SerimbangSerimbang adalah nama sebuah tarian masyarakat Tempilang dari Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang digunakan untuk menyambut tamu kehormatan.Tari Serimbang merupakan penggambaran salah satu jenis burung Cebuk. Ketika burung ini berkicau atau menggerakkan tubuhnya, burung-burung lain ikut berkicau di sekelilingnya, seakan-akan tertarik oleh daya pikat burung Cebuk ini.[1] Istilah Serimbang diambil kata "seri/sri" dan "mbang". Dalam bahasa Tempilang, burung Cebuk seperti "seri" atau permaisuri (ratu), yang disebut sebagai tokoh utama dan "mbang" berasal dari akhiran kata "tembang", yang berarti lantunan (irama) nyanyian saat pertunjukan tari ini. Tembang tersebut berupa pantun yang disesuaikan dengan tema acara yang sedang berlangsung. Contoh pantun yang diucapkan seorang dukun pada saat upacara adat adalah seperti berikut, "Gendang panjang, gendang Tempilang. Gendang disambit, kulet belulang. Tari kami tari Serimbang, Tari untuk nyambut, tamu yang datang pada perang ketupat".[2] Jadi, Serimbang dapat diartikan sebagai irama yang mengiringi gerakan yang indah, dipersembahkan kepada permaisuri atau raja, dan untuk kondisi saat ini tepatnya dipersembahkan kepada tamu agung. Tari Serimbang digunakan untuk menyambut kedatangan tamu agung/pembesar negara yang berkunjung ke Desa Tempilang.[3] KisahTarian ini menceritakan seekor burung malam (burung Cebuk) yang hinggap di atas sebatang pohon di dekat rumah penduduk, pada suatu siang yang cerah. Lalu, datang burung-burung lainnya mengerumuni burung malam tersebut dengan mengepakkan sayapnya serta kepala menunduk dan terkadang tegak yang diiringi oleh suara hiruk pikuk, seakan-akan bergembira menyambut kedatangan burung malam tersebut. Masyarakat Tempilang menganggap bahwa burung malam atau burung hantu tersebut sebagai Dewi Sri, yaitu tamu agung.[3] Sejarah dan perkembanganTari Serimbang lahir di masyarakat pedesaan yang masih sangat menjaga adat tradisi daerah setempat. Tarian ini sudah ada sejak abad ke-17 atau sekitar 1670-1680 sebagai tari untuk menyambut pahlawan Tempilang yang pulang setelah melakukan peperangan terhadap lanun atau para perompak.[4] Selain itu, tarian Serimbang juga dipertunjukkan sebagai hiburan untuk pahlawan yang gagal dalam peperangan melawan penjajah.[1] Saat ini, Tari Serimbang telah menjadi bagian dari upacara Perang Ketupat yang diselenggarakan satu tahun sekali, sebagai penyambutan datangnya bulan suci Ramadhan. Di samping itu, Serimbang digunakan pada berbagai kegiatan masyarakat, yang berupa kegiatan sosial, penyambutan tamu, pernikahan, dakwah pendidikan serta hiburan masyarakat. KepercayaanTari Serimbang dipercaya menjadi tari penghantar dalam malam sesajenan, pada upacara adat Taber (melarung perahu kecil ke laut yang di dalamnya berisi sesajen). Masyarakat setempat percaya bahwa Tari Serimbang adalah salah satu media untuk mengundang leluhur supaya ikut serta dalam prosesi rasa syukur atas hasil laut yang diterima. Masyarakat pun meyakini tarian ini bisa menjadi penghubung antara dunia profan (tidak suci) dan sakral (suci) pada ritual dalam upacara Perang Ketupat. Tari Serimbang dipandang sakral, sehingga para penarinya adalah gadis-gadis yang masih suci. Cara menarikannya adalah dengan menggerakkan tangan dan pinggul dengan gerak yang lemah gemulai yang menggambarkan sekawan burung serimbang yang sedang terbang di atas awan.[5] Karena kesakralannya, tari ini tidak ditarikan untuk sembarang kesempatan. Kedudukan tari Serimbang adalah bagian dari konsepsi budaya Tempilang, sehingga hanya berkembang dan dikenal oleh masyarakat Tempilang.[4] Referensi
|