Prasasti GosariPrasasti Gosari atau Prasasti Butulan adalah prasasti berangka tahun 1298 saka (1376 M) terletak di gua Butulan, kawasan pegunungan kapur di desa Gosari, Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Tidak seperti prasasti pada umumnya yang diukir di atas sebongkah batu, prasasti ini diukirkan di permukaan dinding gua. Penduduk desa di sekitar lokasi ini sebenarnya sudah tahu akan keberadaan prasasti ini sejak lama. Akan tetapi prasasti ini secara resmi dilaporkan ke pihak berwenang pada 2004. IsiPada 2005 prasasti Gosari telah dibaca dan diterjemahkan Luthfi dari Universitas Gadjah Mada bersama Tim Arkeologi Deputi Bidang Sejarah Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Pada 2013, prasasti Gosari dibaca ulang oleh Arlo Griffiths, guru besar di École française d'Extrême-Orient, dengan hasil yang berbeda.
TerjemahanTerjemahan awal (2005):
Terjemahan Griffiths (2013) dengan beberapa perbaikan:
PenafsiranSejak 2005 penelitian telah dilakukan terhadap prasasti ini dan disimpulkan bahwa prasasti ini terkait dengan kerajaan Majapahit dan ditulis pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk. Juga disimpulkan bahwa prasasti ini bercerita mengenai riwayat seorang ksatriya bernama Sang Rama Samadya yang menghuni gua ini karena diasingkan. Sejarawan menduga bahwa tokoh Sang Rama Samadya mungkin sebelumnya adalah seorang ksatriya atau pejabat penting dan berpengaruh di istana Majapahit yang akibat kalah pengaruh dalam politik istana akhirnya tersingkirkan. Ia diasingkan (atau mengasingkan diri) di gua Butulan, dan melakukan semadi atau meditasi mungkin didasari alasan spiritual atau olah kanuragan (ilmu beladiri) dan untuk mencapai kesaktian. Namun, penafsiran di atas sulit diterima secara ilmiah. Pertama, prasasti Gosari tidak menyebut nama raja ataupun lingkungan keraton. Meskipun dikeluarkan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, belum bisa dikatakan ada hubungan langsung dengan raja tersebut. Kedua, ungkapan "sang rama samadaya" secara harfiah berarti "para kepada desa bersama", dan kurang patut diterjemahkan sebagai nama tokoh. Ketiga, kata kadu(ru)hane yang awalnya diterjemahkan sebagai "diasingkan", lebih mungkin ditafsirkan sebagai metatesis dari kaduhuran, yaitu "ketinggian". Dengan beberapa perbaikan ini, cerita tentang pengasingan seorang ksatriya dari keraton Majapahit seperti yang dirangkum di atas tidak dapat dipertahankan lagi. Catatan
Referensi
|