Seksisme adalah prasangka dan diskriminasi yang didasarkan pada gender. Seksisme sering kali muncul karena peran dan stereotip gender,[1][2] maksudnya adalah adanya penilaian negatif terhadap seseorang karena seseorang tersebut adalah perempuan.[3] Perempuan rentan sekali menjadi korban dalam sosial. Mereka mengalaminya di berbagai tempat, mulai dari di tempat kerja, transportasi umum, atau bahkan di tempat-tempat pendidikan.[4] Seksisme dapat muncul karena kebiasaan dan norma sosial atau budaya.[5] Seksisme dapat merujuk pada kepercayaan atau sikap yang berbeda:
Kepercayaan bahwa satu jenis kelamin lebih berharga dari yang lain
Sifat misoginis (kebencian terhadap perempuan) atau misandri (kebencian terhadap laki-laki)
Ketidakpercayaan kepada orang dengann jenis kelamin yang berbeda
Melihat fenomena ini, Universitas Kolese London di Inggris melakukan sebuah studi dengan hasil yang menyatakan bahwa perempuan yang mengalami diskriminasi gender memiliki risiko tiga kali lipat lebih tinggi untuk terkena depresi.[4]
Para peneliti menganalisa data dari 2.956 perempuan berusia 16 tahun ke atas yang merupakan responden dari Studi Longitudinal Rumah Tangga Inggris pada tahun 2009 dan 2010, yang membuktikan bahwa terdapat hubungan antara pengalaman perempuan yang mengalami diskriminasi gender dengan kesehatan mentalnya.[4] Terdapat 26 persen dari partisipan perempuan yang percaya bahwa dirinya mendapat diskriminasi gender, juga mengaku mengalami tekanan secara psikologis.[4]
Menurut Dr Ruth Hackett, seksisme atau diskriminasi gender sering menjadi penghalang bagi perempuan yang ingin menjalani gaya hidup sehat, baik secara fisik maupun mental. Dengan adanya perlakuan seksisme, membuat perempuan merasa tidak percaya diri dalam menjalankan aktivitasnya dan interaksi sosialnya. Bahkan, dari hal karier, penampilan, hubungan percintaan, dan pertemanannya.[6]
Namun, banyak dari kalangan perempuan sering kali saling mengintimidasi, bahkan saling menyakiti antarperempuan. Padahal semestinya, sesama perempuan harus saling merangkul dan saling memotivasi antarperempuan.
Etimologi dan definisi
Seksisme muncul pada tanggal 18 November 1965, oleh Pauline M. Leet selama "Forum Mahasiswa-Fakultas" di Franklin and Marshall College. awal mula kata "seksisme" diperoleh dari kontribusi forum Leet "Perempuan dan Sarjana", dia mendefinisikan dan membandingkannya dengan rasisme. Dia menyatakan rasis maupun seksis bertindak seolah-olah semua yang telah terjadi tidak pernah terjadi dan keduanya membuat keputusan dan mengambil kesimpulan tentang nilai seseorang dengan merujuk pada faktor-faktor yang dalam kedua kasus tersebut tidak relevan.
Sedangkan menurut Shapiro, istilah "seksisme" pertama kali muncul di media cetak yaitu dalam pidato Caroline Bird "On Being Born Female", yang diterbitkan pada 15 November 1968. Dalam pidatonya dia mengatakan, "Ada pengakuan di luar negeri bahwa kita dalam banyak hal adalah negara seksis. Seksisme menilai orang berdasarkan jenis kelamin mereka, ketika seks tidak menjadi masalah. Seksisme dimaksudkan untuk berirama dengan rasisme."
Seksisme cenderung mendefinisikan sebagai ideologi yang berdasarkan keyakinan bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan.[7][8][9] Ini adalah diskriminasi, prasangka, atau stereotip berdasarkan jenis kelamin, dan paling sering diungkapkan kepada para perempuan.[10]
Psikolog Mary Crawford dan Rhoda Unger juga mendefinisikan seksisme sebagai prasangka yang dipegang oleh individu yang berpaku pada sikap dan nilai negatif tentang perempuan sebagai sebuah kelompok. Peter Glick dan Susan Fiske memberikan istilah seksisme ambivalen untuk menggambarkan bagaimana stereotip tentang perempuan dapat menjadi positif dan negatif, kelompok individu yang berpegang pada stereotip dalam seksisme yang baik dan seksisme yang buruk.[11]
Pengarang feminis bell hooks mendefinisikan seksisme sebagai sistem penindasan yang merugikan perempuan.[12] Filsuf feminis Marilyn Frye mendefinisikan seksisme sebagai "kompleks sikap-konseptual-kognitif-orientasional" dari supremasi laki-laki, chauvinisme laki-laki, dan misogini.[13]
Filsuf Kate Manne mendefinisikan seksisme sebagai salah satu cabang dari tatanan patriarkal. Menurutnya, seksisme merasionalisasi dan membenarkan norma-norma patriarki, berbeda dengan misogini, cabang yang mengatur dan menegakkan norma-norma patriarki. Seksisme sering mencoba untuk membuat peraturan sosial patriarkal terlihat wajar, baik, atau tak terelakkan sehingga tampaknya tidak ada alasan untuk menolaknya.
Stereotip gender
Stereotip gender adalah kepercayaan yang dianut secara luas tentang karakteristik dan perilaku perempuan dan laki-laki.[14] Studi empiris telah menemukan kepercayaan budaya yang dimiliki secara luas bahwa laki-laki lebih dihargai secara sosial dan lebih kompeten daripada perempuan dalam sejumlah kegiatan.[15][16]
Dustin B. Thoman dan lainnya melalui percobaan yang membandingkan hasil matematika perempuan di bawah dua komponen stereotip matematika-gender yang berbeda, yaitu kemampuan matematika dan upaya matematika. Mereka menemukan bahwa kinerja matematika perempuan lebih mungkin dipengaruhi oleh stereotip kemampuan negatif, yang dipengaruhi oleh keyakinan sosiokultural di Amerika Serikat, daripada komponen upaya. Jadi, hasil dari eksperimen ini dan keyakinan sosiokultural di Amerika Serikat, Thoman dan yang lainnya menyimpulkan bahwa akademik individu dapat dipengaruhi oleh komponen stereotip matematika gender yang dipengaruhi oleh keyakinan sosiokultural.[17]
Menurut bahasa
Menurut bahasa, seksisme terjadi ketika merendahkan seseorang dari jenis kelamin tertentu.[18] Bahasa seksis, umumnya, mempromosikan superioritas laki-laki. Dalam bahasa, seksisme memengaruhi kesadaran, persepsi tentang realitas, penyandian dan transmisi makna budaya dan sosialisasi.[18] Para peneliti telah menunjuk pada aturan semantik yang beroperasi dalam bahasa laki-laki sebagai norma.[19] Hal ini menghasilkan seksisme karena laki-laki menjadi standar dan mereka yang bukan laki-laki diturunkan ke kelas bawah.[19] Seksisme dalam bahasa dianggap sebagai bentuk seksisme tidak langsung karena tidak selalu terbuka.[6]
Referensi
^Matsumoto, David (2001). The Handbook of Culture and Psychology. Oxford University Press. p. 197. ISBN 978-0-19-513181-9.
^ abMills, S. (2008) Language and sexism. Cambridge University Press.Retrieved April 18, 2015 from "Archive Copy"Diarsipkan 2020-03-17 di Wayback Machine.. Retrieved December 3, 2013.
^"Sexism". New Oxford American Dictionary (3 ed.). Oxford University Press. 2010. ISBN 9780199891535.
^E.), Crawford, Mary (Mary (2004). Women and gender : a feminist psychology. Unger, Rhoda Kesler. (4th ed.). Boston: McGraw-Hill. pp. 59–60. ISBN 978-0072821079. OCLC 52706293
^Manstead, A. S. R.; Hewstone, Miles; et al. The Blackwell Encyclopedia of Social Psychology. Oxford, UK; Cambridge, Mass., USA: Blackwell, 1999, 1995, pp. 256–57, ISBN 978-0-631-22774-8.
^Wagner, David G.; Berger, Joseph (1997). "Gender and Interpersonal Task Behaviors: Status Expectation Accounts". Sociological Perspectives.40 (1): 1–32. doi:10.2307/1389491. JSTOR 1389491. S2CID 147319093
^Williams, John E. and Deborah L. Best. Measuring Sex Stereotypes: A Multinational Study. Newbury Park, CA: Sage, 1990, ISBN 978-0-8039-3815-1.
^Thoman, Dustin B.; White, Paul H.; Yamawaki, Niwako; Koishi, Hirofumi (2008). "Variations of Gender–math Stereotype Content Affect Women's Vulnerability to Stereotype Threat". Sex Roles. 58 (9–10): 702–12. doi:10.1007/s11199-008-9390-x. S2CID 144788626