Rumah Laika adalah rumah tinggal yang berada di kalangan suku Tolaki,[1] Sulawesi Tenggara. Penduduk Sulawesi Tenggara terdiri dari beberapa suku yaitu Tolaki, Buton (Wolio), Muna, Mekongga, dan Kaba Ena. Pada Pulau Kaba Ena masyarakatnya umumnya beragama Islam. Rumah tinggal yang berada di kalangan Suku Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga) yang berarti rumah. Secara universal rumah tinggal di kalangan suku bangsa Tolaki disebut Laika (Konawe) dan Raha (Mekongga). Bangunan ini berukuran luas, besar, dan berbentuk segi empat terbuat dari kayu dengan diberi atap dan berdiri di atas tiang-tiang besar yang tingginya sekitar 20 kaki dari atas tanah. Bangunan ini terletak di sebuah tempat yang terbuka di dalam hutan dengan dikelilingi oleh rumput alang-alang. Pada saat itu bangunan tingginya sekitar 60-70 kaki. Dipergunakan sebagai tempat bagi raja untuk menyelenggarakan acara-acara yang bersifat seremonial atau upacara adat.
Rumah Laika secara Horisontal
Dilihat secara horizontal bagian depan rumah berbentuk simetris, berkaitan dengan bentuk formal. Sedangkan asimetris terkait dengan dinamis. Makna tersebut terkait dengan sifat orang Tolaki yang dinamis dan formal. Tampak dari depan atau disebut fasad bagian bawah atau rangka dan lantai dianalogikan dengan dada dan perut manusia. Bagian loteng atau bagian atas dianalogikan punggung manusia sedangkan penyangga dianalogikan sebagai tulang punggung manusia. Sedangkan atap adalah rambut atau bulu. Bagian atap dianalogikan muka dan panggul manusia.
Rumah Laika secara Vertikal
Dilihat secara vertikal rumah pada orang Tolaki terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
- Bagian bawah/kolong bermakna sebagai aplikasi dari dunia bawah (puriwuta), yang dimaksud untuk menghindari banjir, tempat binatang ternak, tempat bersantai, tempat menyimpanan alat pertanian, agar rumah menjadi dingindan terhindar dari binatang buas.
- Bagian atas merupakan tempat ruang yang berfungsi sebagai tempat beraktivitas.
- Bagian tengah mewaikili dunia tengah sebagai pandangan falsafah perwujudan alam semesta. Rumah Laika secara Horisontal
Suku Tolaki
Penduduk Sulawesi Tenggara terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempertahankan kebudayaan daerah asalnya, antara lain suku Tolaki, salah satu suku terbesar yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara di Kota Kendari sedangkan suku Wolio [2] adalah salah satu suku terbesar di Kota Bau-bau di samping suku Muna dan suku pendatang lainnya. Suku Tolaki dan suku Wolio adalah salah satu suku dan memiliki kerajaan terbesar di Sulawesi Tenggara dan mendiami daerah yang berada di sekitar Kolaka dan Bau Bau serta lima daerah lainya, termasuk serta Buton. Suku Tolaki berasal dari Kerajaan Konawe, sedangkan suku Wolio berasal dari Kerajaan Buton yang kemudian berkembang menjadi Kesultanan Buton. Beberapa wilayah bekas Kesultanan Buton berdiri di beberapa kabupaten dan kota, yaitu: Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara dan Kota Bau-Bau.
Suku Tolaki adalah suku pendatang yang datang ke Kendari. Rombongan pertama suku Tolaki berasal dari utara (sekitar Danau Matana dan Mahalona) melalui dua jalur, yaitu melalui daerah Mori, Bungku selanjutnya memasuki bagian timur laut daratan Sulawesi Tenggara dan melalui Danau Towuti ke arah selatan dan bermukim beberapa lama di daerah Rahambuu, dari sana terbagi dua rombongan, yang mengikuti lereng Gunung Watukila lalu membelok ke arah barat daya sampailah di tempat-tempat yang mereka namakan Lambo, Lalolae, Silea yang kelak menjadi masyarakat Mekongga (Kolaka). Sedangkan yang turun mengikuti kali besar (dalam bahasa Tolaki disebut Konawe Eha) disebut masyarakat Konawe.
Bagian-Bagian Rumah Laika
Dilihat secara vertikal rumah suku Tolaki yaitu Laika dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu.
- Bagian bawah atau kolong mempunyai makna sebagai dunia bawah (puriwuta). Fungsi bagian kolong ini adalah untuk menghindari binatang buas, menghindari banjir, dapat juga dimanfaatkan untuk tempat bersantai, tempat ternak hewan, atau tempat menyimpan alat pertanian.
- Bagian atas berfungsi sebagai tempat beraktivitas.
- Bagian tengah mewakili dunia tengah sebagai perwujudan alam semesta.
Dilihat secara horizontal bagian depan rumah berbentuk simetris, berkaitan dengan bentuk formal. Sedangkan asimetris terkait dengan dinamis. Makna tersebut terkait dengan sifat orang Tolaki yang dinamis dan formal. Tampak dari depan atau disebut fasad bagian bawah atau rangka dan lantai dianalogikan dengan dada dan perut manusia. Bagian loteng atau bagian atas dianalogikan punggung manusia sedangkan penyangga dianalogikan sebagai tulang punggung manusia. Sedangkan atap adalah rambut atau bulu. Bagian atap dianalogikan muka dan panggul manusia.
Tiang O’Tusa
Bangunan tradisional Tolaki adalah bangunan bertiang, yaitu tiang rumah yang bentuknya bulat dan untuk rumah papan (kataba) tiangnya berbentuk balok (segi empat). Tiang utama tusa I’tonga atau tusa petumbu letaknya tepat di tengah-tengah rumah yang merupakan tiang utama atau tiang raja. Tusa huno adalah tiang yang terdapat pada keempat sudut rumah induk (botono), merupakan tiang pokok rumah tersebut. Tiang ini tidak boleh bersambung, harus utuh sampai ketutup tiang, tiangnya terletak di antara tiang yang satu dengan yang lainnya disebut totoro (tiang pendukung) tiang penopang yang disebut o’suda (posudo). Jumlah tiang di daerah Mekongga dengan di Konawe disesuaikan dengan bentuk rumah.
a. Parumbaru, tiang berjumlah 9 buah
b. Raha Mbuu, tiang berjumlah 25 buah
c. Raha Bokeo (rumah raja Mekongga tiang berjumlah 27 dan 70 buah)
Lantai Ohoro
Sebelum ohoro (lantai) dipasang ada beberapa susunan di bawah lantai yaitu; powuatako, kayu yang dipasang pada bagian bawah sebagai tempat pemasangan ohoro (lantai). Terdiri dari kayu bulat ataupun balok. Kemudian porumbuhi diletakan membujur, selanjutnya sumakiataua polandangi (agak jarang dipasang), setelah itu baru dipasang ohoro (lantai) yang terbuat dari bambu (kowuna), batang pinang (kuwe inea), opisi (semacam pohon pinang), papan (odopi), kayu-kayu kecil, tangkai daun sagu (tangge ndawaro).
Dinding Orini
Dinding rumah umumnya terbuat dari bambu yang dianyam (salabi) atau disusun, kayu-kayu kecil, tangkai sagu (tangge ndawaro), kulit kayu dan papan. Dinding di sini dianalogikan sebagai kulit karena merupakan bagian terluar dari sebuah rumah yakni rumah dianggap sebagai analog dari tubuh manusia. Bentuk pemasangan dinding (orini) pada rumah adat Tolaki (laika mbuu, laika sara) jika bumbungnya miring maka dinding dipasang miring sekitar 15 derajat. Dinding dalam bentuk salabi sinolana, ada beberapa macam model sinolana yaitu solana dua lembar dan solana tiga lembar dari sini munculah solana pinemata-mata (bentuk mata), pinepuhe (bentuk pusat), dan pinehiku (bentuk siku). Pada salabi sinola biasa digunakan untuk menutup lubang sisip (powire).
Pintu Otambo
Pintu juga disebut otambo yakni pintu yang pada umunya berbentuk persegi panjang.(Melamba 67). Pintu depan rumah adalah analogi dari mulut dan pintu belakang adalah analog dari dubur. Pada pintu depan di tempatkan sedikit ke samping agar orang luar tidak dapat langsung masuk ke rumah. Menurut kepercayaan pada suku Tolaki agar mencegah masuknya hawa jahat yang berkaitan dengan ilmu hitam.
Tangga Lausa
Tangga terdiri dari kayu bulat yang ditarik beberapa tingkatan, biasanya lima sampai dengan tujuh tingkatan menurut tinggi rendahnya rumah. Pada umumnya tangga menghadap ke jalan umum. Tiang tangga berbentuk bulat atau pipih. Menurut tradisi anak tangga jumlahnya ganjil, bilangan genap kurang baik. Angka ganjil disebut konanggoa yang berarti sangat baik mendapatkan rejeki tiada henti dan tidak akan ada keganjilan di dalam rumah. Kiri dan kanan tangga ada kalanya diberi tangan tangga dan dipasang tali pengikat yang pada umumnya berbahan rotan. Jarak antara anak tangga menurut kebiasaan sekitar satu hasta atau aso siku. Jumlah anak tangga menunjukkan kedudukan pemiliknya. Anakia mempunyai 7 (tujuh) anak tangga. Abdi atau Ata memiliki 5 (lima) anak tangga. Sedangkan budak yang dibebaskan memiliki 4 (empat) anak tangga. Tangga Raha Bokeo (rumah raja) jumlahnya 7 (tujuh) tingkatan hal ini menggambarkan jumlah pemerintahan daerah. Sedangkan pada Laika Mbu’u (rumah induk )/Laika aha (rumah besar) di Mekongga jumlahnya harus ganjil. Angka ganjil dianggap baik karena memiliki unsur-unsur tidak dapat saling berpasangan untuk berposisi satu sama lain, tetapi satu unsur dapat mempengaruhi dua unsur lainnya yang mungkin bersaingan. Angka genap dianggap kurang baik karena unsur-unsurnya dapat saling membagi diri menjadi dua pasang atau menjadi satu lawan satu dapat menimbulkan perpecahan.
Jendela Lomba-Lomba
Dimanfaatkan sebagai penyinaran dan tempat mengintai musuh. Pada Laika Mbu’u berjumlah 6-7 lubang jendela. Rumah orang Tolaki berjumlah 4 (empat) lubang yang dianalogikan dua unsur o’biri telinga dan dua unsur totopa ketiak. Menurut kepercayaan Tolaki dalam meletakan jendela (lomba-lomba) ditempatkan searah terbitnya matahari dan terbenamnya. Kepercayaan aliran hulu dan hilir sungai ibarat rejeki.
Referensi
Ahadrian, Ari (2015). Ensiklopedia Mozaik Seni dan Budaya Indonesia, Rumah Adat dan Perabotan Tradisional Indonesia. Yogyakarta: PT Citra Aji Parama. hlm. 177. ISBN 9786022342984.
Laksono, Hendro Tri (2012). Mengenal Adat Budaya dan Tradisi Nusantara. Jakarta: Cabe Rawit. hlm. 35. ISBN 9789796106943.
Seta, Mahadewa Adi (2013). Mengenal Adat dan Budaya 34 Propinsi di Indonesia. Jakarta: Laksana Kids. hlm. 50. ISBN 9786022552451.
- ^ Humaidi, Akhmad (2016-04-01). "Nilai Budaya dalam Lagu Banjar: Pernikahan, Mata Pencaharian, dan Permainan Tradisional". STILISTIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya. 1 (1). doi:10.33654/sti.v1i1.345. ISSN 2527-4104.
- ^ "Suku Wolio, Sulawesi Tengah". WACANA (dalam bahasa Inggris). 2011-02-02. Diakses tanggal 2019-03-13. [pranala nonaktif permanen]