Petrus Kwon Tug-in adalah salah seorang dari 103 Martir Korea. Ia lahir pada tahun 1805 di Seoul, di sebuah keluarga Katolik. Ketika dia masih kecil, ayahnya meninggal. Ibunya seorang Katolik yang saleh, dia juga meninggal ketika Petrus Kwon berusia 16 tahun. Ibunya adalah seorang teladan yang baik yang membuat dia menjadi seorang Katolik yang luar biasa. Dia bangun sebelum ayam pertama kali berkokok dan dia berdoa sampai fajar menyingsing. Dia dikenal sebagai seorang yang baik kepada semua orang.
Setelah ibunya meninggal, dia menikah. Pertama kali dia bekerja di sebuah toko obat herbal kepunyaan saudaranya, namun kemudian dia memiliki usaha kecil sebagai mata pencahariannya. Dia seorang yang miskin, namun dia tidak pernah mengeluh. Setelah dia pindah ke tempat lain, dia membuat salib dan medali suci bukan hanya sebagai mata pencahariannya namun juga untuk biaya Gereja.
Ketika penganiayaan dimulai pada tahun 1839, dia ditangkap bersama dengan keluarganya pada tanggal 16 Januari. Petrus menunjukkan rosarionya kepada para penangkap dalam upaya memberitahukan mereka bahwa dia dan keluarganya semua adalah orang Katolik. Oleh karena itu, mereka menjadi keluarga pertama yang ditangkap ketika penganiayaan tahun 1839. Uskup Imbert yang berada di dekat Suwon, diberitahukan tentang penangkapan itu dan beliau kembali ke Seoul untuk menghibur dan menguatkan umat Katolik yang ketakutan.
Mereka diselidiki dan disiksa dengan berbagai cara. Istri Petrus dan saudara iparnya, tidak dapat menahan siksaan, sehingga mereka menyangkal imannya dan kemudian mereka dibebaskan. Petrus yang masih berada di penjara, menulis surat untuk mereka supaya mereka mengubah pikiran mereka. Berdasarkan kesaksian menantu perempuannya yaitu Agatha Yi, istrinya mengakui kesalahan dan kemurtadannya dan kemudian dia menyesalinya.
Petrus diinterogasi dengan kejam oleh kepala polisi.
“Mengapa kamu percaya akan agama Katolik?”
“Kita semua harus bersyukur kepada Allah, Sang Pencipta malaikat, manusia dan segala sesuatu yang ada di bumi. Setiap orang harus menyembah Dia.”
“Beritahu nama-nama sesamamu umat Katolik.”
“Saya tidak dapat melakukannya karena agama saya mengajarkan untuk tidak melakukan hal membahayakan orang lain.”
Petrus disiksa dengan kejam, dan kepala polisi memerintahkan sesama tahanan yang bersama dia mumukulinya. Mereka memukuli Petrus dengan kejam sehingga dia hampir mati yang kedua kalinya. Berdasarkan catatan Pengadilan Penjara, salah satu alasan hukuman matinya adalah Petrus telah membuat dan menjual artikel keagamaan.
Akhirnya Petrus dipenggal di luar Pintu Gerbang Kecil Barat pada tanggal 24 Mei 1839, bersama dengan delapan orang umat Katolik lainnya, dan dia waktu itu berusia 35 tahun. Dikatakan, wajahnya tersenyum dengan misterius bahkan setelah kepalanya dipenggal.[1]
Referensi