Phra Bat Somdet Phra Poramintharamaha Prajadhipok Phra Pok Klao Chao Yu Hua (bahasa Thai: พระบาทสมเด็จพระปรมินทรมหาประชาธิปกฯ พระปกเกล้าเจ้าอยู่หัว), atau Rama VII (8 November 1893 – 30 Mei 1941), adalah raja ketujuh Siam dari Dinasti Chakri. Ia merupakan raja terakhir Siam yang memegang kekuasaan absolut, setelah terjadinya kudeta pada tahun 1932, dan raja Siam pertama yang mengundurkan diri dari jabatannya.
Masa kecil
Somdet Chaofa Prajadhipok Sakdidej (bahasa Thai: สมเด็จเจ้าฟ้าประชาธิปกศักดิเดชน์) dilahirkan pada tanggal 8 November 1893 di Bangkok, bagi Raja Chulalongkorn dan salah satu istrinya, Ratu Saovabha. Pangeran Prajadhipok adalah anak termuda pasangan Raja dan Ratu, serta anak ke-76 dari total 77 anak Chulalongkorn. Prajadhipok juga merupakan putra ke-33 dan yang termuda Chulalongkorn.[1]
Prajadhipok bukanlah calon yang kuat untuk menjadi Raja Siam. Sehingga Prajadhipok memilih untuk menempuh pendidikan militer. Layaknya anak-anak raja yang lain, Prajadhipok juga dikirim ke luar negeri untuk mengenyam pendidikan. Pada tahun 1906, ia dikirim ke Eton College, Inggris, dan pada 7 tahun kemudian ia lulus dari Akademi Woolwich, serta diterima di ketentaraan Inggris dalam bidang artileri. Pada tahun 1910, Raja Chulalongkorn meninggal dunia dan digantikan kakak kandung Prajadhipok, Vajiravudh. Akibatnya, Prajadhipok mengabdi pada dua pihak: Siam dan Inggris. Ketika Perang Dunia I meletus dan pernyataan netral Siam, Vajiravudh meminta Prajadhipok untuk keluar dari dinas ketentaraan Inggris, dan kembali ke Siam secepatnya. Hal ini menimbulkan kekecawaan dalam diri Prajadhipok, yang sangat ingin maju ke medan pertempuran. Di Siam sendiri, ia kemudian menjadi tentara berkarier cemerlang, dan menjabat posisi penting.
Pada bulan Agustus 1918, Prajadhipok menikahi Ramphaiphanni, yang merupakan sepupu sekaligus teman masa kecilnya. Ramphaiphanni merupakan keturunan Raja Mongkut (kakek Prajadhipok). Pasangan ini menikah di Istana Bang Pa-In, dengan restu sang Raja.
Naik takhta
Setelah perang usai, Prajadhipok kembali mengenyam pendidikan di École spéciale militaire de Saint-Cyr, Prancis. Sekembalinya ke Siam, ia mengabdi kepada dinas ketentaraan Siam, dan kemudian dianugerahi gelar Pangeran Sukhotai. Kemudian, Prajadhipok dan istrinya menempat Istana Sukhotai, di sebelah Sungai Chao Phraya. Pasangan ini memutuskan untuk tidak memiliki anak. Sementara Prajadhipok dan istri hidup dengan damai, posisi Prajadhipok dalam jalur suksesi menuju takhta tampak semakin dekat, setelah satu persatu saudaranya meninggal dunia. Hal ini kemudian berujung pada wafatnya Raja Vajiravudh pada tahun 1925, dan Prajadhipok menjadi raja absolut Siam pada usia 32 tahun.
Sebagai raja, Prajadhipok memilih untuk dipanggil Phrabat Somdet Phra Pokklao Chao Yuhua (พระบาทสมเด็จพระปกเกล้าเจ้าอยู่หัว), atau Phrabat Somdet Phra Poraminthramaha Prajadhipok Phra Pokklao Chao Yuhua (พระบาทสมเด็จพระปรมินทรมหาประชาธิปก พระปกเกล้าเจ้าอยู่หัว) dalam dokumen-dokumen resmi.
Masa pemerintahan
Meskipun Prajadhipok sama sekali tidak berpengalaman dalam pemerintahan, ia adalah seorang cerdas yang diplomatis dalam meja perundingan. Meskipun demikian, hal ini tidak melepasnya sama sekali dari belenggu permasalahan yang diwariskan pendahulunya. Yang paling parah dari permasalahan-permasalahan tersebut, adalah kondisi perekonomian Siam. Keuangan Siam saat itu mengalami defisit. Hal ini disebabkan oleh krisis yang melanda dunia akibat perang.
Dalam waktu hanya setengah tahun, tinggal 3 menteri Vajiravudh yang tersisa, sisanya diisi anggota dan kerabat keluarga kerajaan. Hal ini mengakibatkan tersingkirnya tokoh-tokoh yang kompeten dalam bidang-bidang tertentu, dan mengembalikan monopoli pemerintahan oleh keluarga kerajaan. Hal ini merupakan usaha Prajadhipok untuk memberikan rakyat pemerintah yang lebih baik dibanding pemerintahan Vajiravudh dan untuk mengembalikan pemerintahan a la Chulalongkorn.[2]
Raja Prajadhipok kemudian membentuk Dewan Tertinggi Siam untuk mengembalikan wibawa pemerintahannya. Dewan ini terdiri atas anggota-anggota keluarga kerajaan yang dinilai kompeten dalam bidangnya masing-masing, seperti Pangeran Damrong Rajanubhab, tangan kanan Chulalongkorn yang menjadi mendagri selama bertahun-tahun dan Pangeran Paribatra Sukhumbandhu yang menjabat sebagai menteri pertahanan. Sayangnya anggota-anggota keluarga kerajaan ini malah bertindak arogan, dengan memonopoli setiap bidang pemerintahan strategis bagi sanak saudara mereka. Banyak dari mereka yang merasa berwenang untuk mengamendemen tindakan-tindakan berlebihan dalam pemerintahan sebelumnya, tetapi tidak mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat.[3] Tidak seperti pendahulu-pendahulunya, Prajadhipok dengan rajin membaca setiap surat kenegaraan yang tiba di mejanya, baik dari menteri atau petisi dari rakyat. Ia dengan rajin pula membalas surat-surat itu. Dan jika ia menemui kebuntuan politik, ia akan meminta pendapat Dewan.
Pada tahun 1932, dalam kebuntuan ekonomi yang berkepanjangan, Dewan Tertinggi Siam memutuskan untuk memotong anggaran-anggaran yang tidak perlu terutama untuk pelayanan publik dan biaya-biaya militer. Prajadhipok menyadari bahwa keputusan ini akan menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, khususnya tentara. Sehingga raja kemudian menjelaskan hal ini, sekaligus mengatakan bahwa dirinya "buta" keuangan. Tidak ada raja Siam yang pernah berkata sejujur itu sebelumnya. Sayangnya, rakyat salah menangkap perkataannya, dan kemudian beranggapan bahwa ia sangatlah lemah, dan sudah tiba saatnya untuk menggulingkannya.[4]
Prajadhipok kemudian mengalihkan perhatiannya kepada masa depan politik Siam. Terinspirasi Inggris, Prajadhipok mengharapkan rakyatnya untuk berpendapat dalam sebuah parlemen. Rancangan konstitusi kemudian masuk ke dalam draf, tetapi harapan-harapan raja itu ditolak penasihat-penasihatnya. Beberapa yang menolak di antaranya adalah Pangeran Damrong dan Francis B. Sayre, penasihatnya di bidang politik luar negeri. Mereka menganggap bahwa rakyat Siam belum siap dengan sistem pemerintahan semacam itu.[5]
Monarki konstitusional
Sekelompok kecil tentara dan pegawai negeri secara bertahap berusaha untuk membangun pemerintahan konstitusional di negara mereka. Usaha mereka memuncak ketika pada pagi hari 24 Juni 1932, mereka melakukan kudeta tak berdarah dan mendeklarasikan berdirinya Partai Rakyat Thailand (Khana Ratsadon - คณะราษฎร). Mereka juga menduduki ruang takhta Ananda Samakhom di Bangkok serta menangkap para pangeran di sana ketika Prajadhipok sedang berada di Istana Klaikangworn, Hua Hin. Partai ini juga mencabut kekuasaan absolut sang raja, dan kemudian menjadikannya raja konstitusional. Konstitusi Siam kemudian diserahkan kepada Prajadhipok dan secara resmi disahkan pada tanggal 10 Desember 1932. Setahun kemudian, hubungan antara raja dan Partai Rakyat memburuk, setelah terjadinya kudeta atas PM Phraya Manopakorn Nititada. Pemimpin Partai Rakyat Thailand, Phraya Phahol Phonphayuhasena kemudian diangkat menjadi perdana menteri.
Pada bulan Oktober 1933, Pangeran Boworadej, mantan menteri pertahanan populer Prajadhipok yang mundur sebagai protes atas pemotongan anggaran, melancarkan perlawanan bersenjata terhadap pemerintah. Dalam pemberontakan ini, ia memobilisasi garnisun-garnisun untuk menduduki Bandara Don Muang. Boworadej menuduh pemerintah tidak hormat terhadap raja serta mendukung komunisme. Ia juga meminta pemerintah untuk mundur. Boworadej mengira bahwa garnisun-garnisunnya di Bangkok mendukung dia, tetapi pemimpin mereka menyatakan tetap setia pada pemerintah. Angkatan Laut Siam juga menyatakan diri netral. Dalam pertempuran hebat di Don Muang, Boworadej kalah telak. Ia kemudian dibuang ke Indochina.
Tidak ada indikasi bahwa Prajadhipok berperan dalam pemberontakan ini. Meskipun ia dianggap tidak terlibat, pemberontakan ini jelas menyurutkan popularitasnya. Ketika pemberontakan terjadi, Prajadhipok dengan segera menyatakan bahwa dirinya menyesalkan terjadinya hal ini. Ia kemudian pergi menyelamatkan diri ke Songkhla. Hilangnya sang raja dinilai Partai Rakyat Thailand sebagai bukti kegagalannya dalam menjalankan tugasnya sebagai raja.
Pada tahun 1934, parlemen menggelar pemungutan suara untuk mengamendemen Undang-Undang Sipil dan Militer. Amendemen terhadap undang-undang ini memungkinkan dijatuhkannya pidana mati tanpa meminta pertimbangan raja.[6] Prajadhipok kemudian mengirim 2 lembar surat protes kepada parlemen, dengan mengatakan bahwa hal ini akan menimbulkan kecurigaan masyarakat, bahwa UU ini akan menjadi pelindung untuk melenyapkan musuh-musuh politik partai. Prajadhipok juga menyarankan diadakannya referendum.[7] Hal ini menimbulkan kemarahan para anggota parlemen atas tuduhan raja yang menilai mereka tidak mewakili suara rakyat.
Pengunduran diri
Prajadhipok yang bersitegang dengan partai kemudian melakukan lawatan ke Eropa, sebelum menjalani perawatan di Inggris. Ia tetap berkorespondensi dengan pemerintah, untuk menunjukkan rakyat bahwa dirinya masih sanggup menjabat. Bagaimanapun juga, Prajadhipok sangat ingin menyelidiki kekuasaan rezim baru yang agaknya telah melenceng dari paham demokrasi. Suatu persetujuan kemudian tercapai untuk undang-undang, tetapi Prajadhipok bersikeras tidak akan kembali ke Siam apabila parlemen tidak dijadikan badan yang dipilih rakyat, serta jika keselamatannya selama perjalanan pulang ke Siam tidak dijamin. Pemerintah menolak hal ini, dan pada 14 Oktober 1934 Prajadhipok menyatakan keinginannya untuk mengundurkan diri jika keinginannya tetap tidak dipenuhi.
Pemerintah mengabaikan ultimatum Prajadhipok. Dari Inggris, pada 2 Maret 1935, Prajadhipok mengirimkan surat pengunduran dirinya yang juga mengkritisi Pemerintah Siam. Kekuasaan tidak demokratis dianggap sebagai penyebab lambannya perkembangan politik di Siam. Pengunduran diri Prajadhipok menyebabkan kekisruhan di negerinya. Rakyat merasa cemas akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Kemudian, Ananda Mahidol yang masih berusia 9 tahun diangkat menjadi raja Siam.
Setelah pengunduran diri
Prajadhipok den istrinya menghabiskan sisa hidup mereka di Inggris. Ketika Prajadhipok mengundurkan diri, mereka tinggal di Knowle House di Surrey. Namun rumah ini tidak sesuai bagi kesehatan Prajadhipok, sehingga mereka pindah ke Glen Pammant di Surrey, sebuah rumah yang lebih kecil namun lebih sesuai bagi kondisi kesehatannya. Pasangan ini tinggal di sana selama 2 tahun. Mereka tidak memiliki keturunan, tetapi mengadopsi putra kakak Prajadiphok, Pangeran Jirasakdi yang kemudian bekerja di Angkatan Udara Inggris dan tewas dalam pengabdiannya pada tahun 1942.
Mereka kemudian pindah lagi ke Vane Court, rumah tertua di Biddenden, Kent. Mereka hidup dengan tenang di sana. Berkebun di pagi hari, dan menulis biografi pada siang harinya. Pada tahun 1938, keluarga Prajadhipok pindah ke Compton House di Wentworth, Surrey. Akibat pengeboman membabibuta Jerman, Prajadhipok dan Ramphaiphanni pindah lagi ke sebuah rumah kecil di Devon, dan kemudian ke Hotel Danau Wyrnwy di Powys, Wales, tempat dimana Prajadhipok mengalami serangan jantung.
Prajadhipok kemudian kembali lagi ke Compton House, sebagaimana keinginannya untuk wafat di sana. Prajadhipok meninggal dunia akibat gagal jantung di sana, pada tanggal 30 Mei 1941. Dia dikremasi di Krematorium Golders Green. Prosesi sederhana ini hanya dihadiri oleh Ramphaiphanni dan sedikit kerabat. Ramphaiphanni tetap tinggal di Compton House selama 8 tahun, sebelum kembali ke Thailand pada tahun 1949, dengan abu suaminya. Sementara autobiografi Prajadhipok tidak terselesaikan, hanya sampai kisahnya pada usia ke-25.
Referensi
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Rama VII.