru" ini? Tidak! Apabila kita mau bicara jujur justru saat ini masih banyak guru yang belum memahami sistem tersebut, baik dalam kerangka konseptual maupun operasionalnya; padahal, mau tak mau, para guru harus pandai mengadaptasi sistem tersebut.