Rasisme di Prancis

Gaston Monnerville (1897–1991) adalah tokoh kulit hitam pertama yang memegang jabatan Presiden Senat (1947–1968), jabatan politik nomor kedua di Prancis.

Rasisme telah dianggap sebagai masalah sosial serius di dalam masyarakat Prancis oleh beberapa pengomentar di samping kepercayaan umum yang menyebar luas bahwa rasisme tidak ada dalam skala serius di Prancis.[1] Antisemitisme dan prasangka kepada umat Muslim telah memiliki sejarah yang panjang. Tindakan-tindakan rasisme dilaporkan menimpa kelompok penduduk minoritas antara lain Yahudi, Berber, Arab dan Asia. Data kepolisian tahun 2019 mengindikasikan total 1.142 tindakan yang termasuk "rasis" tanpa konotasi agama.[2]

Penilaian lebih dalam terkait masalah ini sulit dilakukan dikarenakan hukum Prancis melarang pemerintah untuk mengumpulkan data sensus dalam format suku bangsa dan agama (Prancis: statistiques ethniques et religieuses). Komisi Nasional dan Konsultatif terkait Hak Asasi Manusia (Commission nationale et consultative des droits de l'Homme) melaporkan pada tahun 2016 bahwa hanya 8% orang Prancis yang mempercayai ras tertentu adalah ras superior terhadap ras lainnya.[3] Undang-undang Prancis melarang rasisme. Konstitusi tahun 1958 menjamin warga negara mendapatkan perlakuan setara tanpa melihat asal usul, ras atau agamanya.[4] Dalam sejarah, Prancis relatif awal dalam mengikutsertakan orang kulit hitam di parlemen nasional (1793, 1848 kemudian 1891 dan setiap tahun setelahnya) atau di pemerintahan (1887, 1931, 1932–1933, 1937–1938), atau sebagai presiden rumah parlemen (1947–1968 di Senat). Beberapa orang kulit hitam telah memegang posisi yang bagus, seperti perwira militer Camille Mortenol yang memimpin pertahanan anti-pesawat di Paris melawan Jerman pada tahun 1914–1918.[5] Hal ini memupuk gagasan kekebalan bangsa terhadap rasisme meskipun terdapat pertumbuhan tindak kriminal kekerasan anti-Arab pada tahun 1960-an–1970-an menyusul gelombang-gelombang imigrasi orang Arab.[6]

Prancis sudah lama menjadi negara sekuler (bahasa Prancis: État laïc). Undang-undang Prancis terkait Pemisahan antara Gereja dan Negara tahun 1905 menciptakan sekulerisme negara. Undang-undang Prancis terkait sekulerisme dan kemencolokan simbol keagamaan di sekolah-sekolah, 2004 melarang semua simbol keagamaan yang dianggap mencolok pada murid-murid di sekolah; undang-undang tahun 1905 melarang semua simbol tak netral (politik dan agama) di kalangan semua orang yang bekerja untuk negara, di antaranya seperti pegawai negeri sipil (PNS), yang termasuk yaitu para guru dan semua staf lainnya di sebuah sekolah. Para politikus dilarang untuk mengekspresikan pilihan agamanya di depan publik salah satunya dengan mengenakan pakaian keagamaan. Undang-undang sekuler Prancis telah dikeluhkan oleh kelompok-kelompok minoritas, khususnya Muslim dalam beberapa tahun terakhir, yang dianggap menghambat kemampuan mereka untuk mengekspresikan agamanya. Pada Desember 2022, Komite PBB terkait Penghapusan Diskriminasi Rasial (Cerd) menyebut hal ini "dikhawatirkan" dengan "kegigihan dan meluasnya wacana rasis dan diskriminatif di Prancis, khususnya di media dan internet". Di akhir peninjauan berkala mengenai kebijakan-kebijakan Prancis yang menindas kaum minoritasnya, para ahli independen dari Cerd mengeluarkan serangkaian pengamatan dan rekomendasi. Mereka mengkhawatirkan tengang "wacana politik rasis yang digelar para pemuka politik", yang nama-namanya tidak disebutkan, sehubungan dengan kaum minoritas tertentu, khususnya suku Roma, para pengelana, orang Afrika atau orang keturunan Afrika, atau Afrika Utara.[1].

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Dominique Chathuant, Nous qui ne cultivons pas le préjugé de race. Histoire(s) d'un siècle de doute sur le racisme en France, Paris, Le Félin, 2021, 504 p.
  2. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama gouv2019
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama figaro2016
  4. ^ "France's secularism and religious freedom | Gouvernement.fr". Gouverement.fr. Diakses tanggal 25 September 2018. 
  5. ^ Details can be found easily in the index in Dominique Chathuant, Ibid.
  6. ^ D. Chathuant, Ibid.

Bacaan lebih lanjut

  • Chathuant, Dominique. [2], Nous qui ne cultivons pas le préjugé de race. Histoire(s) d'un siècle de doute sur le racisme en France, Paris, Le Félin, 2021, 504 p. About the French myth of immunity to racism throughout the 20th century (1914-c.2000). A historical study which includes an account on a 1919 French "Black Lives Matter": the shooting of a Black Frenchman in the city of Nantes in 1919 by an American MP on duty and the reaction of the French press on racial prejudice as assumed to be coming from outside, especially from the US.
  • Chathuant, Dominique [3] "Emergence of a Political Black Elite in Early Twentieth Century France", Vingtième Siècle. Revue d'histoire, 2009/1 (n° 101), pp. 133–147. A history paper on racial issues under the French Third Republic. Although colonization was widely based on the principle of inferiority of the colonized, the beginning of the 20th century saw the emergence of Black political elites at the beginning of the 20th century after an integration process that started in 1794. Those elites, conscious of the weak foundations of their situation in a dangerous world, were the bearers of an assimilationist discourse in which conscription appeared as the first step on the way to a stronger citizenship. Showing solidarity in their grievances, they stirred the universalistic and egalitarian values of an idealized France, whose model was opposed to racist realities that only foreigners could inspire. Those elites, who remained hostile to Garveyism and any kind of racial withdrawal, were generally associated with domesticated savagery. Their antiracism was backed by political power when the diplomatic situation permitted it and when it could promote national and imperial cohesiveness.
  • Crumley, Bruce. "Racism Unfiltered in France", Time, 6 January 2007, accessed 10 August 2013.
  • Anthony, Hamilton. "Adrian Hamilton: France is a deeply racist country, and Toulouse will only make that worse", The Independent, 23 March 2012, accessed 10 August 2013.