Wanga[4] atau banga[5] (Pigafetta elata) adalah sejenis palma yang tinggi dan indah; yang menyebar terbatas di wilayah pegunungan di Sulawesi. Batangnya licin dan lurus, acap digunakan sebagai tiang bangunan.
Pengenalan dan ekologi
Pohon palem yang tumbuh tegak lurus, anggun dan indah, soliter, tinggi hingga 35-40 m.[6] Batang dihiasi cincin-cincin keputihan bekas melekatnya pelepah daun. Pelepah, ibu tulang daun, dan tepi anak-anak daun dengan duri-duri yang panjang dan lentur, tersusun rapat. Berumah dua (dioesis); dengan perbungaan yang terletak interfoliar, terkadang menjadi infrafoliar tatkala menjadi buah.[7]Buahnya berukuran kecil serupa buah rotan, hampir bulat (globose), tertutupi oleh 11-12 deret sisik ke arah vertikal.[8]
Wanga menyebar terbatas (endemik) di Pulau Sulawesi. Palem ini merupakan tumbuhan pionir, yang lekas menginvasi habitat-habitat yang terganggu di pegunungan, di mana ia didapati melimpah pada ketinggian antara 300–1500 m dpl. Wanga kerap tumbuh di bekas-bekas tanah longsor, bekas aliran lava yang melapuk, tepian sungai, serta bekas-bekas tanah pertanian yang ditinggalkan yang tumbuh menjadi hutan sekunder. Semainya tampak memerlukan intensitas cahaya matahari yang tinggi untuk pertumbuhannya.[7]
Manfaat
Dari pohon yang tua diambil batangnya yang lurus, bulat torak, dan berkayu keras, untuk digunakan sebagai tiang bangunan. Di wilayah Mamasa dan Toraja, batang banga ini digunakan sebagai tiang lumbung padi tradisional yang disebut alang; setelah diserut licin kayu ini sukar dipanjat oleh tikus, sehingga padinya aman tersimpan.[9][10] Bagian yang berkayu dari batang banga ini dapat dibelah-belah menjadi semacam papan yang disebut ruyung; yang digunakan untuk lantai atau dinding bangunan.[6]
Daunnya yang muda (janur), pada masa lalu diproses untuk menghasilkan serat yang dipergunakan sebagai benang. Dari bagian tertentu palem ini juga diambil serupa bahan yang lunak seperti spons, yang digunakan sebagai pangkal anak sumpitan.[4] Bijinya dimakan oleh orang-orang Toraja.[9] Buahnya pun dapat dimakan.[11] Pohonnya yang indah acap ditanam sebagai pohon hias.[9]
Catatan taksonomis
Selama berpuluh tahun, wanga (Pigafetta elata) dikacaukan dan dianggap sama dengan sagu hutan (P. filaris), berdasarkan penyataan Odoardo Beccari pada tahun 1918,[12] yang kemudian dituruti oleh banyak penulis yang lain. Baru delapan puluh tahun kemudian kekeliruan ini diperbaiki oleh John Dransfield, meskipun sebelumnya pada tahun 1970an ia telah pernah diingatkan oleh isterinya, Soejatmi Dransfield, soal perbedaan kedua spesies tersebut.[8]
P. elata berbeda dari P. filaris pada beberapa aspek seperti bentuk buahnya yang cenderung bulat (vs. bentuk gelendong pada P. filaris); sisik-sisik penutup buah dalam 11-12 deret vertikal (vs. 13-15 deret); bentuk biji yang bulat pendek (vs. bersudut); duri-duri pada pelepah daun yang berderet rapat (vs. agak renggang, berjarak). Pelepah dan tulang daun utama pada P. elata cenderung berwarna gelap, sementara pada P. filaris tersaput warna kelabu keputih-putihan seperti berbedak.[8]
^ abHeyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna IndonesiaI: 390-1. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. (versi berbahasa Belanda-1922- I: 335-6)
^Beccari, O. 1918. "Asiatic Palms-Lepidocaryeae. The species of the genera Ceratolobus etc." Annals of The Royal Botanic Garden, Calcuttavol. 12(2): 102. (Pigafetta pp. 99-103.)