Siem Piet NioSiem Piet Nio (Hanzi: 沈泌娘, lahir pada tahun 1907, meninggal pada dekade 1980-an), menulis dengan nama pena Hong Le Hoa, dulu adalah seorang penulis, editor majalah, jurnalis, dan advokat hak perempuan asal Hindia Belanda yang aktif mulai dekade 1920-an hingga 1930-an.[1][2][3][4] BiografiSiem Piet Nio lahir pada sebuah keluarga Tionghoa Peranakan di Purbalingga, Jawa Tengah, Hindia Belanda pada tahun 1907.[5][4][2] Ia lalu bersekolah di Sekolah Betel Purbalingga.[4][2] Setelah lulus pada usia 15 tahun, ia mendirikan Asosiasi Massa Perempuan (Hanzi: 平民女子会).[2][1] Pada akhir dekade 1920-an, ia pindah ke Banyumas, Jawa Tengah dan mulai menulis artikel untuk majalah Liberty (disunting oleh Ong Ping Lok dan diterbitkan di Jember) dan Panorama (disunting oleh Kwee Tek Hoay dan diterbitkan di Batavia).[6][4][2][1] Ia pertama kali menyerahkan artikel ke Panorama pada tahun 1927, dan Kwee terkesan dengan artikel buatannya. Kwee kemudian merekrutnya sebagai asisten editor.[6] Ia kerap menulis artikel mengenai kebutuhan wanita untuk menggunakan keterampilan menulisnya guna mengangkat derajat wanita lain, serta kebutuhan akan emansipasi antar wanita.[2][1][6] Pada bulan Agustus 1928, ia menjadi kepala editor dari majalah Soeara Persatoean Kaoem Prempoean Tionghoa Indonesia yang diterbitkan di Sukabumi.[4] Majalah tersebut merupakan corong dari federasi tersebut, yang beranggotakan tujuh organisasi yang dijalankan oleh wanita Peranakan dari berbagai daerah di Jawa dan dibentuk sebagian berkat advokasi yang ia lakukan.[2][4] Anggota federasi tersebut terutama berinteraksi melalui surat, dan saat itu juga dikenal sebagai Persatoean Journaliste Prampoean.[6] Karena dibagikan secara gratis dan tidak mendapat pendanaan dari luar federasi, majalah tersebut pun tidak terlalu tebal, dengan tiap terbitan biasanya hanya kurang dari dua halaman.[1] Walaupun begitu, majalah tersebut kemungkinan merupakan majalah feminis Tionghoa berbahasa Melayu pertama di Hindia Belanda.[2][1] Menurut salah satu ulasan, majalah tersebut berisi kesibukan dari federasi tersebut, serta memiliki bagian khusus yang membahas pendidikan dan keluarga, serta sastra.[4] Pada tahun 1930, ia menikahi Liauw Seng Toh dan menetap di Sukabumi.[4][5] Setelah itu, ia menulis untuk majalah Menara, tetapi karena harus mengurus anak, ia pun mengurangi kesibukan menulisnya.[4][5] Akibat Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Hindia Belanda, ia kemudian kehilangan sebagian besar koleksi karyanya.[1] Pada suatu waktu, ia berhenti menulis dan membuka sebuah toko di Sukabumi.[4] Ia akhirnya meninggal di Sukabumi pada dekade 1980-an.[2] Referensi
|