Referendum konstitusi Niger 2009
Walaupun pihak oposisi memboikot referendum ini, hasil resmi mengumumkan bahwa partisipasi pemilih berjumlah 68%, dengan 92,5% suara setuju. Konstitusi yang baru kemudian diumumkan pada 18 Agustus 2009.[1] Rencana referendumRincian penuh mengenai pengajuan referendum ini belum diselesaikan, tetapi unsur-unsur dari konstitusi baru yang diajukan disarikan oleh juru bicara pemerintah dan oleh sebuah komisi yang dibentuk presiden untuk menyusun dokumen pengajuan. Tandja memanjangkan masa jabatannya untuk mandat transisi selama 3 tahun, di mana sebuah konstitusi yang baru disusun dan disetujui. Sistem pemerintahan negara akan dibuah dari sistem semi-presidensial menjadi sistem presidensial penuh yang menurut Tandja lebih stabil. Tidak ada batasa dalam berapa kali seorang presiden menjabat dan sebuah badan legislatif dua kamar (bikameral) akan dibuat dengan senat sebagai majelis tinggi.[2][3][4][5] [6] [7] [8] Pada 5 Juni, Presiden dan Dewan Para Mentri Niger menyetujui rancangan referendum yang berjudul Referendum untuk Pembuatan Republik ke-VI. Masa kampanye akan dilaksanakan pada 13 Juli 2009 hingga 2 Agustus 2009. Presiden mendirikan sebuah komisi untuk membuat susunan undang-undang dasar baru yang akan dipilih masyarakat. Komisi Pemilihan Umum Nasional Independen (CENI) diperintahkan untuk memantau persiapan pemungutan suara. Pemilih dapat memilih "ya" atau "tidak" pada pertanyaan referendum Apakah Anda menyetujui perancangan Konsitusi baru?" (Teks aslinya dalam bahasa Prancis: "Approuvez-vous le projet de Constitution soumis à votre sanction ? ")[9] Pada 12 Juni 2009, Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menentang pengajuan referendum Tandja tersebut, setelah pertimbangan terbukanya pada bulan sebelumnya. Kali ini, keputusan tersebut merupakan respon dari sebuah permohonan dari koalisi kubu oposisi, yang menyertakan CDS, koalisi pemerintah pada rezim sebelumnya, yang tanpanya, MNSD tidak dapat memperoleh mayoritas di majelis. Dalam permohonan seperti ini, konsitusi menyebutkan bahwa keputusan dari Mahkamah Konstitusi bersifat mengikat dan tidak bisa banding.[10][11] Karena itu setelahnya, Komisi Pemilihan Umum Nasional Independen mengumumkan bahwa pemilihan anggota Majelis Nasional akan dilaksanakan pada 20 Agustus dan tidak ada referendum yang akan dilakukan. Ketua dari 66 organisasi desentral anggota yang mengoperasikan dan mengesahkan seluruh pemilihan umum, Komisi Pemilihan Umum Nasional Independen Niger (CENI),[12][13] Moumouni Hamidou[14] berkata setelah keputusan Mahkamah Konstitusi 18 Juni, bahwa referendum tanggal 4 Agustus tidak akan mereka laksanakan[15][16][17] dan menyiapkan sekitar 7 juta kartu pemilih untuk pemilihan umum legislatif tanggal 20 Agustus. Namun, berdasarkan perundangan, otoritas pemilihan umum Niger harus mengirimkan kartu pemilih 2 bulan sebelum sebuah pemilihan umum.[18] Setelah keputusan akhir dari Mahkamah Konstitusi tersebut, Tandja menyatakan bahwa ia telah mengambil "kekuasaan khusus" karena "kemerdikaan negara sedang terancam".[19] Menteri Dalam Negeri Albade Abouba mengumumkan pada 28 Juni, setelah pengambilan kekuasaan darurat Tandja, bahwa baik referendum tanggal 4 Agustus dan pemilihan umum legislatif tanggal 20 Agustus akan tetap diselenggarakan.[20] PelaksanaanPemungutan suara diselenggarakan sesuai rencana pada 4 Agustus, walaupun pihak oposisi telah memilih untuk memboikotnya. Pemboikotan membuat hasil dari referendum secara efektif dapat diprediksi sehingga tingkat partisipasi pemilih dapat menunjukkan kondisi di masyarakat di mana partisipasi yang tinggi menunjukan legitimasi referendum yang lebih kuat sementara tingkat partisipasi yang rendah menunjukkan masyarakat telah memilih untuk mengikuti kubu oposisi. Pada 5 Agustus seiring penghitungan referendum dilaksanakan, Presiden CENI Moumouni Hamidou berkata bahwa tingkat partisipasi pemilih bervariasi "antara 40 dan 90 persen" di berbagai daerah di Niger, dengan angka yang tinggi banyak ditemukan di kawasan pedesaan. Marou Amadou dari kubu oposisi koalisi FDD menyebutkan bahwa ini merupakan klaim "konyol" dan bahwa tingkat partisipasi sebetulnya kurang dari 7 persen. Di Distrik Kabalewa daerah asal Tandja, tingkat partisipasi bernilai tinggi pada 94,72% sementara di daerah lain seperti Arlit, angka tingkat partisipasi resminya hanya 30,8%.[21] Media-media penanda dari Presiden Tandja dipasang di Niamey pada 6 Agustus, bertuliskan "Atas tampilan kepercayaan diri kalian yang baik, untuk kalian semua: terima kasih". Sementara itu, kubu oposisi Koordinasi Pejuang Demokrasi Republik (CFDR) menggambarkan referendum tersebut sebagai "penerobosan yang terorganisasi terhadap hukum Republik" dan menyebutkan bahwa referendum "ditolak oleh masyarakat yang berdaulat dan referendum itu tidak sah dan hampa". CFDR mengklaim bahwa kurang dari 5 persen dari penduduk yang ikut memilih serta menyebutkan bahwa "dalam memboikot referendum, masyarakat Niger secara tegas menolak rancangan otokratis dari Presiden". Menurut CFDR, tingkat partisipasi pemilih "digelembungkan dengan tinggi" dan banyak dari suara "ya" bukan dari pemegang hak suara sebenarnya.[22] HasilHasil resmi pada 7 Agustus 2009 melaporkan tingkat partisipasi pemilih sejumlah 68,26% dengan 92,5% memilih "ya".[23][24] Pada 8 Agustus, pemimpin oposisi Mahamadou Issoufou bersumpah untuk "menolak dan berjuang melawan kudeta yang dilakukan oleh Presiden Tandja dan melawan tujuannya dalam mendirikan kediktatoran di negara ini".[25] Setelah menyerukan protes, Marou Amadou ditahan pada 10 Agustus. Ia kemudian dibebaskan dengan segera dari petunjuk hakim di Niamey. Namun, menurut beberapa organisasi kemasyarakatannya, Front Bersatu untuk Perlindungan Demokrasi (FUSAD), ia kemudia "diculik ... oleh anggota Tentara Republik di penjara di Niamey ketika ia berusaha untuk menyelesaikan keperluannya agar bebas dari penjara".[26] Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyetujui hasil referendum diumumkan pada 14 Agustus 2009 dan dengan itu mengesahkan hasil referendum.[27]
Kejadian selanjutnyaPresiden Tandja mengumumkan konstitusi yang baru pada 18 Agustus dan Perdana Mentri Seyni Oumarou menyerahkan pengunduran dirinya dari pemerintahan kepada Tandja.[1] Tandja menunjuk kembali Oumarou dan seluruh pemerintahan untuk tidak berubah pada 19 Agustus. Walaupun susunan dari pemerintahan tidak berubah, penunjukan kembalinya menandakan pergantian resmi dari sistem semi-presidensial (di mana presiden dan perdana menteri berbagi kekuasaan eksekutif) menjadi sistem presidensial[28] di mana presiden memegang penuh kekuasaan eksekutif.[27] Pihak oposisi mengadakan sebuah unjuk rasa di Niamey pada 22 Agustus walaupun adanya pelarangan dari pemerintah. Polisi melempar gas air mata dan membubarkan aksi tersebut.[29] Lihat pulaRujukan
|