Tantangan jurnalis era konvergensi
Jurnalisme masa depan diramalkan akan bergerak di bidang multimedia. Jurnalisme multimedia merupakan kegiatan jurnalistik yang dalam penyajian kontennya menggunakan teks, gambar, video, grafis, animasi, dan audio. Tantangan dan tuntutan harus dihadapi oleh para jurnalis seiring dengan zaman yang terus berubah. Tuntutan KecepatanSetelah kemunculan internet, adanya kecepatan dalam distribusi informasi sangat dimungkinkan.[1] Jurnalis dituntut untuk dapat menghasilkan informasi dengan cepat dan jumlah banyak. Dampaknya adalah pada kualitas artikel yang dihasilkan.[2] Sekarang mudah bagi siapapun untuk membuat artikel dan membagikannya di berbagai media. Hal tersebut menjadikan posisi jurnalis dan masyarakat setara. Tuntutan kecepatan terkadang menimbulkan kelalaian dalam pengumpulan data. Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pun tidak dapat dihindarkan. Imbasnya adalah pada kualitas berita yang berkurang. Kondisi media saat ini hanya fokus untuk berlomba-lomba menyiarkan informasi. Menjaga Kualitas KontenAudiens yang kritis kerap mempertanyakan akurasi berita yang disajikan media online. Fakta bahwa media sosial kerap dijadikan sumber pencarian informasi secara otomatis menjadi saingan media-media online. Maka dengan berita yang akurat membuat publik tidak akan beralih ke media sosial sebagai sumber pencarian informasi. Cakupan informasi yang semakin luas menjadi tantangan bagi para jurnalis untuk mencari celah informasi dari berbagai peristiwa. Kerap kali jurnalis memanfaatkan media sosial sebagai sumber pencarian data utama. Prinsip keberimbangan, kehati-hatian, dan keakuratan saat ini sering dinaifkan dalam praktik jurnalisme. Jurnalis hanya mengejar aktualisasi berita, hingga tahap verifikasi dikesampingkan supaya dapat menyajikan berita secara instan. Di era digital masyarakat seolah setara dengan jurnalis. Mereka dapat menuliskan informasi layaknya jurnalis. Maka dari itu, muncul istilah jurnalisme warga. Peran jurnalis bisa geser apabila informasi-informasi yang dihasilkan tidak berbeda dengan yang dihasilkan jurnalisme warga. Para jurnalis harus bisa mencari celah dengan terus mempertahankan kepercayaan publik sehingga perannya tidak digeser oleh warga. Akurasi berita harus dijunjung tinggi dalam jurnalisme, supaya kepercayaan publik yang telah bertransformasi menjadi audiens aktif dapat terus bertahan. Media masih terus menjadi sumber utama dalam pencarian informasi publik. Media-media mengalami tantangan di tengah perkembangan teknologi dan perubahan selera generasi muda. Hasil riset terhadap generasi Z di tahun 2018, menyatakan bahwa 89% diantaranya lebih suka mengakses informasi dari pembaca umpan berita lokal maupun internasional. Hal ini karena akses yang mudah dan penyajian informasi yang cepat. Wajah jurnalisme online mulai berubah dari sisi konten, hambatan yang dihadapi, dan model bisnis. Perubahan lain yang terjadi adalah fungsi distributor konten yang meningkat, karenanya perusahaan teknologi yang dijadikan sebagai distributor tidak mengutamakan kualitas karya jurnalisme. Munculnya konsep trending topik menjadi salah satu hal yang mengganggu kinerja jurnalistik, akibatnya muncul kecenderungan memuja konsep tersebut. Trending topik memunculkan kecenderungan jurnalis menulis informasi sesuai dengan apa yang disukai publik dibanding apa dibutuhkan publik.[3] Pembenahan jurnalisme pada era konvergensi ini dapat dimulai dengan melakukan riset tentang target konsumen, bukan hanya fokus memproduksi konten. Selanjutnya, media perlu menjaga hubungan dengan audiens melalui edukasi berupa seminar dan kursus secara online. Media perlu kembali pada konsep awal jurnalisme sebagai penyedia informasi. Mengembalikan kualitas konten berita dengan memberi informasi yang semestinya harus menjadi patokan utama dalam jurnalisme. Menjaga Akurasi InformasiAudiens yang kritis kerap mempertanyakan akurasi berita yang disajikan media online. Fakta bahwa media sosial kerap dijadikan sumber pencarian informasi secara otomatis menjadi saingan media-media online. Maka dengan berita yang akurat membuat publik tidak akan beralih ke media sosial sebagai sumber pencarian informasi. Cakupan informasi yang semakin luas menjadi tantangan bagi para jurnalis untuk mencari celah informasi dari berbagai peristiwa. Kerap kali jurnalis memanfaatkan media sosial sebagai sumber pencarian data utama. Prinsip keberimbangan, kehati-hatian, dan keakuratan saat ini sering dinaifkan dalam praktik jurnalisme. Jurnalis hanya mengejar aktualisasi berita, hingga tahap verifikasi dikesampingkan supaya dapat menyajikan berita secara instan.[4] Di era digital masyarakat seolah setara dengan jurnalis. Mereka dapat menuliskan informasi layaknya jurnalis. Maka dari itu, muncul istilah jurnalisme warga. Peran jurnalis bisa geser apabila informasi-informasi yang dihasilkan tidak berbeda dengan yang dihasilkan jurnalisme warga. Para jurnalis harus bisa mencari celah dengan terus mempertahankan kepercayaan publik sehingga perannya tidak digeser oleh warga. Akurasi berita harus dijunjung tinggi dalam jurnalisme, supaya kepercayaan publik yang telah bertransformasi menjadi audiens aktif dapat terus bertahan. Kemenarikan pengemasan informasiKecenderungan publik yang kini mengarah pada kemampuan multitasking menjadikan kegiatan jurnalisme bergerak ke arah multimedia, yang mana informasinya disampaikan dengan versi teks, gambar, video, maupun audio. Tantangan terakhir yang harus dihadapi jurnalis adalah kemauan untuk mengasah kemampuan dalam mengemas informasi menggunakan konten multimedia. Informasi yang dikemas dalam multimedia lebih menarik publik pada era digital. Dalam jurnalisme multimedia, jurnalis harus memiliki kemampuan-kemampuan yang dapat mendukung cara kerja baru dari para jurnalis. Kemampuan-kemampuan tersebut antara lain:
Selain 5 kemampuan di atas, jurnalis pada era konvergensi inijuga harus menguasai kemampuan bisnis. Seorang jurnalis harus memiliki jiwa kewirausahaan di mana jurnalis harus mempunyai pikiran terbuka dan memiliki inovasi. Jurnalis pada era konvergensi harus memahami segala sesuatu mengenai dunia bisnis, nilai sebuah konten, dan bagaimana model bisnis itu dijalankan. Seorang jurnalis juga harus mampu menguasai alat-alat yang memang bisa digunakan untuk mengukur metrik, contohnya dengan menggunakan Google Analytics, Nielsen, dan lainnya.[5] Referensi
|