Berdasarkan catatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Yogyakarta, tugu jam tersebut didirikan tahun 1916 sebagai persembahan dari masyarakat Belanda kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berkuasa kembali di Jawa pada awal abad ke-19.[1][2][3] Sebagian masyarakat Yogyakarta menamai jam ini Wayah Titiyoni. Wayah berarti "waktu", juga disebut wanci, sedangkan titiyoni bermakna "masa". Kata titiyoni mirip dengan kata titisoni dalam kamus bahasa Jawa Kawi artinya sirep, yang berarti "tidur".[4]
Bangunan ini terdiri atas dua bagian, yaitu alas berbentuk persegi dan sebuah jam berbentuk bulat yang berada di atasnya.[5] Alas jam itu memiliki ketinggian sekitar 1,5 meter dari permukaan jalan dengan diameter jam berukuran 45 sentimeter.[6] Jarum jam ini sendiri bergerak dengan sistem pegas yang harus diputar setiap waktu tertentu.[7] Hal inilah yang menyebabkan warga di sekitar jam tersebut bergantian memutar pegas jam agar tetap bergerak demi kepentingan umum.[8]
Bangunan itu ditetapkan sebagai warisan budaya melalui Surat Keputusan Wali Kota (Kepwal) No. 297 Tahun 2019 tentang Daftar Warisan Budaya Daerah. Penetapan tersebut mengacu kepada Peraturan Daerah DIY Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pelestarian Warisan Budaya dan Cagar Budaya.[9]
^Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (2017). Ragam Penanda Zaman: Memaknai Keberlanjutan Merawat Jejak Peradaban. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. hlm. 82.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)