Rasisme di PrancisRasisme telah dianggap sebagai masalah sosial serius di dalam masyarakat Prancis oleh beberapa pengomentar di samping kepercayaan umum yang menyebar luas bahwa rasisme tidak ada dalam skala serius di Prancis.[1] Antisemitisme dan prasangka kepada umat Muslim telah memiliki sejarah yang panjang. Tindakan-tindakan rasisme dilaporkan menimpa kelompok penduduk minoritas antara lain Yahudi, Berber, Arab dan Asia. Data kepolisian tahun 2019 mengindikasikan total 1.142 tindakan yang termasuk "rasis" tanpa konotasi agama.[2] Penilaian lebih dalam terkait masalah ini sulit dilakukan dikarenakan hukum Prancis melarang pemerintah untuk mengumpulkan data sensus dalam format suku bangsa dan agama (Prancis: statistiques ethniques et religieuses). Komisi Nasional dan Konsultatif terkait Hak Asasi Manusia (Commission nationale et consultative des droits de l'Homme) melaporkan pada tahun 2016 bahwa hanya 8% orang Prancis yang mempercayai ras tertentu adalah ras superior terhadap ras lainnya.[3] Undang-undang Prancis melarang rasisme. Konstitusi tahun 1958 menjamin warga negara mendapatkan perlakuan setara tanpa melihat asal usul, ras atau agamanya.[4] Dalam sejarah, Prancis relatif awal dalam mengikutsertakan orang kulit hitam di parlemen nasional (1793, 1848 kemudian 1891 dan setiap tahun setelahnya) atau di pemerintahan (1887, 1931, 1932–1933, 1937–1938), atau sebagai presiden rumah parlemen (1947–1968 di Senat). Beberapa orang kulit hitam telah memegang posisi yang bagus, seperti perwira militer Camille Mortenol yang memimpin pertahanan anti-pesawat di Paris melawan Jerman pada tahun 1914–1918.[5] Hal ini memupuk gagasan kekebalan bangsa terhadap rasisme meskipun terdapat pertumbuhan tindak kriminal kekerasan anti-Arab pada tahun 1960-an–1970-an menyusul gelombang-gelombang imigrasi orang Arab.[6] Prancis sudah lama menjadi negara sekuler (bahasa Prancis: État laïc). Undang-undang Prancis terkait Pemisahan antara Gereja dan Negara tahun 1905 menciptakan sekulerisme negara. Undang-undang Prancis terkait sekulerisme dan kemencolokan simbol keagamaan di sekolah-sekolah, 2004 melarang semua simbol keagamaan yang dianggap mencolok pada murid-murid di sekolah; undang-undang tahun 1905 melarang semua simbol tak netral (politik dan agama) di kalangan semua orang yang bekerja untuk negara, di antaranya seperti pegawai negeri sipil (PNS), yang termasuk yaitu para guru dan semua staf lainnya di sebuah sekolah. Para politikus dilarang untuk mengekspresikan pilihan agamanya di depan publik salah satunya dengan mengenakan pakaian keagamaan. Undang-undang sekuler Prancis telah dikeluhkan oleh kelompok-kelompok minoritas, khususnya Muslim dalam beberapa tahun terakhir, yang dianggap menghambat kemampuan mereka untuk mengekspresikan agamanya. Pada Desember 2022, Komite PBB terkait Penghapusan Diskriminasi Rasial (Cerd) menyebut hal ini "dikhawatirkan" dengan "kegigihan dan meluasnya wacana rasis dan diskriminatif di Prancis, khususnya di media dan internet". Di akhir peninjauan berkala mengenai kebijakan-kebijakan Prancis yang menindas kaum minoritasnya, para ahli independen dari Cerd mengeluarkan serangkaian pengamatan dan rekomendasi. Mereka mengkhawatirkan tengang "wacana politik rasis yang digelar para pemuka politik", yang nama-namanya tidak disebutkan, sehubungan dengan kaum minoritas tertentu, khususnya suku Roma, para pengelana, orang Afrika atau orang keturunan Afrika, atau Afrika Utara.[1]. Lihat pulaReferensi
Bacaan lebih lanjut
|