Pondok Pesantren Maskumambang

Pondok Pesantren Maskumambang adalah didirikan pesantren yang pada 1281 H bertepatan 1859 M oleh K.H. Abdul Djabbar.

Sejarah

Pada awal berdirinya, Pesantren Maskumambang yang terletak di Desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur (± 40 km arah barat laut kota Surabaya) hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itupun terbatas pada pelajaran Al-Qur’an dan tafsir, serta fiqih. Metode yang dipergunakan juga masih terbatas pada metode sorogan, bandongan, dan halaqoh.

Pada tahun 1907 M. bertepatan dengan tahun 1325 H. K.H. Abdul Djabbar berpulang ke Rahmatullah dalam usia 84 tahun, dan kepemimpinan pesantren diteruskan K.H. Moch. Faqih yang terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang. Pada masa kepemimpinan KH. Moch Faqih Pondok Pesantren Maskumambang mengalami perubahan yang cukup berarti. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain.

Pada tahun 1937 M, bertepatan dengan tahun 1353 H, K.H. Moch. Faqih berpulang ke Rahmatullah dalam usia 80 tahun dan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang diteruskan oleh putra dia yang keempat yaitu KH.Ammar Faqih. Pada masa kepemimpinan KH.Ammar Faqih, selain sebagai tempat mengaji atau memperdalam ilmu agama lewat pelajaran al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab kuning lainnya, oleh KH. Nadjih Ahjad yang saat itu sudah ikut mengasuh Pesantren Maskumambang,, diselenggarakan pula Madrasah Banat (madrasah putri). Selain itu Pondok Pesantren Maskumambang juga dijadikan markas para pejuang kemerdekaan dari Gresik, Surabaya dan Lamongan.

Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965 M. K.H. Ammar Faqih berpulang ke Rahmatullah. Sebelum berpulang ke Rahmatullah dia telah menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada menantu dia yang kedua, yaitu K.H. Nadjih Ahjad.

Sejarah Lengkapnya.......

Pondok Pesantren Maskumambang didirikan pada tahun 1859 M./1281 H. oleh K.H. Abdul Djabbar sebagai usaha dia untuk mencetak kader-kader da'i yang diharapkan dapat menghapus kepercayaan-kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam

Pada awal berdirinya, Pesantren Maskumambang yang terletak di Desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur, ( + 40 KM arah barat laut Kota Surabaya ) hanya mendidik masyarakat sekitar Maskumambang, dan itupun terbatas pada pelajaran al-Qur’an dan tafsir,serta fiqih.

Metode yang dipergunakan juga masih terbatas pada metode sorogan, bandongan, dan halaqoh. Pada tahun 1907 M. bertepatan dengan tahun 1325 H. K.H. Abdul Djabbar berpulang ke Rahmatullah dalam usia 84 tahun, dan kepemimpinan pesantren diteruskan K.H. Moch. Faqih yang terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang.

Pada masa kepemimpinan KH. Moch Faqih Pondok Pesantren Maskumambang mengalami perubahan yang cukup berarti. Santri yang datang mengaji tidak hanya berasal dari sekitar Maskumambang, tetapi banyak juga yang berasal dari daerah lain .

Pada tahun 1937 M. bertepatan dengan tahun 1353 H. K.H. Moch. Faqih berpulang ke Rahmatullah dalam usia 80 tahun dan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang diteruskan oleh putra dia yang keempat yaitu KH.Ammar Faqih.

Pada masa kepemimpinan KH.Ammar Faqih, selain sebagai tempat mengaji atau memperdalam ilmu agama lewat pelajaran al-Qur’an, Hadits dan kitab-kitab kuning lainnya, oleh KH. Nadjih Ahjad yang saat itu sudah ikut mengasuh Pesantren Maskumambang,, diselenggarakan pula Madrasah Banat (madrasah putri).

Selain itu Pondok Pesantren Maskumambang juga dijadikan markas para pejuang kemerdekaan dari Gresik, Surabaya dan Lamongan.

Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965 M. K.H. Ammar Faqih berpulang ke Rahmatullah. Sebelum berpulang ke Rahmatullah dia telah menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada menantu dia yang kedua, yaitu K.H. Nadjih Ahjad.

Dalam memimpin pesantren KH.Nadjih Ahjad melakukan pembaruan-pembaruan dalam bidang kelembagaan, organisasi, metode dan sistem pendidikan, kurikulum, serta Bidang sarana / Prasarana..

BIOGRAFI PIMPINAN PONDOK PESANTREN MASKUMAMBANG A. KH.Abdul Djabbar.

K.H. Abdul Djabbar dilahirkan pada tahun 1241 H.Ayah dia, Kadiyun masih keturunan Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir. Nama kecil dia adalah Abidin yang oleh lidah jawa diucapkan menjadi Ngabidin.

Setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya pada kantor Kabupaten Sidayu, dia pergi ke Sidoarjo, tepatnya di Desa Ngelom Sepanjang untuk menuntut ilmu.. Setelah cukup menuntut ilmu dia pun kembali dan menikah dengan Mbah Nursimah, putri Kyai Idris, Kebondalem Bourno Bojonegoro.

Mereka berdua kemudian mengarungi kehidupan berumah tangga dengan keluar masuk hutan rimba di daerahnya dengan pakaian yang sama, tanpa merasa khawatir ataupun takut. Bersama istri dia, kemudian dia membuka sebidang tanah yang masih berupa hutan kecil penuh dengan semak belukar serta pepohonan yang besar dan tinggi di tengah-tengah Desa Sembungan Kidul Kecamatan Dukun Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur (+ 40 km arah barat laut Kota Surabaya).

Setelah dia berhasil membuka dan membersihkan daerah itu, didirikanlah sebuah rumah yang sederhana untuk tempat tinggal sebagai suami istri. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua kemudian menunaikan ibadah hajinya dan baru pulang setelah dua tahun. Sekembalinya dari Mekah dia mendirikan sebuah langgar dan tiga kamar tempat mengajar putra-putrinya serta penduduk sekitarnya.

Pada tahun 1907 M. bertepatan dengan tahun 1325 H. K.H. Abdul Djabbar berpulang ke Ramatullah dala usia 84 tahun.dan kepemimpinan pesantren diteruskan K.H. Moch. Faqih yang terkenal dengan sebutan Kyai Faqih Maskumambang.

B. K.H. Moch. Faqih.

K.H. Moch. Faqih adalah putra keempat K.H. Abdul Djabbar. Ia memimpin Pesantren Maskumambang mulai tahun 1325H. sampai 1353 H. Ia seorang ulama besar yang terkenal di pulau Jawa, bahkan sampai keluar Jawa. Ia ahli dalam bidang Ilmu Tafsir, Tauhid, Fiqih, Nahwu dan Balaghah, Mantiq, Ushul Fiqih dan lain-lain. Ia sangat aktif dalam mengajar. Ia juga menulis beberapa buku. Salah satu buku karya dia yang masih dapat dibaca adalah "Al-Mandzumah Al-Dailah fi Awaili Al-Asyhur Al-Qamariyah" yang berisi tentang ilmu falaq [astronomi].Buku yang terdiri dari dua teks, yakni teks. pertama berupa nadzam, sedang teks kedua berisi natsar (prosa).ini ditemukan pada koleksi K.H. Abdul Hadi (pengasuh Pondok Pesantren Langitan tahun 1921-1971), sebagai salah satu buku yang diajarkan kepada dia ketika belajar kepada K.H. Faqih Maskumambang pada tahun 1930.

Penulisan buku yang terdiri dari nadhom dan prosa ini menunjukkan bahwa dia telah mengadakan pendidikan ilmu fisika astronomi dengan cara yang menyenangkan.Dia juga menjadikan agama mampu melintasi ilmu fisika-astronomi, iimu sosial pendidikan dan ilmu-ilmu humaniora [sastrra].Dan pendidikan dengan cara yang menyenangkan ini telah tertata rapi di Pesantren Maskumambang tempo dulu.

Kemasyhuran dan kedalaman pengetahuan dia tersebut menjadikan Pondok Pesantren Maskumambang sangat terkenal dan santri-santrinya pun berdatangan dari pelbagai daerah.

Pada tahun 1937 M. bertepatan dengan tahun 1353 H. K.H. Moch. Faqih berpulang ke Rahmatullah dalam usia 80 tahun dan kepemimpinan Pondok Pesantren Maskumambang diteruskan oleh putra dia yang keempat yaitu K.H. Ammar Faqih.

C. K.H. Ammar Faqih

K.H. Ammar Faqih lahir di kampung Maskumambang pada tanggal 8 Desember 1902 M. Ia adalah cucu K.H. Abdul Djabbar dari putranya yang bernama K.H. Faqih bin K.H. Abdul Djabbar. Ia belajar ilmu agama langsung kepada ayahnya. Pada usia 23 tahun (tahun 1925) dia mulai menghafal al-Qur’an, dan hanya dalam waktu 7 (tujuh) bulan dia sudah hafal 30 juz. Pada tahun 1926 dia menunaikan ibadah haji dan menetap di Mekah selama dua tahun untuk memperdalam ilmu agama Islam.Pada tahun 1931 dia belajar ilmu falaq kepada KH. Mansur di Madrasah Falakiyah Jakarta. Kemudian pada tahun 1943 dia mengikuti latihan para kyai di Jakarta selama 20 hari.

Di samping bergulat dalam dunia pendidikan,sebagai pemimpin pesantren dia juga berperan aktif pada kehidupan social kemasyarakatan lainnya.Ternyata peran yang dimainkannya ini ditengarai mengancam misi Jepang di tanah air. Akibatnya, segala aktivitas dia senantiasa diawasi dan dicurigai, bahkan selama beberapa bulan dia ditahan di penjara Jepang.

Pada masa revolusi fisik kompleks Pondok Pesantren Maskumambang yang dipimpinnya digunakan sebagai tempat latihan dan markas para pejuang kemerdekaan yang mundur dari daerah Lamongan, Gresik dan Surabaya.Akibatnya, kegiatan pendidikan di pesantren agak terabaikan, sekalipun tidak berhenti sama sekali.

Sejak sebelum Indonesia Merdeka, dia sudah aktif dalam kegiatan da’wah Islam. Setelah Indonesia merdeka, seiring dengan dikeluarkannya maklumat pemerintah tentang kebebasan mendirikan partai, diapun ikut memasuki dunia politik praktis., yaitu Partai Masyumi. Di Partai Masyumi ini dia memulai karier politiknya sebagai pimpinan anak cabang Partai Masyumi di Dukun. Kemudian pada tahun 1959 terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Surabaya (sekarang Kabupaten Gresik). Selanjutnya ditunjuk menjadi anggota Majelis Syuro Masyumi Pusat. Namun setelah dalam tubuh partai terjadi perpecahan dengan sesama ummat Islam dia mengundurkan diri dan selanjutnya hanya mencurahkan tenaganya untuk mengasuh pondok pesantren sampai akhir hayatnya.

Selama hidup dia, dia banyak mencurahkan fikirannya untuk kemajuan ummat Islam. Ia banyak mengulas persoalan aqidah, disamping persoalan-persoalan lainnya, seperti fiqih, filsafat dan lain-lain.

Pokok-pokok fikiran dia tersebut dia tulis dalam beberapa kitab dengan menggunakan Bahasa Arab dan Jawa (pegon).Salah satu tulisan dia berjudul Tuhfatul ummah fil 'aqaaid wa raddi mafaasid, diterbitkan di Mesir dengan disertai sambutan dari ulama-ulama Mesir.

Beberapa buku karya dia yang lain adalah Falsafah Ketuhanan, Shilatul Ummah, Hidayatul Ummah, Tahdidu Ahlis Sunnah wal Jama'ah. Ar Raddu wan Nawadir, Al-Fashlul Mubin, Nurul Islam, Al-Hujjatul Balighah.

Falsafah Ketuhanan merupakan sebuah buku kecil berbahasa Indonesia yang mengupas masalah ketuhanan dan agama. Dalam buku tersebut dia membagi hujjah (argumentasi) menjadi dua, yaitu hujjah naqliyah (argumentasi normative) dan hujjah aqliyah (argumentasi nalar).Argumentasi nalar meliputi debat (jadal), Khathabah, Syi'ir, dan Burhan. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit Pendawa pada tahun 1955. Menilik tahun penerbitan buku tersebut, diduga bahwa hasil pemikiran tersebut adalah mempunyai kaitan erat dengan dasar Negara.

Shilatul Ummah, sebuah kitab yang masih dalam bentuk manuskrip yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa (Arab Pegon) berisi uraian tentang sebab-sebab perpecahan yang menimpa ummat Islam.Menurut dia penyebab perpecahan yang terjadi di kalangan ummat Islam adalah karena ummat Islam kurang mematuhi Al-Qur'an dan As-Sunnah serta mengabaikan pemikiran ulama. Buku tersebut diterbitkan oleh Balai Kursus Kilat, tanggal 19 Rajab 1379 H. atau 18 Januari 1960 M.

Hidayatul Ummah yang oleh K.H. Adenan Nur dan K.H. Bey Arifin diterjemahkan dengan judul Jadilah Mu’min Sejati berisi uraian tentang pokok-pokok keimanan kepada Allah SWT.

Tahdidu Ahli Sunnah wal Jamaah, sebuah buku berbahasa Arab ditulis dalam rangka memberi jawaban pertanyaan tertulis dari salah seorang guru agama yang pada pokoknya mengharapkan jawaban tentang definisi ahli sunnah wal jamaah dan perihal perlunya bermadzhab bagi orang yang belum sampai pada tingkat ijtihad.Buku ini selesai ditulis pada pertengahan bulan Jumadil Ula tahun 1381 H dan dimuat secara berturut-turut pada Majalah Al Muslimun dari edisi nomor 110 sampai 117.

Pada hari Selasa malam Rabu tanggal 25 Agustus 1965 M. K.H. Ammar Faqih berpulang ke Rahmatullah. Sebelum berpulang ke Rahmatullah dia telah menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada menantu dia yang kedua, yaitu K.H. Nadjih Ahjad.

D. K.H. Nadjih Ahjad

KH. Nadjih Ahjad dilahirkan di Blimbing Paciran Lamongan pada tanggal 19 Maret 1936 dari pasangan suami istri KH.Mohammad Ahjad dengan Ning Suhandari.

Pada tahun 1948 dia pindah ke Maskumambang mengikuti sang ibu.Mulai saat itu dia banyak memperoleh pendidikan agama langsung dari KH.Amar Faqih .Bahkan akhirnya dia dinikahkan dengan salah seorang putri KH.Amar Faqih bernama Dlohwah.

Pada tahun 1958, dia mengusulkan perubahan kelembagaan dengan memprakarsai berdirinya yayasan pengelola Pondok Pesantren Maskumambang yang bernama Yayasan Kebangkitan Ummat Islam (YKUI) dengan Akta Notaris Gusti Djohan tanggal 4 Maret 1958.