Ubi cilembu lebih istimewa daripada umbi biasanya karena ubi ini bila dipanggang akan mengeluarkan sejenis cairan lengket gula madu yang manis rasanya. Karena itu, ubi cilembu disebut juga dengan ubi si madu. Bila ubi pada umumnya juga manis, rasa manis ubi cilembu ini lebih manis dan lengket dengan gula madu. Rasa manis ini membuat tenaga ekstra bagi orang yang mengonsumsinya.[5]
Ubi ini tidak cocok untuk digoreng, karena kandungan gulanya yang tinggi membuat ubi ini sangat mudah “gosong”, dan juga tidak cocok untuk direbus, karena aroma dari “madu”-nya akan berkurang, bahkan hilang.
Pada umumnya produk ubi cilembu diperdagangkan dalam bentuk ubi bakar selain diolah dalam bentuk kripik, tape, dodol, keremes, selai, saus, tepung, aneka kue, mie, dan sirop.
Ubi cilembu memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena rasa yang khas, manis seperti madu dan legit, struktur dagingnya kenyal, dan menarik sehingga sangat digemari oleh pelaku usaha tani dan konsumen.[2]
Selain rasa yang sangat manis, warna daging ubi juga cukup menarik di mana kulit dan daging ubi berwarna krem kemerahan di waktu mentah dan berwarna kuning bila dimasak dan bentuk ubi panjang berurat. Bentuknya panjang dan kulitnya tak mulus karena ada urat-urat panjang yang menonjol. Ketika dipanggang, dibakar, atau dioven, dari kulitnya yang berwarna gading akan muncul lelehan-lelahan seperti madu.[6]
Ciri-ciri
Berikut adalah karakteristik khas yang membedakan ubi cilembu dengan ubi jalar yang berasal dari daerah lain:[1]
Ubi cilembu tumbuh merambat. Bentuk daun menjari dengan pinggir daun rata. Daun muda berwarna hijau keunguan. Daun tua berwarna hijau. Tulang daun berwarna hijau keunguan. Tangkai daun berwarna hijau dengan lingkar ungu pada bagian ujung, dengan panjang 75–145 mm. Bunga berwarna putih keunguan. Batang berwarna hijau, dengan panjang 80–130 cm.
Kulit umbi berwarna krem kemerahan atau kuning. Daging umbi mentah berwarna krem kemerahan atau kuning. Daging umbi masak berwarna kuning. Umbi berbentuk panjang dan berurat nyata. Rasa umbi manis dan bermadu, dengan tekstur tidak berair. Rasa sangat manis jika dibakar dalam oven. Bobot bahan kering (rendemen) umbi tinggi.
Umur panen 5–7 bulan. Rata-rata menghasilkan produksi 12–17 ton/ha, dengan potensi hingga 20 ton/ha. Cocok ditanam pada lahan sawah tadah hujan setelah tanam padi pada ketinggian 800–1000 mdpl. Tanaman ini tahan terhadap penyakit scab atau kudis (Elsinoe batatas), peka terhadap hama lanas atau penggerek (Cilas formicarius).
Kandungan gizi
Ubi cilembu memiliki kandungan vitamin A 7.100 IU (international unit). Suatu jumlah yang cukup tinggi untuk perbaikan gizi bagi mereka yang kekurangan vitamin A. Padahal, umbi-umbian jenis lain, kandungan vitamin A-nya hanya berada pada angka 0,001–0,69 mg per 100 gram. Selain vitamin A yang tinggi, juga mengandung kalsium hingga 46 mg per 100 gram, vitamin B-1 0,08 mg, vitamin B-2 0,05 mg dan niacin 0,9 mg, serta vitamin C 20 mg.[butuh rujukan][7]
Penelitian
Agustina Monalisa Tangapo, mahasiswi doktoral ITB pernah meneliti ubi cilembu dan berhasil meraih gelar doktor pada Program Studi Doktoral Biologi di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) ITB. Ia menyelesaikan disertasi yang berjudul "Dinamika Populasi Bakteri Rhizosfer dan Endofit Pada Budidaya Ubi Jalar Cilembu (Ipomoea batatas var. Cilembu) dan Peranannya Selama Proses Penyimpanan Pascapanen".[2]
"Berdasarkan observasi dan fenomena yang ada, ubi cilembu jika ditanam di tempat yang berbeda di luar Desa Cilembu, hasil kualitas rasa manis berbeda.[3][4] Makanya saya teliti, dari aspek mikrobiologi, khususnya bakteri rizosfer dan endofit yang mengasumsikan spesifik dengan lokasi di mana ubi cilembu itu berasal," [2] Menurut Agustina, ubi jalar seperti cilembu, termasuk alternatif sumber karbohidrat setelah padi, jagung, dan ubi kayu (singkong). Nilai ekonominya sangat tinggi, sehingga ke depannya dapat menjadi alternatif ketika ingin melakukan diversifikasi pangan.[2]