Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampil] di bagian kanan.
Tambahkan pranala wiki. Bila dirasa perlu, buatlah pautan ke artikel wiki lainnya dengan cara menambahkan "[[" dan "]]" pada kata yang bersangkutan (lihat WP:LINK untuk keterangan lebih lanjut). Mohon jangan memasang pranala pada kata yang sudah diketahui secara umum oleh para pembaca, seperti profesi, istilah geografi umum, dan perkakas sehari-hari.
Sunting bagian pembuka. Buat atau kembangkan bagian pembuka dari artikel ini.
Tambahkan kotak info bila jenis artikel memungkinkan.
Hapus tag/templat ini.
Rumah Adat Woloan merupakan bangunan pemukiman tradisional yang berasal dari Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara. Bangunan pemukiman ini berbentuk panggung dan telah dikenal sebagai bangunan tahan gempa. Bentuk yang estetis dan tahan dari guncangan gempa membuat produksi rumah tradisional ini menjadi komoditas ekspor ke negara Argentina dan Venezuela.[1]
Asal Usul
Perkembangan tentang Rumah Tradisional Minahasa banyak dikaji oleh Mamengko Roy, (2002) dalam bukunya berjudul Etnik Minahasa. Roy Mamengko menjelaskan tentang sejarah Tanah Minahasa, tradisi dan budaya serta perkembangannya. Mamengko menjelaskan pula tentang adat-istiadat termasuk prosesi membangun rumah. Bila melihat sepintas bahwa Rumah Tradisional Minahasa memiliki kesamaan-kesamaan dengan rumah-rumah tradisional suku-suku lain di nusantara yang pada umumnya panggung dengan material utama kayu. Perbedaannmya akan terlihat pada proses pembangunannya dimana di Minahasa dikenal dengan istilah ‘ MAPALUS’ (gotong royong atau sistem arisan). Tradisi mebangun dengan mapalus masih ada di beberapa desa di Mina-hasa Selatan hingga saat ini. Arsitektur Bangunan Rumah Tradisional Minahasa dibahas dengan teliti oleh Jessy Wenas (2007: 119) dalam bukunnya Sejarah dan Kebudayaan Minahasa dimana menjelaskan bahwa Arsitektur Bangunan Rumah Minahasa memiliki 2 (dua) bentuk yaitu Rumah Panjang yang disebut Wale Wangko yang tidak memiliki dinding kamar dan loteng, dan Rumah Tinggal yang memiliki kamar simetris dengan sebuah ruang publik terbuka di bagian depan. Dalam buku ini Wenas menjelaskan tentang tipologi rumah minahasa termasuk istilah-isilah dan pola ukuran serta bilangan yang digunakan. Seorang sejarawan mengkaji gaya arsitektur bangunan rumah tinggal. F.S Watuseke (1968) berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri fisik, jika menelisik gaya arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga, senjata tradisional [tombak, parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu, serta penghormatan terhadap arwah para leluhur, maka semua ini memiliki kesamaan dengan suku-suku Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di propinsi Yunan dan Tibet Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku Thai, Vietnam, dan Filipina.Untuk dapat memahami Arsitektur Minahasa, maka sangat diperulkan untuk memahami sejarah Tanah Minahasa. Dr Bert Supit (1986) membahas tentang sejarah tanah Minahasa dan perubahanperubahan yang terjadi sampai dengan semangat melawan Kolonial Belanda. Supit juga men-jelaskan tentang adat istiadat yang terjadi secara turun-temuru serta menganalisis bahasa anak-suku. Dalam bukunya Minahasa dari Amanat Batu Pinbetengan sampai Gelora Minawanua Supit mengulas tentang tradisi menjaga rumah dengan istilah ‘Lukas’ yang sampai kini masih digunakan pada beberapa tempat di Minahasa.[2]
Fungsi dan Filosofi Bangunan
Rumah tradisional Minahasa berbentuk rumah panggung atau rumah kolong, baik yang terdapat di atas air maupun di dataran. Bahan material yang dipergunakan umumnya adalah kayu dari jenis pohon yang diambil dari hutan, yaitu kayu besi, linggua, jenis kayu cempaka utan atau pohon wasian (michelia celebia), jenis kayu nantu (palagium obtusifolium), dan kayu maumbi (artocarpus dayphyla 27 mig). Kayu besi digunakan untuk tiang, kayu cempaka untuk dinding dan lantai rumah, kayu nantu untuk rangka atap. Bagi masyarakat strata ekonomi rendah menggunakan bambu ‘petung’/bulu jawa untuk tiang, rangka atap dan nibong untuk lantai rumah, untuk dinding dipakai bambu yang dipecah. Arsitektur rumah tradisional Minahasa dapat dibagi dalam periode sebelum gempa bumi tahun 1845 dan periode pasca gempa bumi 1845-1945. Sebelum 1845 adalah masa ‘Tumani’, sebelum kedatangan bangsa-bangsa barat di Minahasa,masyarakat telah membuat rumah yang besar di atas tiang-tiang tinggi besar, rumah dihuni 10-20 keluarga batih. Dibangun secara gotong-royong/ mapalus.[3]
Struktur Bangunan
Karakteristik konstruksinya, rangka atapnya adalah gabungan bentuk pelana dan limas,konstruksi kayu/ bambu batangan, diikat dengan tali ijuk pada usuk dari bambu, badan bangunan menggunakan konstruksi kayu dan sistem sambungan pen, kolong bangunan terdiri dari 16-18 tiang penyangga dengan ukuran ∅80–200 cm (ukuran dapat dipeluk oleh dua orang dewasa) dengan tinggi tingginya 3–5 cm, tangga dari akar pohon besar atau bambu Karakteristik ruang dalam rumah, hanya terdapat satu ruang bangsal untuk semua kegiatan penghuninya. Pembatas territorial adalah dengan merentangkan rotan atau tali ijuk dan menggantungkan tikar. Orientasi rumah menghadap ke arah yang ditentukan oleh Tonaas yang memperoleh petunjuk dari Empung Walian Wangko (Tuhan).
Konstruksi rumah tradisional Minahasa tahun 1845-1945 (Gambar 1-b), mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan sebelumnya, yaitu atap bentuk pelana atau gabungan antara bentuk pelana dan limas, demikian juga pada kerangka badan bangunan rumah yang terdiri dari kayu dengan sambungan pen, dan kolong rumah terdiri dari 16-18 tiang penyanggah. Perbedaanya hanya tiang penyanggah berukuran lebih kecil dan lebih pendek dari masa sebelumnya, yaitu sebesar 30/30 cm atau 40/40 cm, tinggi 1,5-2,5 meter. 1. Ciri rumah tradisional minahasa • Rumah panggung/kolong 16-18 tiang • Bahan material kayu (kayu besi, cempaka, kayu nantu, kayu maumbi) • Atap pelana dari bahan seng • Pondasi dari batu • Pembagian ruang rumah tradisional minahasa: − Ruang paling depan/emperan (setup) − Ruang tamu (leloangan) − Ruang tengah (pores) − Kamar − Bagian belakang rumah terdapat balai-balai − Bagian atas rumah/loteng (soldor) − Bagian bawah rumah (kolong).
2. Pembagian Ruang Setiap bagian rumah, memiliki fungsi-fungsi tertentu: Kolong atau dalam bahasa daerah ‘godong’, berfungsi sebagai gudang tempat penyimpanan hasil-hasil pertanian dan alat-alat pertanian. Teras depan dapat ditemui setelah menaikki tangga utama, dan ruang sebelum kita memasuki bagian dalam rumah. Teras digunakan sebagai tempai untuk bersantai. Pembagian ruang dalam biasanya terdiri dari 2 kamar tidur dan pores. Pores merupakan ruang yang luas dan memiliki banyak fungsi yaitu sebagai ruang tamu,tempat dilangsungkannya pertemuan keluarga dan tempat unrtuk acara-acara tertentu. Sementara untuk pores belakang digunakan sebagai ruang makan. Biasanya di pores belakang terdapat tangga untuk naik ke atas loteng. Pada ‘loteng’ terdapat ruang yang cukup luas dan digunakan untuk menjemur hasil-hasil pertanian seperti pala,beras,dll dan juga tempat untuk menjemur pakaian. Itu jika rumah sudah menggunakan seng.Namun pada rumah yang belum menggunakan seng atau masih menggunakan atap rumbia, bagian loteng tidak dimanfaatkan. Dapur terletak di bagian bawah belakang rumah, WC/KM terletak ± 10 m di belakang rumah.
Rumah adat Minahasa merupakan rumah panggung yang terdiri dari dua tangga didepan rumah. Menurut kepercayaan sebagian masyarakat/nenek moyang Minahasa peletakan tangga tersebut dimaksudkan apabila ada roh jahat yang mencoba untuk naik dari salah satu tangga maka roh jahat tersebut akan kembali turun di tangga yang sebelahnya. Rumah tradisional minahasa sebagai identitas lokal pada saat ini sudah jarang di temukan kalaupun ada rumah tradisional yang ditemukan, rumah tersebut sudah mengalami renovasi dan mempertahankan unsur keunikan dari rumah tradisional tersebut. Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan fisik konstruksi rumah tradisonal Minahasa adalah faktor status kepemilikan rumah dan lahan, serta faktor ekonomi penghuninya. Faktor faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan ruang dan pola ruang dalam rumah adalah faktor kebutuhan ruang dan faktor kemajuan teknologi.
Bahan dan Teknik Pembuatan
Sebagian besar bahan bangunan rumah terbuat dari kayu besi yang didatangkan langsung dari Sulawesi. Kualitas kayu ini hampir sama dengan kayu jati di Pulau Jawa. “Konsumen lebih senang sistem knock down. Jadi 70% kayu yang akan dijadikan dinding, plafon, dan lantai dipotong-potong di Tomohon. Di lokasi pembangunan, kami tinggal memasang,” sambung Frans lagi. Kekuatan rumah terletak pada sistem pemasangan kayu yang saling menancap dan bukan dipaku. Di beberapa sudut bangunan, dibuat pilar yang bertujuan menahan guncangan. Uniknya rumah ini bisa dibongkar pasang jika pemiliknya ingin memindahkan bangunan ke tempat lain. Tentu saja rumah juga dijamin antirayap. Pembangunan satu rumah memerlukan waktu hingga empat bulan. Satu setengah hingga dua bulan dipakai untuk memotong kayu, satu sampai dua minggu untuk pengapalan, dan dua bulan untuk merakit material. “Rumah Woloan di Bandung dibuat sesuai dengan selera konsumen. Beberapa dari me reka meminta untuk dibuatkan rumah panggung yang dipadukan dengan rumah bergaya modern. Jadi bentuk akhirnya bukan rumah asli dari Desa Woloan,” papar Frans. Selain dijadikan hunian pribadi, rumah panggung dimanfaatkan sebagai tempat bisnis. Di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, rumah Woloan dijadikan cottage dan hotel. (Alexander Priyasma/N-2).[4]
Perkembangan Rumah Adat Woloan
Penasaran soal harga? Semua tergantung luas bangunan dan jenis kayu yang dipilih. Rumah panggung khas Minahasa berukuran 7 x 10 meter dengan dua kamar tidur, ruang tamu, dan dapur didagangkan dengan harga berkisar Rp75 jutaRp80 juta. Yang lebih besar, yakni berukuran 10 x 10 meter dengan tiga kamar tidur dijual per unit seharga Rp180 juta. Nah, untuk yang paling luas, berukuran 11 x 16 meter dengan 4-5 kamar tidur, harga nya di atas Rp200 juta. Khusus harga yang berlaku di Sulawesi Utara ini, rumah panggung dibangun menggunakan bahan baku kayu besi dan nantu. Untuk mempersiapkan potongan kayu-kayu untuk satu rumah panggung tersebut, paling cepat dihabiskan waktu dua bulan dengan enam pekerja. Sebab, tutur Jefry, terkadang bahan baku tidak tersedia dan cuaca mendung sehingga proses mengeringkan kayu pun molor. Satu rumah panggung Minahasa membutuhkan 10-12 kubik kayu. Belakang hari, untuk memperoleh bahan baku sebanyak itu, pengusaha kesulitan. Secara terbatas, mereka mulai membeli dari Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Papua dengan harga per kubik mencapai Rp2,5 juta. “Kalau 10 tahun lalu, bahan baku kayu masih bisa diperoleh di wilayah Sulawesi Utara. Sekarang sangat sulit, menebang pohon sembarangan dilarang keras pemerintah. Apalagi tanpa izin,” ujarnya. Meski dilanda kesulitan bahan baku, bisnis rumah panggung Woloan pantang surut. Usaha ini telanjur mendarah daging dan menjadi periuk nasi bagi setiap rumah tangga. “Bisnis ini tidak dikuasai satu orang. Setiap keluarga di Desa Woloan punya usaha rumah panggung,” ujar Jefry. Secara terpisah, Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Utara Herry Rotinsulu menerangkan, sebetulnya bahan baku untuk usaha rumah panggung masih tersedia. Menurutnya, Sulawesi Utara masih memiliki 200 ribu hektare hutan produktif kayunya masih bisa dimanfaatkan, dari pohon berbagai jenis. “Tapi mesti ada izin dulu, bukan asal tebang saja. Cara seperti itu yang dilarang pemerintah. Sekarang ini juga pemerintah sedang merehabilitasi ratusan ribu hektare hutan yang gundul akibat penebangan liar,” kata Herry. Adapun berdasarkan catatan Kantor Perdagangan dan Perindustrian Sulawesi Utara, geliat bisnis rumah panggung warga Woloan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Pada 2010 saja, hasil penjualan ke berbagai daerah dan mancanegara mencetak angka fantastis, yakni US$207 ribu atau sekitar Rp1,78 miliar. (N-3) voucke