Tsabit bin Qais

Nama lengkapnya adalah Tsabit bin Qais bin Syammās bin Umru al-Qais bin Malik bin Haritsah ibn Tsa'labah bin Ka'ab bin al-Khazraj bin al-Harits bin al-Khazraj al-Ḥārithī al-Khazrajī (bahasa Arab: ثابت بن قيس بن شماس الحارثي الخزرجي) adalah seorang sahabat Muhammad, yang menjabat sebagai salah satu orator dan juru tulisnya.[1] Tsabit bin Qais merupakan salah satu tokoh pemimpin Ansar, penduduk asli Madinah yang memberi tempat berlindung yang aman bagi kaum muhajirin di kota mereka.[2]

Keutamaan dan Kisah Keislaman

Sahabat Tsabit bin Qais baru masuk Islam pasca peristiwa Perang Badar. Ia kemudian ikut serta dalam semua pertempuran Nabi dari mulai perang Uhud dan seterusnya. Nabi Muhammad mempersaudarakannya dengan Ammar bin Yasir sebagaimana umumnya waktu itu bahwa seorang Muhajirin akan dipersaudarakan dengan seorang Anshar.

Tsabit bin Qais dikenal sebagai orator yang memiliki suara yang lantang dan fasih berbicara. Nabi bahkan menjaminkan surga baginya. Dikisahkan bahwa ketika turunnya ayat dalam surat al-Hujurat yang berbunyi:

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap yang lain, nanti (pahala) segala amalmu bisa terhapus sedangkan kamu tidak menyadari" (Q.S. al-Hujurat: 2).

Sahabat Tsabit langsung berdiam diri di dalam rumahnya dengan perasaan gelisah. Ia berkata: "Aku pernah mengangkat suaraku melebihi Rasulullah, maka aku termasuk ahli neraka". Nabi yang menyadari kondisi Tsabit kemudian memberitahunya bahwa Ia justru termasuk ahli surga, tentu karena Ia mengangkat suara bukan untuk membangkang tetapi dalam konteks dakwah sebagai juru bicara atau orator Islam.

Pada tahun ke-9 Hijriyah yang dikenal sebagai Tahun Utusan ('Aam al-Wufud) datanglah utusan dari Bani Tamim menghadap Rasulullah sembari menyampaikan orasi mereka yang terkesan menyombongkan diri dan suku mereka. Maka Nabipun memerintahkan Tsabit bin Qais untuk membalas orasi mereka, dan Nabi tersenyum puas mendengar orasi balasan yang disampaikan Tsabit. Setelah itu Nabi berkata: "Sebaik-baik pria di sini adalah Tsabit bin Qais". Nabi juga memberitahunya tentang nasibnya dengan berkata: "Engkau akan hidup dalam kemulian dan terbunuh sebagai syahid di masa depan".

Tsabit bin Qais memiliki istri yang bernama Jamilah binti Abdullah bin Ubay bin Salul (anak tokoh munafik terkenal di Madinah). Istrinya tersebut suatu ketika datang kepada Rasulullah untuk mengadukan suaminya, karena tidak sanggup hidup seatap dengannya dengan alasan faktor fisik Tsabit bin Qais. Jamilah mengajukan gugatan cerai (al-Ikhtila') atas suaminya tersebut dengan mahar berupa pengembalian sebidang kebun yang dulu pernah diberikan oleh Tsabit padanya, Rasulullah menerima gugatannya dan keduanya resmi berpisah.

Pertempuran dalam Membebaskan Wilayah

Menyusul kemenangan pasukan Muslim di pertempuran Dzu al-Qassah pada awal perang Riddah pada tahun 632, Khalifah Abu Bakar menunjuk Tsabit sebagai komandan pasukan kaum Anshar. Dia ditempatkan di bawah komando keseluruhan Khalid bin Walid.[3] Dia berpartisipasi dalam pertempuran berikutnya di Buzakhah (632) melawan pasukan kaum badui dari Bani Asad dan Ghatafan di bawah kepemimpinan Thulaihah dan Aqrabah (633). Tsabit juga ikut serta melawan suku Bani Hanifah yang mendukung penuh Musailamah al-Kazzab.

Di pertempuran Aqrabah dia menyarankan kepada Khalid bahwa Ia harus menarik mundur atau mengeluarkan kaum badui yang saat itu berada dalam pasukan muslimin karena dia menganggap peran mereka sangat tidak efektif atau cenderung berakibat negatif karena mereka disinyalir bersimpati kepada Bani Hanifah sebagai sesama badui. Khalid menerima nasihat ini dan kaum Muslim kemudian berhasil mengusir pasukan Bani Hanifah dan membunuh Musailamah.[4]

Kematian

Dalam pertempuran Yamamah ketika memerangi Musailamah, Tsabit bin Qais menderita luka fatal dan meninggal sebagai martir (syahid). Ia meninggal pada di pertempuran itu tahun 12 Hijriyah.[5]

Referensi

  1. ^ Poonawala 1990, hlm. 69, note 470.
  2. ^ Al-Baghdadi, Ibnu Qani' (2004). Mu'jam as-Shahabah jilid III. Beirut. hlm. 945. 
  3. ^ Donner 1993, hlm. 62.
  4. ^ Kister 2002, hlm. 47.
  5. ^ Abu Nu'aim. Ma'rifat as-Shahabah jilid III. hlm. 221. 

Biblografi