Rumah Adat Panjalin berada di Kabupaten Majalengka, provinsi Jawa Barat, tepatnya di Desa Panjalin Kidul, Kecamatan Sumberjaya. Pada tahun 1982, Desa Panjalin telah dimekarkan menjadi Desa Panjalin Kidul dan Desa Panjalin Lor. Desa Panjalin Kidul yang merupakan lokasi dari rumah adat ini terletak di sebelah utara Kecamatan Sumberjaya dan berbatasan dengan Kabupaten Cirebon.[1]
Rumah berbentuk panggung dan hampir semuanya terbuat dari kayu ini telah dibangun sekitar 300 tahun yang lalu oleh Raden Sanata. Rumah tersebut dibangun untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam.[2] Sejak tahun 2012, rumah adat Panjalin telah tercatat sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dengan nomor registrasi 2012002337.[1]
Sejarah
Sekitar abad ke-17 atau 300 tahun silam, rumah adat Panjalin dibangun oleh Raden Sanata. Beliau adalah keturunan Talaga yang berguru di pondok pesantren Pager Gunung. Nama 'panjalin' berasal dari kata penjalin yang bermakna 'Hutan Rotan'. Dahulu, rumah adat ini hanya dibangun menggunakan sebuah batang pohon raksasa tanpa memotong pohonnya terlebih dahulu. Akar dari pohon tersebut terletak di bawah Rumah Adat Panjalin.[2]
Raden Sanata memiliki istri bernama Seruniyang, yang merupakan putri dari sesepuh Kampung Penjalin, yaitu Raja Syahrani. Raja Syahrani adalah keturunan Cirebon yang menetap, meninggal, dan dimakamkan di Panjalin. Beliau juga berkegiatan menyebarkan agama Islam di tempat ini, sehingga sangat mungkin rumah adat ini termasuk peninggalan dari masa Islam.[3] Sepeninggal Raden Sanata, kepemilikan rumah tersebut dilanjutkan secara turun-temurun oleh anak-cucunya sebagai ahli waris.
Arsitektur
Bangunan
Rumah Adat Penjalin hampir menyerupai rumah kayu Minahasa, Sulawesi Utara dari segi bentuk bangunan dan bangunan.[4] Secara fisik, rumah ini termasuk dalam kategori rumah panggung yang disangga oleh 16 tiang penyangga dari kayu yang berukuran 9 x 9 m, dan menempati areal seluas 172 meter persegi. Material pembangun dalam pembuatan rumah ini hanya berupa kayu-kayu berukuran besar dan bambu. Sepintas, bangunan peninggalan sejarah ini hampir mirip dengan gudang padi orang tua pada zaman dahulu.
Terdapat 4 buah anak tangga di mulut pintu masuk dan lantai rumah terbuat dari bambu. Atap rumah adat ini terbuat dari ijuk, tetapi sejak tahun 1950, atap rumah tersebut berubah menjadi genteng.[4] Hal itu menjadi satu-satunya bagian yang sama persis dengan rumah-rumah yang ada pada zaman sekarang. Namun sangat disayangkan, penunjang rumah adat dinilai masih minim selain infrastruktur, seperti tempat penyimpanan alat-alat atau benda pusaka.[5]
Ruangan
Rumah adat Panjalin terdiri dari dua ruangan yang memiliki luas hampir sama, yaitu ruang depan atau ruang utama dan ruang dalam. Ruang dalam berfungsi sebagai ruang keluarga atau aktivitas pemilik rumah. Terdapat penyekat yang berfungsi sebagai pemisah diantara kedua ruangan tersebut yang terbuat dari papan kayu. Sedangkan langit-langit ruangan rumah dilengkapi dengan karya seni geometris.
Aksesori
Persis di sebelah kiri pintu masuk terdapat sebuah kalimat dengan ejaan kuno yang berbunyi Mutus Karuhun, Pegat Katurunan. Kalimat tersebut membentuk sebuah lingkaran dan dibuat oleh keturunan Raden Sanata ke-10, yakni Bapak Jumhari. Di bagian tengah lingkaran, tertulis kata lainnya dengan menggunakan ejaan latin yaitu Munafek. Terdapat pesan yang cukup mendalam melalui kalimat tersebut, yakni orang yang menghilangkan peninggalan orang tua dulu, sama dengan orang yang memutuskan kekeluargaan, itu sama dengan perbuatan munafik.[2]
Fungsi
Tujuan rumah adat ini dibangun oleh keturunan dari Kerajaan Talaga adalah untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam. Namun saat sekarang ini, keberadaan Rumah Adat Panjalin menjadi daya tarik tersendiri bagi beberapa kalangan. Dengan segala keunikan dan sejarahnya, bangunan ini menjadi objek penelitan bahkan tugas akhir bagi para akademisi berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Bukan hanya dari kalangan akademisi, rumah adat Panjalin juga ramai dikunjungi oleh berbagai elemen masyarakat yang hanya sekadar ingin tahu.
Selain beberapa fungsi tersebut, situs cagar budaya yang dilindungi ini pernah mendapatkan kunjungan dan dijadikan lokasi syuting salah satu program televisi swasta. Kegiatan tersebut dilakukan untuk mengenalkan situs cagar budaya ini lebih luas lagi.[5] Saat ini pengelolaanya dilakukan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Kabupaten Serang, Provinsi Banten dan turut melibatkan Dinas Kebudayaan Parawisata Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kebudayaan Majalengka.
Referensi