Protasius Hong Jae-yeong adalah seorang martir Katolik Korea yang lahir di Yesan, Chungcheong-do pada keluarga bangsawan, dan dia dibesarkan di Seoul. Lukas Hong Nak-min yang menjadi martir pada tahun 1801 adalah ayahnya, dan Thomas Hong Bong-ju yang menjadi martir pada tahun 1866 adalah putranya.
Protasius Hong mempelajari Katekismus dari ayahnya. Ketika dia bertambah dewasa, dia ikut serta dalam aktivitas Gereja dan dengan membentuk sebuah komunitas bersama dengan umat Katolik lainnya. Dia ditangkap bersama ayahnya ketika Penganiayaan Shinyu pada tahun 1801, namun dia gagal menjaga imannya. Dia diasingkan ke Gwangju, Jeolla-do.
Selama dia diasingkan, dia tidak menjalankan agamanya untuk sementara waktu. Suatu hari, berkat rahmat Tuhan, dia mendapatkan kembali imannya dan semangat untuk mencintai Tuhan yang keduanya tumbuh lebih dalam lagi. Dia sangat menyesali kesalahannya dan dia menjalankan agamanya dengan lebih bersemangat dari sebelumnya. Dia mendidik anak-anaknya berdasarkan ajaran Gereja dan dia mengabdikan dirinya dalam doa dan meditasi. Kadang-kadang dia tidak dapat berjalan dengan tegak karena dia terlalu lama berdoa dengan posisi berlutut. Tiga kali dalam seminggu dia berpuasa dan beramal kepada umat beriman yang membutuhkan dengan kemurahan hatinya.
Pada tahun 1832, istana menyatakan amnesti kepada penjahat yang diasingkan. Hakim dari Gwangju memanggil Protasius Hong dan berusaha membujuk dia untuk menyangkal agamanya dengan berkata, ‘Sekarang, ubahlah pikiranmu dan pulang ke kampung halamanmu.’ Namun dia menolak penawarannya dengan lugas dan melanjutkan hidupnya di Gwangju.
Ketika Penganiayaan Gihae terjadi pada tahun 1839, hati Protasius Hong dipenuhi keinginan membara untuk mati bagi Tuhan setelah dia melihat contoh banyak martir. Dia mencari kesempatan untuk kemartiran yang ia rindukan. Dia dengan senang hati menawarkan rumahnya kepada umat beriman yang dicari oleh polisi dan memperlakukan mereka layaknya anggota keluarga. Polisi yang diutus dari Jeonju menyerang rumahnya dan menangkap dia bersama dengan seluruh umat Katolik lainnya.
Hakim dari Gwangju menginterogasi Protasius Hong sekali lagi dan memerintahkan agar dia dipindahkan ke Jeonju bersama dengan umat beriman lainnya. Ketika dia dibawa ke Jeonju, sekitar tiga atau empat ratus orang menuju ke jalan dan bersedih sambil berkata, ‘Bagaimana mungkin untuk menghukum orang yang tidak bersalah dengan cara seperti itu?’ Beberapa orang memeluk dia dan menangisi dia.
Setibanya di Jeonju, Protasius Hong harus menjalani interogasi dan siksaan berat, namun dia menolak untuk memberitahukan apapun tentang umat Katolik atau mengkhianati Tuhan. Dia dibawa menghadap gubernur untuk dihukum lebih berat lagi, namun imannya pada Tuhan tak tergoyahkan.
Gubernur Jeonju menyadari bahwa dia tidak akan mengubah pikirannya, menjatuhi Protasius Hong dengan hukuman mati dan memerintahkan agar dia dipenjarakan. Ketika istana mengirimkan keputusan hukum, gubernur memanggilnya kembali dan berusaha untuk mempengaruhi dia, namun usahanya sia-sia. Berikut ini adalah kutipan dari surat hukuman matinya:
“Hong Jae-yeong seorang yang sifatnya jahat, dan keluarganya telah mempercayai agama Katolik selama beberapa generasi. Dia membantu dalam mengundang seorang misionaris dan dia telah menulis ulang lebih dari seratus sepuluh buku Katolik. Dia juga menyembunyikan sejumlah besar orang Katolik. Oleh karena itu, sungguh tepat untuk mengeksekusi dia.”
Protasius Hong dibawa ke tempat eksekusi bersama dengan umat Katolik lainnya. Dia dipenggal dan meninggal sebagai martir pada tanggal 4 Januari 1840 (30 November pada penanggalan Lunar). Pada saat itu, Protasius Hong berusia 60 tahun.[1]
Referensi