Beberapa atau seluruh referensi dari artikel ini mungkin tidak dapat dipercaya kebenarannya. Bantulah dengan memberikan referensi yang lebih baik atau dengan memeriksa apakah referensi telah memenuhi syarat sebagai referensi tepercaya. Referensi yang tidak benar dapat dihapus sewaktu-waktu.
Disebutkan oleh Ferry Taufiq El Jaquene dalam Hitam Putih Padjajaran bahwa Kian Santang yang bernama kecil Radja Sangara masuk Islam sejak kecil dan disebutkan dalam Api Sejarah 1 karya Ahmad Mansur Suryanegara bahwa Kian Santang turut serta meresmikan berdirinya Kadipaten Cirebon dibawah kekuasaan abangnya,Raden Walangsungsang dengan menyerahkan bendera kerajaan.
Pada usia 22 tahun Prabu Kian Santang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatanPrabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu TulisBogor
Disebutkan dalam Ensiklopedi Sejarah Kebudayaan Islam Indonesia yang ditulis kementrian agama NKRI beliau berdakwah mengajak raja raja Sunda pedalaman masuk Islam diantaranya Sunan Pancer,Raja Galuh Pakuan.
Dennys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2 menyebutkan bahwa Kian Santang pernah menuntut Ilmu ke Makkah.
Beliau menikah dengan Nyai Kalimah Sapujagad demikian menurut Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Cirebon dan tidak ada catatan resmi siapa keturunannya sehingga hal itu menimbulkan perdebatan.
Kiansantang dan Rakeyan Sancang
Prabu Kiansantang inilah disebut-sebut tradisi masyarakat sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kian Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kian Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Cerita rakyat turun menurun dari mulut ke mulut bahwa Prabu Kiansantang / Kian Santang abad ke 15 yang bertemu dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib tahun 1599-1661 dan mengejar bapaknya Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan, hal ini terkait dengan siapa pemeluk Islam pertama di tataran Sunda, yakni dengan nama yang serupa dengan Pangeran dari Kerajaan Tarumanagara, yang bernama Rakeyan Sancang (lahir 591 M) putra Raja Kertawarman (Raja Kerajaan Tarumanagara 562– 618 M) saudara sebapak Raja Suraliman Sakti (568–597) Putra Manikmaya cucu Suryawarman Raja Kerajaan Kendan.
Keturunan Ki Santang
Dalam wangsit uga siliwangi dikatakan bahwa keturunanya akan menjadi pengingat mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya:
Dia nu di beulah kulon! Papay ku dia lacak Ki Santang! Sabab engkéna, turunan dia jadi panggeuing ka dulur jeung ka batur. Ka batur urut salembur, ka dulur anu nyorang saayunan ka sakabéh nu rancagé di haténa. Engké jaga, mun tengah peuting, ti gunung Halimun kadéngé sora tutunggulan, tah éta tandana; saturunan dia disambat ku nu dék kawin di Lebak Cawéné. Ulah sina talangké, sabab talaga bakal bedah! Jig geura narindak! Tapi ulah ngalieuk ka tukang!:
artinya:
Kalian yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya. Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara minta tolong, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné. Jangan sampai berlebihan, sebab nanti telaga akan banjir! Silahkan pergi! Ingat! Jangan menoleh kebelakang!