Prasasti Cunggrang (juga ditulis Cungrang atau Cungkrang) merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Medang yang berlokasi di Dusun Sukci, Desa Bulusari, Kecamatan Gempol, Kabupaten Pasuruan, di lereng timur laut Gunung Penanggungan (Pawitra). Menurut catatan penanggalan yang tertulis di situ, prasasti ini dibuat pada masa Mpu Sindok, raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Penemuan dan bentuk
Tempat penemuannya di Dusun Sukci berada lebih kurang 7 km dari Petirtaan Belahan, sehingga prasasti ini oleh para arkeolog dikaitkan dengan petirtaan tersebut.[1]
Prasasti Cunggrang merupakan batu bertulis yang ditemukan dalam kompleks pemakaman desa. Kondisi saat ditemukan setengah terpendam di dalam tanah. Tinggi prasasti 126 cm, lebar 96 cm, dan tebal 22 cm, serta di kedua sisinya terdapat tulisan beraksara dan berbahasa Jawa Kuno. Kondisi sisi bagian belakang (utara) lebih baik daripada sisi depan (selatan) yang tulisannya banyak yang aus. Saat ini prasasti Cunggrang masih berada di tempat penemuan, dalam kondisi telah diletakkan pada suatu pendopo kecil bercungkup. Di sebelahnya terdapat lingga silindris.
Selain prasasti Cunggrang batu ini, terdapat prasasti Cunggrang yang lain yang terbuat lempeng tembaga sebanyak dua keping, juga ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno, yang diketemukan di Gunung Kawi, Malang.[2]
Isi
Prasasti ini dibuat sebagai ucapan terima kasih kepada warga Dusun Cunggrang (sekarang Dusun Sukci) karena telah merawat pertapaan, prasada, dan pancuran air di Pawitra.[3]
Prasasti Cunggrang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa kuno bertanda tahun 851 Saka atau 929 Masehi.
Banyak bagian yang rumpil / susah terbaca. Prasasti ini dibuat untuk menetapkan Cunggrang sebagai desa sima bagi pertapaan di Pawitra, suatu tempat suci untuk pemujaan Rakryan Bawang, yang adalah ayah dari Dyah Kebi (permaisuri Mpu Sindok). Desa Cunggrang termasuk dalam wilayah Bawang dan di bawah pemerintahan Wahuta Wungkal dengan penghasilan pajak senilai 15 suwarna emas, kewajiban kerja sebanyak dua kupang serta katik sebanyak sekian orang (belum dipastikan jumlahnya). Dengan penetapan sebagai sima tersebut, penduduk Desa Cunggrang dibebaskan dari kewajiban pajak tetapi diwajibkan untuk memelihara pertapaan dan prasada, juga memperbaiki Petirtaan Pawitra.
Melihat isi prasasti ini, peneliti-peneliti arkeologi kerap mengaitkannya dengan Petirtaan Belahan, sementara pertapaan dan prasada yang dimaksud adalah sisa-sisa bangunan (gapura dan tembok serta tumpukan bata yang diduga adalah batur) yang ditemukan di dekat petirtaan tersebut. Namun, penemuan Situs Blimbing di Desa Bulurejo berpotensi mengikis kaitan ini. Situs Blimbing adalah sisa saluran air bawah tanah yang nampaknya mengarah menuju petirtaan yang belum ditemukan[4].
Hubungan dengan Kabupaten Pasuruan
Tanda penanggalan pada Prasasti Cunggrang bertulisan sebagai berikut[5] (bagian dalam kurung adalah dugaan).
(Swasti! Çaka) warsatita 851 asujimasa (tithi dwadaci çukla) paksa tu(ng), Pa, Cu (wara Satabbisanaksa) tra. Ba (runa dewata. Gandayoga irika di) wasa.”
yang berarti:
Selamat! tahun saka yang telah lalu 851 bulan Asuji tanggal 12 bagian bulan terang (hari yang bersikles enam) atunglai, (hari yang bersikles lima) pahing, (hari yang bersikles tujuh) Selasa.
Tafsir tanggal ini dijadikan dasar sebagai hari jadi Kabupaten Pasuruan dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2007.[6] Isinya menetapkan bahwa Jum'at Pahing tanggal 18 September 929 M adalah hari berdirinya Pasuruan dan tanggal 18 September sebagai hari jadi Kabupaten Pasuruan.
Rujukan