Tragedi kecelakaan pesawat Superga|
Tanggal | 4 Mei 1949 |
---|
Ringkasan | sayap kiri belakang pesawat menabrak bagian belakang gereja saat mencoba untuk pendaratan darurat. |
---|
Lokasi | Superga, Turin (Italia) |
---|
Penumpang | 25 |
---|
Awak | 6 |
---|
Cedera | 0 |
---|
Tewas | 31 |
---|
Selamat | 0 |
---|
Jenis pesawat | FIAT G-212 CP |
---|
Operator | Avio Linee Italiane |
---|
Asal | Barcelona-Turin |
---|
Tujuan | Turin |
---|
Tragedi Superga adalah sebuah tragedi kecelakaan pesawat yang terjadi di bukit Superga, yang disebabkan oleh pesawat yang terbang terlalu rendah saat ingin melakukan pendaratan darurat.[1] Kejadian ini menewaskan seluruh penumpang yang berjumlah 31 orang.[1] Kecelakaan pesawat ini bukanlah merupakan kecelakaan pesawat biasa, karena di antara 31 korban kecelakaan pesawat tersebut, terdapat 18 pemain klub Torino F.C. yang ketika itu dijuluki Il Grande Torino (Torino Terbesar), yang saat itu merupakan salah satu klub tersukses di Italia dan Eropa dan juga memberikan andil yang besar dalam timnas Italia.[2][3][4]
Kejadian tersebut bermula ketika mereka menumpangi pesawat dengan rute perjalanan Barcelona-Turin, yang transit di Benfica, yang pada hari sebelumnya mereka mengadakan pertandingan persahabatan melawan klub Benfica dalam rangka laga perpisah Francisco Jose Ferreira.[3] Ketika pesawat memasuki teritorial wilayah Italia, cuaca sangat buruk dan pesawat ingin melakukan pendaratan darurat.[3] Namun, pendaratan gagal karena pesawat menabrak bagian belakan gereja yang berada di puncak bukit Superga.[3] Pesawat meledak dan menewaskan semua penumpang.[3]
Undangan
Terdapat sebuah kabar bahwa kapten Benfica dan Portugal, Francisco Jose Ferreira akan gantung sepatu pada akhir musim 1948/1949.[3][5] Ferreira sendiri adalah sahabat baik dari kapten Torino F.C. yakni, Valentino Mazzola.[3][5] Ferreira mengundang sahabat sekaligus orang yang paling dihormatinya dalam laga perpisahannya.[3][5]
“Aku ingin Torino menghadiri pertandingan terakhirku sebelum aku gantung sepatu. Kalian merupakan klub terkuat di Eropa.[3][5] Aku yakin, dengan bertanding melawan kalian masyarakat akan berduyun-duyun datang ke stadion,” pinta Ferreira kepada Mazzola dalam suratnya.[3][5]
“Aku akan minta izin kepada Novo (Presiden Torino F.C.).[3][5] Jika dia setuju maka aku akan datang ke pesta perpisahanmu,” jawab Mazzola dalam surat balasannya.[3][5]
Mazzola menyampaikan pesan tersebut kepada Presiden Torino F.C. yakni, Ferruccio Novo bahwa mereka diundang dalam sebuah laga testimonial.[3][5] Novo menyetujui permintaan tersebut, asalkan mereka tampil maksimal saat melawan Internazionale yang saat itu terpaut 3 angka di bawah mereka dalam persaingan memperebutkan titel juara liga italia musim itu.[3][5]
Janji dipenuhi laga berakhir dengan skor 0-0, tetapi hal tersebut sudah cukup bagi mereka untuk memastikan gelar juara 5 tahun berturut-turut mereka.[3][5]
Pada Minggu, 3 Mei 1949, Mazolla dan Torino F.C. berangkat ke Lisabon, Portugal, untuk berduel dengan Benfica.[3][5] Seperti yang diramalkan oleh Ferreira bahwa masyarakat akan berduyun-duyun datang ke stadium untuk menyaksikan pertandingan tim terbaik di Eropa.[3][5] Pertandingan berjalan seru dan dihujani oleh banyak gol, dan Benfica keluar sebagai pemenang dengan skor 4-3.[3][5]
Setelah memberikan pertandingan yang seru dan menarik kepada masyarakat Lisabon.[3][5] Keesokan harinya, Mazzola dan Torino F.C. pulang ke Italia dengan penumpangi pesawat jurusan Barcelona-Turin yang transit di Lisabon.[3][5]
Kronologi
thumb|right|240px|Monumen peringatan tragedi superga di Basilica, Superga.
Pada pukul 15.45, mereka berangkat menaiki pesawat dengan rute Barcelona - Turin yang transit di Lisabon.[3]
Pada pukul 16.45, Pilot, Perluigi Meroni, memberitahukan kepada otoritas bandara kota Turin bahwa cuaca yang buruk dan jarak pandang hanya 40 meter.[3]
Pada pukul 17.04, otoritas bandara kota Turin kehilangan kontak dengan pesawat.[3]
Pada pukul 17.12, pihak kepolisian daerah setempat memberitahukan bahwa terjadi sebuah kecelakaan yang mengenaskan yang terjadi di daerah otoritas mereka.[3]
Korban
Valerio Bacigalupo, Guglielmo Gabetto, Valentino Mazzola, Aldo Ballarin, Ruggero Grava, Romeo Menti, Dino Ballarin, Giuseppe Grezar, Piero Operto, Emile Bongiorni, Ezio Loik, Franco Ossola, dan Eusebio Castigliano, Virgilio Maroso, Mario Rigamonti, Rubens Fadini, Danilo Martelli, dan Julius Schubert.[3]
Arnaldo Agnisetta sebagai manajer, Ippolito Civalleri sebagai manajer, Egri Erbstein sebagai pelatih fisik, Leslie Lievesley sebagai pelatih utama, Ottavio Corina sebagai medis.[3]
Renato Casalbore, (founder of Tuttosport), Luigi Cavallero, (''La Stampa''), Renato Tosatti, (''Gazzetta del Popolo'').[3]
Pierluigi Meroni, Antonio Pangrazi, Celestino D'Inca, Cesare Biancardi.[3]
Andrea Bonaiuti, organizer.[3]
Setelah tragedi
Setelah terjadinya tragedi Superga, FIGC selaku otoritas tertinggi persepak bolaan di Italia mengadakan rapat yang membahas tentang kelanjutan Liga Italia yang pada musim tersebut masih menyisakan 5 pertandingan lagi. Dan kesepakatan tercapai, setiap perwakilan klub setuju untuk memberikan gelar juara liga Italia (scudetto) kepada Torino F.C. sebagai rasa hormat untuk mengenang mereka. Tetapi pihak Torino F.C. tidak mau dan lebih memilih memainkan pemain juniornya. Dan, kesepakatan terakhir di dapat yakni setiap klub yang bertanding melawan Torino F.C. di sisa laga tersebut, sebaiknya mengeluarkan tim juniornya. Dan, akhirnya tim junior Torino F.C. dapat memenangi setiap laga yang tersisa.
referensi