Saudara sedarah merujuk pada dua atau lebih pria yang telah bersumpah setia satu sama lain tanpa memiliki hubungan darah. Di zaman modern, hal ini biasanya dilakukan melalui sebuah upacara yang dikenal sebagai sumpah darah. Dalam upacara ini, setiap peserta membuat sayatan kecil, biasanya di jari, tangan, atau lengan bawah, dan kemudian kedua sayatan tersebut ditekan bersama serta diikat. Tujuannya adalah untuk menyimbolkan bahwa darah setiap orang sekarang mengalir di pembuluh darah orang lain.[a]
Tindakan ini membawa risiko penularan penyakit melalui darah. Namun, proses ini seringkali memberikan rasa keterikatan simbolis yang lebih tinggi di antara peserta.
Budaya
Asia Timur
Dalam budaya Asia, tindakan dan upacara menjadi saudara sedarah biasanya dipandang sebagai cara untuk membentuk hubungan kesukuan dan mewujudkan aliansi antar suku. Praktik ini terutama dilakukan oleh bangsa Mongol, Turki dan Tiongkok kuno.[1]
Dalam karya literatur klasik Tiongkok, Kisah Tiga Negara, tiga karakter utama mengambil sumpah saudara sedarah, yang dikenal sebagai Sumpah Taman Persik. Mereka mengorbankan seekor lembu hitam dan seekor kuda putih serta bersumpah setia.[2] Sumpah darah yang melibatkan pengorbanan hewan sering kali merupakan ciri khas dari kelompok pemberontak, seperti pemberontakan yang dipimpin oleh Deng Maoqi pada tahun 1440-an, organisasi kriminal seperti triad atau perompak Lin Daoqian, , dan etnis minoritas non-Han seperti Mongol dan Manchu.[3]Jenghis Khan misalnya, memiliki seorang pengikut bernama Jamukha.[4] Istilah yang berkaitan dengan sumpah darah juga ditemukan dalam bahasa Turki Kuno: ant ičmek yang berarti "bersumpah", berasal dari "ujian kuno dengan racun". Istilah dalam bahasa Turki ini, jika bukan merupakan kata pinjaman dari bahasa Mongol Pertengahan, terkait dengan kata anda dalam bahasa Mongol.[5]
Catatan
^Istilah "saudara sedarah" juga dapat merujuk pada saudara laki-laki yang memiliki hubungan darah, dalam hal ini berlawanan dengan saudara angkat, tiri, atau angkat.