Tasripin
Tasripin (1834 - 9 Augustus 1919) adalah seorang pengusaha berdarah Jawa asal Semarang, Jawa Tengah yang kaya raya dengan usaha di bidang kulit, kopra, dan properti. Kehidupan dan karier awalTasripin lahir pada tahun 1834 di Roma (Sekarang Karanganyar, Kebumen). Ayahnya, Tassimin Koetjeer, adalah seorang pedangang hasil bumi dan pebisnis di usaha penyamakan kulit yang berasal dari Roma.[1][2] Tasripin memulai pekerjaan sebagai penjaga gudang yang menyimpan kulit yang telah diproses. Sebagai penjaga gudang, dia mempelajari seluk beluk bisnis penyamakan kulit di Semarang.[2] Karier WirausahaSeusai kematian ayahnya, Tasripin meneruskan usaha penyamakan kulit miliknya. Usaha penyamakan kulitnya dilakukan di rumah jagal di Kampung Bleduk. Dengan usaha penyamakan kulit, beliau mengembangkan wayang yang memadukan gaya Yogyakarta dan gaya pesisir. Wayang tersebut dinamakan Wayang Tasripin.[3] Selama menjadi pebisnis, Tasripin tidak hanya bergelut dibidang perkulitan, tetapi juga berbisnis di bidang lain seperti kapuk, kopra, vanili. Berkembangnya bisnisnya Tasripin membuat dia harus membeli tanah untuk menyimpan hasil perkebunan dan memperluas kebunnya. Dia membeli tanah di Ungaran dan Srondol.[2] Di samping itu juga, beliau juga memilki kapal untuk mengekspor kapas dan kopra ke luar negeri.[4] Selain itu juga, beliau juga menjalankan bisnis properti. Dia membeli banyak tanah di daerah kota Semarang dan sekitarnya. Tidak hanya membeli tanah, Tasripin juga membangun gedung besar yang disewakan kepada orang Belanda dan Tionghoa.[2] Dalam menjalankan usahanya, Tasripin mempekerjakan 10.000 – 15.000 pekerja yang tersebar di Semarang dan sekitarnya.[5] Pekerja tersebut ditempatkan di sebuah tempat yang bernama Pondok Boro.[3] Pada tahun 1900-an, Tasripin menyerahkan kepemimpinan bisnis kepada anak pertamanya yaitu, Tas An. Anak pertamanya membuat badan usaha yang bernama Tasriepien Concern. Meskipun begitu, dia masih mengawasi bisnisnya.[2] Kehidupan AkhirTasripin meninggal dunia pada tanggal 9 Agustus 1919 diusianya yang ke-85 tahun dan dimakamkan di TPU Begota. Beliau meninggalkan kekayaan sebesar 45 juta gulden.[1] Kehidupan PribadiTasripin memiliki dua istri. Anak dan beberapa keturunannya menggunakan nama "Tas".[1] Anaknya menetap di kampung kulitan. Menjelang kematiannya, Tasripin meminta anaknya untuk melakukan pernikahan sedarah agar hartanya tidak jatuh ke orang lain.[6] PeninggalanPeninggalan jejak kejayaan Tasripin masih dapat dijumpai di Kampung Kulitan yaitu kediaman Tasripin dan Masjid At-Taqwa.[7][8] Rumah beliau dijadikan cagar budaya oleh pemerintah kota Semarang.[9] Referensi
|