Tari Dupplang

Tari Dupplang ialah tarian tradisional yang berasal dari Sumenep, Madura. Tari Dupplang merupakan salah satu tari tradisional yang sangat spesifik, unik dan langka. keunikan dari tari ini disebabkan tarian ini merupakan suatu jalinan kisah, sebuah penggambaran prosesi yang utuh dari kehidupan seorang wanita desa. Kerja keras wanita-wanita petani yang selama ini terlupakan, dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat indah, lemah lembut, lemah gemulai sekaligus menggemaskan.[1]

Pencipta Tari Dupplang

Tarian ini diciptakan oleh seorang penari keraton bernama Nyi Raisa. Generasi terakhir yang mampu menguasai tarian ini adalah Nyi Suratmi. Dan tarian ini jarang dipentaskan setelah adanya pergantian sistem pemerintahan, peralihan dari sistem Raja ke Bupati. Sejak saat itu, otomatis tarian ini jarang sekali dipentaskan.[2]

Jalinan Cerita Tari Dupplang

Tarian ini merupakan penggambaran prosesi jalinan cerita tentang petani wanita yang menanam sejenis tumbuhan ubi-ubian yaitu gaddung. Gaddung adalah sejenis ubi yang akan menimbulkan ekses memabukkan apabila dalam proses memasak tidak benar. Jenis ubi ini jarang dikonsumsi oleh masyarakat, karena sangat sulit dalam proses memasaknya.

Tarian ini adalah penggambaran utuh dari proses awal penanaman, pemupukan, pemanenan, penjemuran, pengolahan sampai tahap memasak. Setelah proses itu selesai, si penari menghantarkan makanan tersebut ke rumah mertua, sebagai tanda bakti seorang anak. Setelah tiba di rumah mertua, bersama-sama mereka memakannya. Dan tarian ini berakhir ketika penari mabuk setelah mengkonsumsi gaddung tersebut.

Tarian ini dibawakan oleh 1 penari wanita, adapun pakaian serta aksesoris yang digunakan penari tergantung pada permintaan yang mengadakan pertunjukan. Di lingkungan kraton, pakaian yang dikenakan biasanya pakaian adat Lega dan memakai sanggul. Sedangkan untuk kalangan masyarakat biasa, digunakan kain panjang dan kebaya. Adapun durasi pertunjukan memakan waktu sekitar 1 sampai dengan 2 jam.[3]

Prosesi Pertunjukan Tari Dupplang

Prosesi tarian ini diawali oleh alunan gendingan, si penari memasuki arena pentas, berputar kemudian jongkok sembari menembangkan kidung Candaga. setiap pergantian gerakan berdiri ke duduk jongkok, sembari menembangkan sebuah kalimat "Bapa'e Dupplang, e koncono, se namen gaddung". Selesai pengucapan kidung tersebut, penari mulai menanam gaddung. Setelah menanam, penari kembali pulang ke rumah.

Selama dalam prosesi tersebut, penari selalu mengalunkan kidung yang sama. Begitu pula saat penari kembali ke ladang untuk melihat tanamannya, dalam posisi jongkok penari menembang "Bapa'e Dupplang se neleggi Gaddung". Penari melihat tanamannya yang mulai tumbuh dan membuatkan para-para tempat menjalarnya tanaman tersebut. Setelah itu penari kembali pulang ke rumah.

Adegan berikutnya adalah penari kembali ke ladang untuk menggali tanamannya. Sambil berjlaan mundur dalam posisi jongkok, selendang diumpamakan linggis. Setelah penggalian selesai, gaddung dimasukkan ke dalam keranjang, setelah itu dibawa pulang dengan cara di taruh di atas kepala. Sampai di rumah gaddung tersebut diletakkan sambil mengidungkan "Bapa'e Dupplang e konco se andi' gaddung". Setelah itu penari mengupas, mengiris-ngiris kemudian dimasukkan kembali ke dalam keranjang dan dibawa ke laut untuk dicuci. Sesampai di laut, gaddung tersebut diinjak-injak. Setelah selesai penari kembali pulang ke rumah untuk menjemurnya. Selendang dipergunakan sebagai pengganti tikar. Dalam penjemuran ini penari berkali-kali membolak-balikkan gaddung. Setelah dianggap agak kering, gaddung itu dimasukkan kembali ke keranjang untuk dibawa masuk ke rumah. Dalam adegan ini penari mengidungkan "Bapa'e Dupplang nolonga Gaddung".

Sesampainya di rumah, gaddung tersebut dimasukkan ke dalam panci untuk dimasak. Sambil menunggu, penari menagmbil sebutir kelapa, membuka batok kelapa dengan parang, mengupas kelapa kemudian memarutnya. Setelah gaddung masak, diangkat keluar dari panci, diletakkan di piring kemudian ditaburi kelapa parut. Setelah selesai, penari berangkat ke rumah mertua untuk menghantarkan makanan tersebut.

Setiba di rumah mertua, penari sambil duduk jongkok memberikan makanan tersebut, kemudian bersama-sama memakannya. Setelah makan gaddung tersebut, mabuk. Puncak dari tarian ini adalah ketika penari dalam keadaan mabuk. Sebagai penutup penari mengidungkan kalimat "Apa tambana Dupplang, tambana Dupplang ayak sapolo" secara terus-menerus diiringi gending Ayak Sapolo. Ayak Sapolo adalah sebuah nama tembang.[4]

Referensi

  1. ^ Irmawati, Rosida (2004). Berkenalan Dengan Kesenian Tradisional Madura. Surabaya: Penerbit SIC. hlm. 65. ISBN 979-9414-58-X. 
  2. ^ Irmawati, Rosida (2004). Berkenalan Dengan Kesenian Tradisional Madura. Surabaya: Penerbit SIC. hlm. 65. ISBN 979-9414-58-X. 
  3. ^ Irmawati, Rosida (2004). Berkenalan Dengan Kesenian Tradisional Madura. Surabaya: Penerbit SIC. hlm. 66. ISBN 979-9414-58-X. 
  4. ^ Irmawati, Rosida (2004). Berkenalan Dengan Kesenian Tradisional Madura. Surabaya: Penerbit SIC. hlm. 68. ISBN 979-9414-58-X.