Qatarisasi adalah inisiatif pemerintah yang dirancang untuk meningkatkan jumlah warga negara Qatar yang bekerja di sektor publik dan swasta.[1] Targetnya adalah 50% tenaga kerja di sektor Industri dan Energi.[2] Qatarisasi menjadi salah satu fokus dari Visi Nasional Qatar 2030.[1]
Sementara populasi ekspatriat tumbuh pesat sejak akhir abad ke-20, populasi Qatar hanya meningkat pada tingkat marjinal. Oleh karena itu, sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan pada tenaga kerja asing, pemerintah Qatar sangat memprioritaskan Qatarisasi dalam beberapa tahun terakhir.[3]
Sejarah
Skema Qatarisasi pertama dirumuskan pada tahun 1962, dengan Undang-undang Ketenagakerjaan Qatar No. 3, yang menetapkan bahwa warga negara Qatar harus diberikan prioritas pertama untuk mengisi posisi kosong dalam angkatan kerja.[4] Sebuah sensus pemerintah yang dilakukan pada tahun 1970 mengungkapkan bahwa hanya 16% dari populasi yang aktif secara ekonomi adalah warga negara Qatar. Satu-satunya industri dengan proporsi penduduk Qatar yang lebih tinggi dibandingkan orang asing adalah industri minyak, yang merupakan hasil dari kebijakan Qatarisasi.[5]
Pada awal 1970-an, setelah Qatar memperoleh kemerdekaan, jabatan administratif di sektor publik di-Qatarisasi. Hal ini mengakibatkan 97% dari posisi administratif teratas dalam sistem sekolah diduduki oleh warga Qatar pada tahun 1990-an.[4] Pada Mei 1997, keputusan emiri menetapkan bahwa setidaknya 20% karyawan bisnis sektor swasta harus warga negara Qatar. Pada tanggal 1 Juni 2000, program Qatarisasi yang paling komprehensif mulai berlaku dengan tujuan mencapai 50% tenaga kerja nasional di sektor energi pada tahun 2005. Akademisi yang bekerja pada aspek Emiratisasi termasuk, antara lain, Ingo Forstenlechner dari Universitas Uni Emirat Arab, Kasim Randeree dari British University of Dubai, Paul Knoglinger dari FHWien, Marie-France Waxin dari American University of Sharjah.[4] Program tersebut gagal mencapai targetnya, dengan Qatar hanya terdiri dari 28% dari angkatan kerja di sektor energi pada tenggat waktu.[6]
Tantangan
Sebuah studi oleh RAND Corporation menemukan bahwa perempuan Qatar dua kali lebih mungkin mengenyam pendidikan universitas dibandingkan laki-laki.[7] Namun, sebagai akibat dari gelar pengecualian gender di universitas negeri, sektor-sektor tertentu tidak dapat memperoleh manfaat dari populasi perempuan yang berpendidikan lebih proporsional.[8]
Lihat juga
Referensi