Ummu Ammarah Binti SufyanUmmu Ammarah Binti Sufyan bin Abdullah bin Rabiah Attsaqafi sosok sederhana. Tetapi teladan dalam ketakwaan, kezuhudan, kejujuran, amanah, tsiqah dan wara’ di sepanjang zaman kehidupan manusia. Di tengah langkanya kejujuran saat ini, korupsi merajalela, pencucian uang merebak dan usaha-usaha penipuan mencengkeram. Tak segan dari uang haram tersebut, para istri pejabat dan anak-anaknya bergaya hidup mewah, pamer di media sosial. Sosok Ummu Ammarah dapat menjadi bintang penerang bagi muslimah sekarang untuk masalah tersebut.[1] Ummu Ammarah hidup di masa Khalifah Umar bin Khatthab. Beliau dibesarkan sebagai anak yatim, tinggal bersama ibu dengan kehidupan serba terbatas. Untuk menafkahi hidupnya, Ummu Ammarah binti Sufyan bersama ibunya, sehari-hari berjualan susu di pasar. Kehidupan keras mendidik Ummu Ammarah menjadi pribadi tangguh, tabah dan penyabar dalam setiap masalah. Suatu ketika di masa khalifah Umar, sebagian penjual susu mencampur dagangannya dengan air. Kaum muslimin mengeluhkan keadaan tersebut kepada Umar. Khalifah menerima aduan, langsung mengirim salah seorang muawin (pembantu) untuk mengingatkan para penjual susu agar jujur. Utusan khalifah masuk pasar berseru, “Wahai para penjual susu, kalian jangan mencampur susu dengan air, karena itu kalian menipu kaum muslimin. Sesungguhnya siapa saja melakukan hal itu, maka dia akan dihukum Amirul Mukminin dengan hukuman berat!” Suatu malam, khalifah melakukan blusukan bersama pembantunya bernama Aslam untuk melihat langsung kondisi umat. Kebiasaan blusukan ini dilakukan Umar untuk mengetahui fakta di lapangan yang dialami umat. Setelah berkeliling cukup lama malam itu, Umar istirahat sejenak di samping rumah sangat sederhana. Tiada orang menyadari kehadiran khalifah di tempat tersebut, termasuk pemilik rumah. Tiba-tiba Umar mendengar suara seorang perempuan dari dalam rumah tersebut, “Bangunlah putriku, sekarang saatnya mencampur susu dengan air.” Putrinya menjawab, “Ibu, apakah engkau tidak mendengar tentang peraturan yang diumumkan hari ini dari Amirul Mu’minin?” lbunya bertanya, “Peraturan tentang apa?” Putrinya menjawab, “Dia menyuruh seseorang untuk menyerukan bahwa setiap penjual susu dilarang mencampur susu dengan air.” “Putriku, campurlah susu itu dengan air. Sesungguhnya kamu sekarang ini berada di tempat yang tak mungkin dilihat Umar, apalagi utusan Umar yang mengumumkan peraturan itu.” “Demi Allah, apakah aku akan menaatinya di hadapan orang banyak, tetapi kemudian memaksiatinya ketika aku sendirian. Sesungguhnya Umar memang tidak melihat kita, tetapi Pemelihara Amirul Mukminin itu pasti melihat.” Umar mendengar kata-kata perempuan itu menjadi tertegun, hatinya bergetar. Dia sangat mengagumi sikap wara’ dan perasaaan selalu diawasi Allah yang dimiliki putri penghuni rumah itu. Khalifah Umar berkata kepada pembantunya, “Aslam, tandailah pintu rumah ini dan kenali tempat ini.” Umar meninggalkan tempat itu. Esoknya, Umar berkata kepada Aslam, “Aslam, pergilah kamu ke tempat kita beristirahat tadi malam. Cari tahu siapa yang mengucapkan kata-kata yang penuh keyakinan kepada Allah itu dan siapa yang diajak bicara. Cari tahu pula, apakah mereka berdua mempunyai suami.” Aslam berangkat menunaikan perintah Amirul Mukminin. Dia ke tempat itu. Dia dapati seorang perempuan tua dan putrinya bernama Ummu Ammarah. Dia juga mendapat keterangan, mereka tidak punya suami. Aslam kembali dan melaporkan informasi yang didapat kepada khalifah. Umar memanggil anak-anaknya, lalu berkata, “Apakah ada di antara kalian yang ingin menikahi seorang perempuan? Andaikata bapak kalian masih berminat untuk menikahi wanita, maka tiada seorang pun yang dapat mendahuluiku meminang perempuan itu.” Abdullah bin Umar berkata, “Saya sudah beristri.” Abdurrahman, saudaranya, berkata, “Saya juga sudah mempunyai istri.” Anak ketiga Umar, yakni Ashim, berkata, “Wahai ayahanda, saya belum beristri. Nikahkanlah saya.” Umar akhirnya mengutus seseorang untuk meminang gadis itu lantas menikahkan Ashim. Pernikahan agung dan penuh berkah dilaksanakan penuh kesederhanaan, karena Umar adalah khalifah amat sederhana dan tak pernah gunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Beliau sangat wara’ dari menggunakan uang umat. Dari pernikahan Ashin bin Umar dan Ummu Ammarah binti Sufyan, lahir dua anak perempuan bernama Hafsah dan Laila. Di masa depan, Laila dikenal dengan nama Ummu Ashim binti Ashim. Masa kanak-kanaknya diwarnai suasana ketakwaan yang diwariskan dua orang tuanya. Ummu Ashim tumbuh sebagai perempuan yang cinta kebaikan, kejujuran dan ilmu. Di bawah bimbingan ayah, ia menjadi sosok cerdas dan pintar, sampai menjadi seorang perawi hadis. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya, begitu gambaran sifat Ummu Ashim, persis ibunya yang salihah, zuhud dan wara’. Ummu Ammarah dinilai Umar sebagai wanita yang dianjurkan Nabi SAW, “Carilah wanita terbaik untuk persemaian benih kalian dan nikahilah wanita-wanita yang kufu!” Dari semua sifat-sifat terpuji yang dimiliki Ummu Ammarah ini, Umar yakin wanita mulia ini akan melahirkan generasi yang punya sifat terpuji pula. Anak yang memiliki sifat mulia seperti ibunya. Ummu Ashim alias Laila kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan, penerus kekhilafahan Bani Umayah. Dari pernikahan ini, lahir seorang anak bernama Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai khalifah yang zuhud, wara dan bertakwa, hanya takut kepada Allah, sebagaimana neneknya yaitu Ummu Ammarah. Bahkan dijuluki Khulafaur Rasyidin kelima. Di masa Umar bin Abdul Aziz, meski waktu pemerintahannya singkat, tetapi umat Islam berada pada puncak kesejahteraan dan kegemilangan. Sampai-sampai di masa itu, tiada orang menerima zakat. Demikian pentingnya peran seorang ibu bagi lahirnya pemimpin-pemimpin hebat di masa datang. Generasi terbaik lahir dari para ibu terbaik sejak dari rahimnya. Maka, wahai muslimah mulailah menjadi Ummu Ammarah, seorang penjual susu yang sederhana tapi mampu mencetak keturunan menjadi para khalifah yang disegani dan membawa Islam pada peradaban gemilang. Karena Ummu Ammarah senantiasa menyelimuti diri dengan ketakwaan, zuhud, dan wara’ sehingga mampu mencetak generasi pemimpin yang hanya takut kepada Allah, siap menjalankan hukum Allah, dicintai orang-orang yang salih, serta ditakuti orang-orang zalim. Rujukan
|