Tujuan dilakukannya penelitian untuk mengetahui bagaimana Sistem pembuktian yang bisa diterapkan dalam tindak pidana korupsi dan bagaimana praktek penegakan hukum pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi di Indonesia yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Mekanisme pembuktian dalam tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan KUHAP. Beban untuk melakukan pembuktian menurut KUHAP ada pada jaksa penuntut umum dan terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, melainkan hanya hak, seharusnya pembuktian pada tindak pidana gratifikasi itu ada pada penerima gratifikasi atau terdakwa, bukan jaksa penuntut umum . 2. Penambahan ketentuan mengenai “pembuktian terbalik†tersebut bersifat ’'premium remidium’' dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara, agar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian memang tidak diterapkan secara murni terhadap semua jenis tindak pidana korupsi, tetapi hanya terbatas dan berimbang diterapkan terhadap tindak pidana yang terkait dengan gratifikasi. Penerapan secara murni atau mutlak pembalikan beban pembuktian hanya diterapkan khusus dalam hal gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara . Jika pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya serta laporan harta kekayaan penyelenggara negara, di mana penyelenggara negara harus membuktikan bahwa kekayaannya itu diperoleh secara sah .Kata kunci: pembuktian terbakik; korupsi;